Adiraja Mahadipa bukan pria yang mudah teralihkan. Tapi setelah melihat lapiran itu, “Nayara Chandrakanti.. siapa sebenarnya kamu?”
Tiba-tiba rasa tak nyaman menyusupi benaknya. Ia ingat, kemarin sistem HRD sempat terkunci saat ia mencoba mengakses detail personal Nayara. Butuh otorisasi level tinggi untuk membuka sebagian data—dan hanya nama keluarga Mahadipa yang memiliki akses penuh.
Adiraja mengetuk meja sekali, kemudian menekan interkom. “Panggil Nayara masuk. Sekarang.”
Tak lama, pintu diketuk pelan. Nayara melangkah masuk, seperti biasa, dengan langkah rapi dan map di tangan.
“Ini laporan meeting kemarin, Pak,” ujarnya sopan, meletakkan map di atas meja.
“Apa kamu tahu siapa saya?” Adiraja bertanya tanpa basa-basi.
Nayara tertegun. “Tentu, Bapak CEO Mahadipa Group,” jawabnya hati-hati.
Adiraja berdiri, berjalan pelan ke arah jendela. Punggungnya menghadap Nayara.
“Orang seperti saya tidak bisa didekati dengan cara biasa. Kalau kamu datang ke sini dengan niat tersembunyi, lebih baik keluar sebelum kamu terbakar.”
Diam. Hening. Hanya suara detak jam dan napas tertahan Nayara.
Tapi wanita itu tidak mundur. Tidak goyah.
“Saya hanya bekerja, Pak. Dan pekerjaan saya adalah mendukung agenda Anda, bukan membakar diri.”
Adiraja berbalik. Tatapan matanya seperti belati. Tapi Nayara menatap balik dengan wajah tenang. Seolah tidak ada intimidasi yang cukup kuat untuk meretakkan kendalinya.
“Keluar.” Hanya satu kata. Tapi cukup untuk mengakhiri percakapan yang tak selesai.
Nayara membungkuk sopan dan melangkah keluar. Tapi saat pintu tertutup, Adiraja mengeraskan rahangnya. “Aku akan menemukan alasan untuk menyingkirkanmu…”
Atau mungkin... menyingkap siapa kamu sebenarnya.
💔💔💔
Nayara menyandarkan punggung ke kursi setelah keluar dari ruang Adiraja. Napasnya pelan, tapi matanya tetap waspada. Di kantor Mahadipa, setiap sudut seperti memiliki mata. Kamera tersembunyi. Mikrofon tak kasatmata. Sensor gerak. Bahkan bayangan pun seperti dimonitor.
Suasana kantor ini… bukan hanya dingin karena AC yang terlalu kuat. Tapi karena tidak ada yang betul-betul terlihat hidup. Semua orang bergerak seperti mesin. Tatapan kosong. Ucapan minimalis. Tak ada sapaan ramah atau candaan remeh. Seakan siapa pun bisa menjadi pelapor, atau bahkan umpan.
Hingga suara pelan menyapanya dari sisi kanan.
“Hai… kamu Nayara, ya?”
Nayara menoleh. Seorang wanita berdiri di ambang ruangan kecil di sebelah ruangannya. Perempuan muda berperawakan mungil, berkacamata, mengenakan ID Card bertuliskan “Audrey Nirmala – Tim Riset Keuangan”.
“Aku Audrey. Ruanganku cuma tiga pintu dari sini.”
Wajahnya ramah, tapi sorot matanya waspada. Seperti seseorang yang sudah lama ingin bicara, tapi menunggu waktu yang tepat.
Nayara tersenyum kecil. “Nayara. Baru dua hari di sini.”
Audrey mengangguk, lalu menurunkan suaranya.
“Aku tahu… semua orang tahu kamu sekretaris barunya Pak Adiraja. Tapi… hati-hati ya. Beliau itu…”
Ia menoleh sejenak ke kiri dan kanan, lalu menyelesaikan kalimatnya nyaris berbisik: “Nggak semua yang terlihat dingin itu kosong.”
Nayara tak langsung menjawab. Ia tahu, kalimat seperti itu bisa punya banyak arti. Tapi justru karena kalimat itu menggantung, ia tahu Audrey bukan pegawai biasa.
“Terima kasih. Aku akan hati-hati.”
Audrey tersenyum samar. “Kalau kamu butuh teman makan siang… ajak aku ya.”
Lalu ia berlalu begitu saja.
Nayara menatap punggung Audrey yang menjauh, lalu menoleh ke arah pintu ruangan Adiraja yang telah tertutup rapat.
Dunia ini penuh teka-teki. Tapi Nayara tahu, untuk menjatuhkan musuh sebesar Mahadipa, ia tak bisa berdiri sendiri. Bahkan bayangan sekecil Audrey pun bisa menjadi cahaya yang menuntunnya—atau mungkin... menusuk dari belakang.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ritme cepat. Nayara belajar menyesuaikan diri dengan sistem Mahadipa—yang tak memberi ruang untuk kesalahan. Jadwal harus tepat, setiap berkas harus sempurna, dan setiap perintah Adiraja harus ditangkap bahkan sebelum diucapkan.
Tapi Nayara bukan tipe yang menyerah pada tekanan. Ia justru mencatat pola-pola, kebiasaan pegawai, bahkan rute pengiriman dokumen yang tak tercatat sistem.
Di sela kesibukan, ia mulai membangun jembatan kecil dengan rekan kerja.
“Pagi, Nayara,” sapa Audrey suatu pagi di pantry kantor, sembari menyodorkan mug kopi. “Kamu suka kopi pahit atau yang manis?”
Nayara tersenyum, menerima dengan anggukan kecil. “Pahit. Tapi tidak sepahit omelan atasan kita.”
Audrey tergelak pelan, dan itu cukup membuat dua pegawai lain di ruangan itu melirik.
“Eh, jangan terlalu keras,” bisik Audrey, menyikut lengan Nayara. “Dinding di sini punya telinga. Ada satu dua yang suka lapor sana-sini demi bonus loyalitas.”
Nayara mencatat hal itu dalam pikirannya.
Beberapa pegawai mulai memperhatikannya. Ada yang sekadar mengangguk saat berpapasan, ada juga yang menatap tajam penuh curiga. Salah satunya adalah Reza, staf senior IT yang terlihat pendiam tapi tajam matanya.
Saat Nayara membawa dokumen ke lantai dua, ia sempat bertabrakan dengan pria itu.
“Maaf,” ucap Nayara cepat.
Reza hanya menatap datar, lalu berkata, “Kamu kerja di ruangan Pak Adiraja, ya?”
Nayara mengangguk.
Reza membungkuk sedikit, seperti mencibir. “Hati-hati. Ruangan itu kayak cermin dua arah. Kamu pikir kamu melihat, padahal kamu yang sedang dilihat.”
Ucapan itu menggantung di udara.
💔💔💔
Hari itu hampir mendekati pukul tiga sore saat interkom di meja Nayara menyala.
“Siapkan dokumen tender proyek Borneo dan ikut saya ke luar kantor. Sekarang.” Suara Adiraja datar, tegas, dan tak memberi ruang tanya.
Nayara menatap gagang telepon seakan suara itu masih menggema di sana. Ia buru-buru membereskan map, mengecek ulang isi file digital di tablet, lalu berjalan cepat ke ruang Adiraja.
Tanpa sepatah kata, pria itu sudah berdiri di depan lift pribadi. Tampilannya seperti biasa—rapi, tajam, dan dingin.
“Kita rapat di luar?” tanya Nayara hati-hati.
“Bukan urusanmu di mana. Tugasmu cuma ikut dan diam.”
Ucapan itu tak lebih tajam dari tatapan yang ia lemparkan padanya. Nayara hanya mengangguk, menekan semua komentar yang ingin keluar.
Mereka turun lewat lift eksekutif yang jarang digunakan. Saat melintasi lobi, beberapa pasang mata melirik mereka—beberapa dengan rasa ingin tahu, beberapa dengan tatapan penuh gosip yang belum sempat dikunyah.
Di depan lobi, sebuah sedan hitam sudah menunggu. Sopir membukakan pintu belakang, dan Adiraja masuk lebih dulu.
“Masuk,” perintahnya singkat pada Nayara yang sempat ragu.
Di dalam mobil, keheningan membentang. Hanya ada desis AC dan bunyi lembut ban di aspal.
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Adiraja tiba-tiba, tanpa menoleh.
“Maksud Bapak?”
“Sekretaris sebelum kamu bertahan paling lama dua minggu. Saya yakin kamu sudah dengar itu. Tapi kamu… tetap duduk di kursimu.”
Nayara menoleh pelan. Ada rasa ingin tertawa, tapi ia tahan. “Mungkin saya butuh uang. Atau mungkin saya suka tantangan.”
Adiraja melirik sejenak. Ada gerakan kecil di ujung bibirnya—bukan senyum, tapi semacam pengakuan.
“Atau kamu punya alasan lain.”
Kata-kata itu menggantung di udara, tajam seperti pisau dilempar pelan.
Nayara tidak menjawab. Ia tahu, Adiraja sedang mencoba memancing sesuatu. Tapi ia tidak akan terpancing—belum saatnya.
Restoran itu berada di lantai atas sebuah hotel bintang lima—berpemandangan kota yang mulai diselimuti senja. Meja mereka sudah dipesan, berada di sudut ruangan dengan dinding kaca yang memperlihatkan langit keemasan di kejauhan.
Nayara melangkah masuk dengan langkah mantap. Blazer hitam tanpa lengan membingkai tubuhnya dengan elegan, rambut disanggul rapi, hanya menyisakan beberapa helaian yang jatuh alami di sisi wajah. Sepasang anting emas kecil menjadi satu-satunya perhiasan yang mencolok, namun tidak berlebihan.
Ia bukan tipe wanita yang menarik perhatian dengan suara keras atau tawa besar. Tapi caranya berjalan, cara matanya menatap dengan tenang, cukup untuk membuat pelayan yang menyambutnya sempat kehilangan kata.
Di depannya, Adiraja melangkah masuk. Dingin, tajam, dan penuh kharisma seperti biasa. Paduan mereka berdua nyaris seperti lukisan hidup: sang api yang tersembunyi di balik asap, dan sang es yang memancarkan bara tersembunyi.
“Pihak klien belum datang,” ujar Nayara sambil melirik jam tangannya.
Adiraja menarik kursi tanpa berkata apa-apa, lalu duduk. Ia membuka tablet, memeriksa ulang dokumen yang akan mereka bahas. Nayara duduk di sisihnya, menahan tawa kecil saat melihat Adiraja yang tak memiliki ekspresi sama sekali.
“Setidaknya pesan teh. Bapak mau?,” Tanya Nayara mengurangi ketegangan.
Adiraja menoleh. “Kalau kamu lapar, makan saja. Saya tidak mau dianggap atasan yang tak manusiawi.”
Ucapan itu membuat Nayara hampir tersedak udara.
“Baik, Pak. Lumayan bukan dapat makanan enak seperti ini?,” balasnya ringan.
Pelayan datang menawarkan menu. Nayara membuka daftar, namun tak sempat memilih karena pelayan tiba-tiba menumpahkan air mineral—tepat di sisi meja Adiraja. Pria itu menghindar dengan gesit, namun beberapa tetes membasahi ujung kemejanya.
Pelayan panik. “Maaf, Pak! Saya—saya benar-benar tidak sengaja!”
Nayara spontan berdiri dan mengulurkan serbet. “Tidak apa-apa. Cuma air. Lagi pula bos saya sudah terbiasa menahan panasnya tekanan kerja, jadi dinginnya air bukan apa-apa, kan, Pak?”
Adiraja menoleh. Tatapannya menelisik, tapi Nayara melihat ujung bibirnya bergerak sedikit. Sekilas. Sangat tipis. Nyaris tak percaya.
Tawa Nayara tak jadi ditahan, setengah menutupi gugup, setengah ingin tahu apakah ia baru saja melihat satu-satunya ekspresi hidup dari pria paling dingin di ruangan ini.
Beberapa menit berlalu. Klien mereka belum juga datang.
Nayara menyibukkan diri dengan mengatur ulang urutan dokumen, sambil melirik Adiraja yang tampak... lebih tenang dari biasanya. Hanya matanya yang sesekali menatap kosong ke luar jendela, ke arah senja yang perlahan memudar.
Ada sesuatu yang mulai mengalir di antara mereka. Bukan kehangatan. Tapi rasa ingin tahu. Rasa menantang.
Dan mungkin—meski tak akan mereka akui—rasa saling mengamati.