Part 4

1968 Kata
Deza melangkah menuju stadion kampus. Dia berharap tidak bertemu Kirani di stadion. Ia sadar benar, saat ini dia tengah terombang-ambing, bingung mengidentifikasi diri sendiri. Mungkin karena ia belum pernah merasakan jatuh cinta, dia kesulitan untuk memahami perasaannya sendiri. Manusia normal bahkan sudah bisa merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis sejak ia kecil. Bullying verbal yang menyebutnya lesbian semakin membuat uring-uringan. Belakangan ini dia lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri di kampus. Pergi ke perpustakaan sendiri, makan di kantin sendiri, mengerjakan tugas sendiri, kemana-mana sendiri. Rasanya sulit untuk percaya dengan seorangpun setelah curhatannya pada Alice bocor ke seantero kampus. Deza jatuh cinta pada Kirani, Deza menyukai Kirani, Deza patah hati karena Kirani sudah memiliki pacar. Karena kasus ini Deza menjadi terlalu paranoid untuk terbuka pada orang lain. Seseorang yang dia percaya sebagai teman sharing pun tega membocorkan isi curhatannya pada orang lain yang akhirnya berkembang menjadi desas-desus, menyebar dari mulut ke mulut. Sungguh tak enak saat berjalan di sepanjang koridor, tatapan pasang mata itu begitu menelisik dan berbisik-bisik membicarakan disorientasi seksualnya. Deza sadar benar, dia hanya terombang-ambing, masih dalam tahap pencarian jati diri dan dia tidak sepenuhnya tertarik pada sesama perempuan, karena dia masih memiliki ketertarikan dengan laki-laki, meski masih sebatas mengagumi kakak angkatan yang berkharisma dan berwajah tampan, bukan Alfarezel tentunya. Sakit, di saat Deza mencoba untuk terbuka, berbicara dengan orang lain dengan segala rasa yang bergemuruh di d**a, di saat yang sama ia merasa dikhianati. Pada akhirnya dia kembali pada motto lamanya, sepilu apapun kehidupan dan sepelik apapun masalah, lebih baik telan sendiri. Hubungan dengan orangtuanya juga semakin merenggang. Ibunya sering memarahinya karena Deza melakukan sesuatu yang ia nilai tak memenuhi standar perempuan shalihah yang baik. Terlambat pulang dicerewetin, bangun agak kesiangan apa lagi, bahkan satu bungkus permen di lantai kamarnya pun bisa jadi alasan Selia untuk memarahi anak gadisnya. Selia terlanjur kecewa dan kadang ia mati harapan. Baginya menyulap Deza menjadi sosok anak baik dan shalihah itu seperti sesuatu yang mustahil. Ayahnya yang biasanya lebih memahami kondisi Deza pun sekarang menjadi lebih keras terhadapnya. Selentingan rumor yang menyebut Deza lesbian sampai juga di telinga orangtuanya. Bahkan Selia dan Agil berencana untuk menikahkan Deza dengan seseorang yang bisa menerima Deza apa adanya dan mampu membimbingnya ke jalan yang lurus. Deza semakin tertekan. Usianya 17, baru mau menginjak 18 dan menikah muda sama sekali tak terlintas di benaknya. Deza merasa tak berarti dan tak diinginkan, bahkan oleh keluarganya sendiri. Kuliah hanya asal berangkat, tanpa semangat, karena sedari awal masuk psikologi, lebih untuk memenuhi keinginan ibunya, bukan pilihan dari hatinya yang terdalam. Saat kakinya memasuki pintu stadion, seseorang tengah berdiri di dekat pintu dan tersenyum menatapnya. Deza begitu jengah melihat laki-laki yang belakangan ini kerap mendatanginya di kampus. Bahkan dia bisa tahu akun media sosial dan nomor handphonenya. Sekarang sepertinya dia juga sudah paham jadwal latihan sepakbolanya. Deza berjalan melewatinya tanpa sepatah katapun. “Deza...” Laki-laki itu mengejarnya. Secepat langkah ia menyusul gadis tomboy itu dan kini berdiri di hadapannya. “Aku ingin ngajak kamu jalan atau makan atau kemana kek. Tolong kasih aku kesempatan.” Gara langsung saja to the point menyampaikan maksudnya. “Aku nggak akan mau pergi bareng kamu,” jawab Deza dengan sorot mata tertajamnya. “Kenapa? Aku nggak akan berlaku kasar. Nggak akan macem-macem. Apa salah kalau aku ingin ngajak kamu jalan? Kamu nggak punya pacar kan?” Deza mengembuskan napas, “Kamu baru putus dari Kirani dan sekarang kamu ngejar aku? Gimana bisa aku ngasih kesempatan untuk orang yang mudah jatuh cinta seperti kamu?” Gara menghela napas. Ditatapnya gadis tomboy di hadapannya begitu serius. “Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Aku juga nggak tahu kenapa, aku begitu tertarik sama kamu. Kamu itu istimewa. Cantik banget sebenarnya, hanya kamu nggak mau terlihat cantik dengan membungkus diri dengan tampilan maskulin.” “Oh jadi karena fisik? Kalau aku nggak cantik di mata kamu, kemungkinan kamu nggak akan tertarik kan?” Deza menyeringai dan tersenyum sinis. “Nggak juga. Fisik bukan jadi pertimbangan utama. Aku sudah bilang kalau kamu ini istimewa. Bisa banget bikin orang penasaran.” Gara menatap tajam Deza, membuat Deza sedikit salah tingkah. Rasanya tak nyaman ditatap sedemikian intens. “Aku nggak mau Kirani berpikir macam-macam dan mengiraku merebutmu darinya.” Gara tertawa pendek, “Aku dan dia sudah putus. Dan selama pacaran, dia nggak pernah nganggep aku pacar yang sebenarnya. Aku merasa nggak dianggap. Dia lebih banyak menghindar. Aku tahu dia terpaksa menerimaku. Aku tahu, dia memang nggak tertarik dengan laki-laki. Aku memacarinya dengan harapan dia bisa kembali ke kodratnya. Tapi ternyata percuma.” Deza bersedekap, “Oh jadi kamu ingin menjadi pahlawan? Ingin meluruskan orang-orang yang belok? Atau jangan-jangan kamu ngira aku ini penyuka sesama jenis makanya kamu berusaha mendekatiku dengan motif yang sama seperti saat kamu mendekati Kirani.” Gara melangkah lebih dekat, memperpendek jaraknya pada Deza. Deza sedikit gugup. Gara berbisik di telinga Deza. “Aku tahu kamu bukan penyuka sesama jenis Dez. Aku bisa ngrasain kamu deg-degan saat aku deketin kamu. Nggak butuh waktu lama kok, sebentar lagi kamu pasti jatuh cinta sama aku.” Deza tertegun. Gara tersenyum penuh arti padanya. Deza sadar benar dia belum jatuh cinta pada Gara. Terlalu klise untuk jatuh cinta. Di matanya, Gara hanyalah playboy yang mudah jatuh cinta pada perempuan. “Sedang apa kalian?” Suara lantang itu mengagetkan Deza dan Gara. Mereka menoleh sumber suara. Alfa berdiri menatap keduanya dengan raut wajah datar. Deza segera melangkah menjauh dan masuk menuju ruang ganti. Kini tinggal Alfa dan Gara diam mematung, tanpa kata. “Yang nggak berkepentingan untuk latihan bola sebaiknya jangan berada di sini.” Alfa bicara sedikit ketus. “Aku berkepentingan di sini. Aku mau lihat calon pacar latihan bola,” seloroh Gara santai. Alfa tertawa, “Calon pacarnya Deza? Nggak ada kamus pacaran di hidupnya Deza.” “Lo siapanya Deza? Ngatur-ngatur amat,” balas Gara ketus. Alfa tak menjawab. Dia berjalan menjauh dari Gara. Gara keluar dari stadion. Rasanya dia tak enak sendiri berada di dalam stadion tanpa kepentingan berarti. Latihan bola diawali dengan pemanasan statis. Pada pemasanasan kali ini, para pemain meregangkan otot mulai dari bagian tubuh atas menuju bawah, dari kepala sampai kaki. Gerakan dimulai dengan menggerakkan kepala ke atas, bawah dan samping kanan kiri. Setelah itu dilanjut dengan menekuk tangan dan kaki ke depan, samping dan belakang. Setelah selesai melakukan pemanasan statis, pelatih mengintruksikan para pemain untuk melakukan pemanasan dinamis dengan lari-lari kecil keliling lapangan. Alfa dan Deza lari beriringan mengelilingi lapangan. Mereka saling melirik sejenak. Deza langsung membuang muka. “Ehm yang udah punya pacar, sombong amat.” Alfa meledek Deza dengan kata-kata bernada sinis. Deza melirik Alfa tajam, “Apaan sih? Siapa yang punya pacar?” “Nggak usah pura-pura. Cowok tadi pacarmu kan? Atau calon pacar?” “Kepo amat,” balas Deza sewot. “Cuma ingin tahu aja. Aku ini kan calon kakak iparmu, wajar kalau aku ingin tahu.” Alfa tersenyum dan menaikkan alisnya. “Pede banget. Belum tentu kak Khansa mau sama kamu.” “Jelas mau. Aku tahu kakakmu tertarik sama aku. Sebentar lagi aku mungkin akan melamarnya. Nunggu aku genap 19. Aku sudah punya penghasilan sendiri. Udah siap menikah” Deza diam saja tak merespon ucapan Alfa. Latihan dilanjut dengan membagi tim menjadi dua kubu. Pelatih meminta para pemain untuk bermain bola di lapang. Pelatih menonton dari pinggir lapangan. Ia mengamati skill para pemain dan akan menambahkan materi baru yang bermanfaat untuk para pemain yang baru bergabung. Para pemain akan diajari teknik dasar bermain sepakbola, dribbling, kicking, stopping, heading, passing, sliding tackle, intercepting, throw-in dan goal keeping. Seusai latihan, seperti biasa para pemain masuk ke ruang ganti untuk berganti baju. Deza duduk di luar ruangan, menunggu sampai semua teman satu timnya keluar ruangan. Diteguknya sebotol air mineral sampai habis setengahnya. Satu per satu teman satu timnya keluar ruangan. “Udah keluar semua ya?” Deza melirik Dilan yang berjalan menuju pintu exit stadion. Dilan mengangkat ibu jarinya, “Udah.” Deza beranjak dan masuk ke dalam ruangan. Deza menutup pintu. Ia lupa menguncinya. Biasanya ia akan mengecek pintu sudah terkunci atau belum. Karena ia pikir suasana stadion sudah sepi dan tak ada orang yang ada di dalam ruangan selain dirinya, dia kurang concern untuk mengunci pintu. Ia rasa sudah cukup aman. Deza melepas kaos dan celana olahraganya. Ia rasakan badannya begitu lengket karena keringat. Ia pikir mungkin sebaiknya ia guyur badannya terlebih dulu dengan air di kamar mandi yang juga ada di dalam ruang ganti. Dia tak ingin ibunya curiga melihat badannya penuh keringat. Deza merahasiakan keikutsertaannya di tim sepakbola kampus karena Selia tak pernah mengizinkan putrinya bermain sepakbola. Deza mengambil handuk dan melangkah mendekat ke arah pintu kamar mandi. Pintu itu tertutup. Saat Deza hendak menyentuh kenop pintu, pintu sudah lebih dulu terbuka. Matanya terbelalak dan ia begitu shock seolah baru saja tersambar halilintar saat sosok cowok yang begitu ia benci berdiri di balik pintu dengan hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Laki-laki itu tak kalah terperanjat. Apalagi Deza hanya mengenakan pakaian dalam yang mengekspos tubuhnya yang ternyata begitu seksi. Perutnya rata, dadanya begitu menggoda dengan paha yang juga terekspos begitu mulus. Tubuh yang sedang mekar-mekarnya di usianya yang baru mau menginjak 18. Beberapa spot tubuh wanita yang mampu membangkitkan gairah laki-laki ini membuat cowok itu menganga sekian detik, berdebar tak karuan dan ia mencoba menstabilkan deru napasnya yang bergemuruh. Deza melongo sekian detik sebelum akhirnya benar-benar sadar dengan apa yang terjadi saat ini. Terlebih ketika ia tersadarkan bahwa ia hanya mengenakan pakaian dalam. Harga dirinya serasa dinjak-injak karena seorang laki-laki telah melihatnya tampil seterbuka ini. Deza refleks berteriak namun sang laki-laki segera membungkam mulut Deza dengan tangannya dan mendorong gadis itu hingga menghimpit dinding. Laki-laki itu takut teriakan Deza akan memancing perhatian orang yang masih ada di stadion dan salah paham dengan apa yang terjadi di ruangan ini. Mereka saling menatap dalam jarak yang begitu dekat. Mata Deza membulat dan ia hendak berteriak lagi tapi laki-laki di hadapannya segera mencegah, “Jangan berteriak. Nanti yang lain pada salah paham.” Deza terdiam dengan deru napas yang berkejaran. Bertatapan sedekat ini membuatnya berdebar tak menentu. Gugup dan deg-degan seolah saling bersahutan. Laki-laki itu menelusuri detail wajah Deza yang entah kenapa terlihat jauh lebih cantik dari yang ia duga. Selama ini ia jarang memperhatikan gadis tomboy itu. Ini pertama kali untuknya menelisik detail wajah Deza yang ternyata begitu sempurna. Alis yang simetris, bulu mata panjangnya yang lentik, mata sebening oase dengan bola mata yang begitu tajam memancarkan ketegasan dan kecantikan di saat yang bersamaan, kulit wajah yang begitu halus, dan bibir ranumnya yang merekah alami. Laki-laki mana yang tidak tertarik? Deza masih saja deg-degan hingga ia tak mampu berpikir jernih. Degup jantung itu berpacu semakin kencang. Ini pertama kali untuknya menatap lekat-lekat wajah laki-laki yang ia akui begitu tampan dengan pahatan yang seakan tanpa cela. Kembali ia mempertanyakan orientasi seksualnya. Sepertinya ia memang hanya berada pada fase terombang-ambing. Karena nyatanya saat ini desiran di hatinya begitu merajai. Waktu seakan berhenti dan dua pasang manik bening itu masih beradu. Bahkan tangan sang laki-laki sudah berani meninggalkan jejak di garis pipi Deza. Ia telusuri pipi itu dengan jari-jarinya seakan tak berhenti mengagumi kecantikan Deza. Entah kenapa laki-laki itu tergoda untuk memberi kecupan di bibir Deza yang ia yakin belum tersentuh oleh siapapun, sama sepertinya yang juga belum pernah mencium perempuan. Entah, segala nasihat dan ceramah yang ia dengar dari orangtua maupun kajian tiba-tiba menguap begitu saja. Ketika syahwat sudah berbicara, tiba-tiba semua terlihat gelap. Rasa penasaran yang tinggi akan hubungan lawan jenis di usia yang masih merangkak menuju dewasa seakan begitu sulit untuk ia cegah. Deza terpaku. Untuk pertama kali ia merasakan sentuhan yang membuatnya tak sanggup melawan. Ini bukan pelecehan seperti saat tetangganya menggerayangi tubuhnya di usianya yang masih 12 tahun. Tentu bukan, karena Deza membiarkan sentuhan jari-jari Alfa di pipinya dan dadanya semakin bergemuruh kala Alfa mendekatkan wajahnya. Deza bertanya-tanya, apa Alfa hendak menciumnya? ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN