10

2194 Kata
Pintu penthouse berdaun dua itu terbuka dengan bunyi khas elektronik—klik—yang begitu halus tapi terdengar nyaring di tengah keheningan. Rizal lebih dulu melangkah mundur, menunduk sopan pada sang atasan. “Saya akan kembali ke lantai bawah, Pak. Kalau ada yang dibutuhkan, saya siap kapan pun. Bisa langsung hubungi saya atau resepsionis privat,” ujarnya, lalu melirik sekilas pada Nayara. “Selamat beristirahat, Nona Nayara.” Nayara mengangguk kikuk. “Terima kasih, Pak Rizal.” Begitu Rizal menghilang di balik pintu, keheningan langsung menyergap. Sunyi yang tak nyaman. Suasana yang bahkan membuat desahan napas terdengar terlalu keras. Ini... bukan ruang kerja. Bukan juga ruang rapat. Ini tempat tinggal. Ruang privat. Dan hanya ada mereka berdua di dalamnya. Penthouse itu sendiri benar-benar mencerminkan kekayaan keluarga Mahadipa. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung berbentuk lingkaran emas yang menggantung tepat di atas ruang tamu bergaya modern klasik. Perpaduan marmer abu tua, furnitur kulit hitam, dan lukisan abstrak besar di dinding memberikan kesan mewah sekaligus dingin. Di dekat jendela besar yang menghadap kota Bandung, beberapa koper tampak tertata rapi. Milik Adiraja, tentu saja. Tapi satu koper—warna krem dengan tag nama Nayara—ikut bertengger di sana. Membuat Nayara mengernyit, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada pintu kamar lain yang langsung terlihat dari posisi mereka. Hanya satu ruang besar yang mengalir tanpa sekat, dengan kasur king size yang mencolok di sisi kanan ruangan. Seketika rasa canggung menjelma menjadi keresahan. Dan entah karena dirinya yang memang sudah tak tahan atau karena nekat saja, Nayara akhirnya bicara. “Pak...” panggilnya dengan nada yang berusaha tetap sopan. “Ini benar cuma... kita berdua? Dan satu kamar?” Tak ada jawaban. Adiraja berdiri membelakanginya, sedang melepas jas hitamnya dengan gerakan tenang. Kini ia hanya mengenakan vest hitam dan kemeja putih. Dengan santai, ia melonggarkan satu per satu kancing mansetnya. Gerakannya lambat, presisi. Seolah telinga dan perhatiannya sepenuhnya tertuju pada Nayara, meski tubuhnya tak menghadap. “Saya ini sekretaris, Pak. Sekretaris biasa. Bukan sekretaris plus-plus. Jadi... tolong ya, jangan begini,” lanjut Nayara dengan nada yang kini tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Barulah Adiraja berbalik, matanya menatap lurus ke arah Nayara. Tatapannya tenang, tapi menusuk. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan. “Ya ini, Pak! Kenapa saya satu kamar dengan Bapak?” Nayara menunjuk sekeliling dengan wajah berlipat. “Satu kamar?” Adiraja mengulang. “Iya!” tegas Nayara. “Kamu yang meminta seperti itu?” tanya Adiraja, kali ini sambil melepaskan dasi dan melemparkannya begitu saja ke sofa kulit. Nayara tercengang. “Tentu saja tidak! Malah saya sudah minta dipisahkan. Pindah kamar seperti Pak Rizal saja, juga tak masalah!” Adiraja mengangguk sejenak. Lalu, dengan tenang, ia melangkah mendekat. Gerakannya perlahan tapi pasti, dan setiap langkah terasa menekan udara di sekitar Nayara. Ia membuka dua kancing teratas kemejanya, lalu berhenti tepat di hadapan Nayara—jarak mereka hanya satu lengan. “Kamu pikir,” katanya rendah, hampir berbisik namun terdengar jelas, “saya mau satu kamar denganmu?” Nayara membeku. Ia hanya bisa mengerjap, bingung, sementara pria itu menatapnya dari atas ke bawah, seakan sedang menilai sesuatu. “Lah... ini, kalau bukan satu kamar, lalu apa?” tuding Nayara ke arah tempat tidur besar di belakang Adiraja, nada suaranya tak bisa menyembunyikan kekesalan. Adiraja hanya menarik napas perlahan, kembali menegakkan tubuhnya. “Apa yang membuatmu berpikir saya ingin satu kamar denganmu?” tatapannya tajam, tak lagi sekadar mengukur—kini mengejek. “Ck.” Nayara mencibir. “Laki-laki semua sama aja, Pak. Kalau ada yang nganggur dikit, juga pasti mau.” Adiraja mengangkat sebelah alis. Ekspresinya tetap datar. “Buang pikiran picikmu itu, Nona. Jangan samakan saya dengan para lelaki yang pernah kamu kenal,” katanya dingin. “Dan satu lagi—apa kau pikir penthouse ini hanya punya satu kamar tidur?” Nayara terdiam. Tak menjawab. Tapi matanya menyipit, mengamati ulang ruangan itu seolah mencoba menemukan sesuatu yang luput dari perhatiannya. Adiraja hanya menatap sekilas, lalu berbalik dan berjalan menjauh. “Saya ingin beristirahat. Besok pagi saya akan bertemu dengan klien besar. Jangan ganggu saya,” ucapnya singkat, lalu menghilang di balik pintu sisi kiri ruangan—pintu yang kini baru disadari Nayara sebagai kamar utama. Nayara masih berdiri di tempat, napasnya belum stabil, emosinya masih mengambang. “Apa sih, sebenarnya maunya orang ini?” gerutunya pelan, menatap koper dan ruangan luas yang tak lagi terlihat megah—melainkan seperti jebakan yang belum ia mengerti ujungnya. 💔💔💔 Udara di dalam penthouse itu terasa semakin pengap. Padahal, AC menyala dengan suhu cukup dingin. Tapi Nayara merasa sesak. Hening. Terlalu hening. Bahkan detik jam dinding pun seakan menggema. Sejak Adiraja masuk ke kamarnya—tanpa suara, tanpa pamit—laki-laki itu tak keluar lagi. Tak ada aktivitas. Tak ada suara pintu. Seolah benar-benar menghilang ke dalam dimensi lain. Nayara menatap langit-langit, lalu menoleh ke koper yang belum sempat ia bongkar. Perutnya mulai lapar. Tadi ia hanya sempat mengunyah sepotong roti sebelum terbang ke Bandung bersama sang bos. Dan makanan hotel... ah, terlalu mewah, terlalu ‘rapi’, dan porsinya terlalu pelit untuk ukuran perutnya yang butuh makan manusiawi. Ia duduk di pinggir sofa, memainkan jari-jari di pangkuan. Boleh nggak sih, keluar sebentar? Tapi... Adiraja tadi bilang, jangan ganggu. Mau ijin, takut malah dianggap ganggu. Mau pergi aja, takut dimarahin. Tapi... ah, sudahlah. Keluar bentar aja. Toh supermarket itu cuma di samping hotel, jalan kaki pun sampai. Nayara akhirnya berdiri dan mengganti outfit-nya. Ia kenakan hoodie hitam oversize dengan tulisan kecil di bagian d**a, serta hotpants jeans yang sudah agak pudar warnanya. Rambutnya diikat tinggi, cepat-cepat, lalu ia memungut dompet dari meja kecil di sebelah koper. Ponsel? tanyanya dalam hati sambil meraba-raba sekitar. Ah, tak terlihat. Ia melirik ke arah pintu kamar Adiraja. Sudahlah, ponsel tinggal. Keluar sebentar saja. Ia pun melangkah menuju pintu, menekan tombol lift khusus dan turun menuju lobi utama. Saat pintu lift terbuka, wajah familiar menyambutnya. Rizal berdiri di sisi meja resepsionis privat, mengenakan setelan formal seperti biasa. Meski malam sudah larut, pria itu tetap tampak rapi seakan tak mengenal kata lelah. “Nona Nayara? Keluar malam-malam begini?” sapa Rizal ramah, sedikit terkejut namun tetap sopan. Nayara tersenyum kecil. “Iya, Pak. Mau cari camilan aja. Laper.” Rizal mengangguk. “Supermarket di sebelah masih buka. 24 jam. Tapi kalau Nona butuh makanan hangat, saya bisa bantu hubungi dapur hotel.” “Enggak perlu, Pak. Saya pengin pilih sendiri. Lidah saya... agak susah cocok sama masakan hotel,” balas Nayara dengan nada ringan. Rizal tertawa pelan. “Paham. Tapi hati-hati, ya, Nona.” “Iya, Pak. Makasih.” Nayara pun melangkah keluar dari hotel. Udara Bandung malam itu cukup sejuk, dengan angin tipis yang meniup rambutnya pelan. Lampu-lampu jalanan masih menyala terang, dan supermarket di sisi hotel terlihat masih aktif dengan lampu putih menyala terang di balik kaca lebar. Begitu masuk, Nayara langsung mengambil keranjang belanja dan menyusuri lorong-lorong yang bersih dan rapi. Ia mengambil beberapa bungkus camilan favorit—keripik pedas, biskuit coklat, beberapa batangan coklat s**u yang selalu bisa menyelamatkan mood-nya. Lalu ia menuju rak mi instan. Mengambil dua rasa favorit, kemudian berjalan ke bagian pendingin. Ia mengambil sebungkus ayam potong, beberapa butir telur, dan sayur potong siap masak. Tak lupa satu botol kecil saus sambal. Wajib. Simpel aja, pikirnya. Masak sendiri pasti lebih enak. Saat mengambil satu kemasan nasi instan, tiba-tiba matanya tertumbuk pada botol air mineral. Entah mengapa, air bening itu justru membangkitkan bayangan wajah seseorang. Viren. Sahabatnya. Satu-satunya pria yang selalu ada saat dunia Nayara hancur-hancurnya. Astaga... aku belum ngabarin dia sama sekali hari ini. Nayara buru-buru merogoh saku hoodie-nya. Tidak ada. Ia tengok tas kecil di pundaknya. Kosong. Dompet... ada. Tapi ponsel... tidak. Ya ampun... ketinggalan. Ia mendesah pelan, nyaris menepuk dahinya sendiri. Tadi buru-buru banget keluar... kebiasaan deh, Nay. Akhirnya, dengan sedikit jengkel pada dirinya sendiri, Nayara bergegas menuju kasir. Ia membayar seluruh belanjaan, membawa dua kantong sedang, dan berjalan kembali ke hotel dengan langkah cepat. Lift membawanya naik kembali ke lantai atas. Suasana tetap sunyi, tak ada tanda-tanda kehidupan dari kamar Adiraja saat ia melewati pintu itu untuk masuk kembali ke ruang utama. Ia menaruh kantong belanjaan di meja pantry kecil. Menghela napas lega. Setidaknya sekarang ia punya bekal untuk bertahan hidup beberapa hari di penthouse aneh ini. Namun, satu pertanyaan kembali menggantung dalam kepalanya: Tadi aku keluar tanpa pamit. Kalau dia tahu, marah nggak ya? 💔💔💔 Di ruangan senyap yang hanya diterangi cahaya remang dari lampu meja kerja, seorang pria tegap dengan postur nyaris sempurna duduk tanpa bergeming. Garis rahangnya yang tajam tercetak jelas dalam siluet lampu kuning pucat, memancarkan kesan dingin yang menyatu dengan ketegasan sorot matanya. Adiraja Mahadipa. Pria yang tidak pernah berkompromi dalam hal logika, kendali, dan keamanan nama keluarganya. Matanya menatap layar laptop dengan intens, memperhatikan potongan demi potongan rekaman yang berhasil dikumpulkan oleh Rizal. Suara dalam video terdengar kasar, penuh sindiran dan konspirasi. Dan satu nama yang kembali muncul: Rakendra Mahadipa—kakak kandungnya sendiri. Adiraja menyipitkan mata saat mendengar suara Rakendra berbicara dengan mantan direksi Mahadipa Group yang sudah dipecat dua tahun lalu karena kasus manipulasi aset. Rekaman itu jelas-jelas menunjukkan ada upaya untuk menghidupkan kembali jaringan kotor yang dulu pernah nyaris menghancurkan reputasi keluarga mereka. “b******k,” gumamnya pelan, suara rendahnya penuh tekanan. Tangan kirinya mengepal, dan dengan satu gerakan cepat, ia menutup laptopnya. Nafasnya berat. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus turun tangan lagi. Harus jadi tameng. Lagi-lagi. Karena jika Rakendra meledak, semua puingnya akan menimpa Adiraja. Tanpa pikir panjang, ia segera menghubungi Rizal. “Awasi dia. Jangan kasih celah. Aku mau laporan per jam. Kalau dia coba gerak ke luar kota, pastikan kau tahu ke mana dan dengan siapa.” “Siap, Tuan,” suara Rizal tenang, tapi penuh kesiagaan. Sambungan ditutup. Adiraja bersandar di kursi. Matanya menatap langit-langit ruangan sesaat sebelum akhirnya berdiri. Kepalanya mulai terasa berat. Tapi bukan hanya karena Rakendra. Ada satu hal lain yang mengganggu pikirannya. Nayara. Anak orang yang dia pekerjakan. Sekretaris sekaligus... entah apa sebutannya sekarang. Wanita muda yang harus dia jaga di tengah kekacauan ini. Meskipun dirinya dingin, otoriter, dan seringkali terlalu kaku, ia tetap tahu batas. Dan tanggung jawab adalah sesuatu yang tak pernah ia abaikan. Ia menghela napas. Udara terlalu pengap di sini. Langkah-langkah panjangnya membawanya ke pintu kamar. Ia membukanya—dan menemukan penthouse miliknya begitu sunyi. Tak ada suara, tak ada aktivitas. Keningnya sedikit berkerut. Ia melangkah ke ruang tengah, tatapannya menyisir ruangan. Saat itulah suara ponsel yang berdering pelan menarik perhatiannya. Sumber suara berasal dari atas sofa, di antara tumpukan bantal kecil. Ia meraih ponsel itu dan menatap layar. Viren 💛 Nama itu muncul dengan simbol hati kuning di belakangnya. Alis Adiraja terangkat. Rahangnya mengeras. “Sahabat?” gumamnya, separuh mendengus. Lalu pikirannya memutar momen-momen sebelumnya. Pertama kali ia melihat pria bernama Viren itu menjemput Nayara untuk makan siang di depan kantor. Kemudian saat Viren mengantar Nayara pulang ke apartemennya. Pelukan. Genggaman tangan. Tapi... tatapan mata itu. Tatapan penuh rasa. Ia ingat betul. “Atau seseorang yang dia cintai, berkedok sahabat?” bibirnya mengejek dirinya sendiri. Adiraja tahu, tak seharusnya ia merasa begini. Nayara bukan miliknya. Ia bukan siapa-siapa. Tapi... mengapa dadanya terasa tidak nyaman saat nama itu muncul? Mengapa melihat simbol hati kuning itu membuatnya ingin melempar ponsel ke dinding? Ia akhirnya meletakkan ponsel itu di atas meja. Tak dijawab. Tak dibaca. Mengganggu, batinnya. Ia melangkah menuju balkon. Udara dingin malam menerpa wajahnya saat ia membuka pintu kaca besar. Satu batang rokok ia nyalakan. Asap tipis mengepul dari bibirnya. Lalu satu lagi. Rokok kedua sudah separuh terbakar saat pendengarannya menangkap sesuatu. Suara gaduh kecil. Samar. Langkahnya membawa kembali ke ruang tengah. Dan dari celah kaca kecil, ia melihat siluet seseorang... di dapur. Dengan langkah tenang, ia mendekat. Lalu berdiri membelakangi sofa, memperhatikan sosok perempuan yang sedang sibuk mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik. Wajahnya tampak fokus, hoodie hitam besar itu membuatnya tampak semakin mungil. Dia membuka kemasan mi, memecahkan telur ke dalam mangkuk, mencuci ayam dengan gerakan hati-hati. “Sedang apa kamu?” suara Adiraja terdengar pelan, berat namun tak menyimpan kemarahan. Nayara menoleh cepat, kaget. Mata mereka bertemu. Dan waktu seolah berhenti. Untuk sesaat, hanya ada keheningan. Tatapan keduanya saling mengukur. Ada ketegangan samar di udara—bukan karena ketakutan, tapi karena sesuatu yang belum bisa mereka beri nama. Nayara menggenggam sendok di tangannya, berusaha tidak salah tingkah. “Saya... lapar,” jawabnya jujur, nyaris malu. “Makanan hotel... nggak cocok di lidah saya.” Adiraja menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya menarik napas dan berjalan masuk ke dapur, menghentikan diri di sisi meja. “Ponselmu bunyi terus,” ucapnya tenang, namun tatapan matanya mengarah tajam. “Viren.” Nayara diam. Tersentak. Ia lupa. Dan fakta bahwa Adiraja yang menyadari itu... membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. “Dia pasti khawatir,” lanjut Adiraja. Nada itu dingin. Tapi ada sesuatu di baliknya. Apakah itu... rasa kesal? Atau... rasa peduli? Nayara menunduk. “Maaf... saya buru-buru keluar, nggak sempat bawa ponsel.” Adiraja menatapnya sejenak sebelum akhirnya membuka kulkas, mengeluarkan sebotol air, lalu meminumnya dalam diam. “Lain kali, kabari saya kalau mau keluar,” ujarnya akhirnya, dengan suara datar namun mengandung peringatan. Dan Nayara... hanya bisa mengangguk kecil. Tapi dalam hati, ia bertanya-tanya... mengapa suara itu, yang begitu datar, justru membuatnya merasa... dijaga?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN