Ancaman

1803 Kata
Alice mengembuskan napas kasar untuk kesekian kali, memutar bola mata malas sembari melipat tangannya di depan d**a. Ingin sekali ia menggetok kepala orang di depannya, tapi ia masih menahan diri untuk tidak melakukan hal tersebut. "Hello, excuse me." Suara Alice mengudara, menarik perhatian si pengendara motor besar yang melaju pelan. "Bisa turunkan aku saja? Aku ada kelas pagi dan aku bisa terlambat jika kamu mengendarai motornya seperti ini," geram Alice, tak bisa bersabar lagi. "Bukannya tadi lo yang minta pelan," sahut orang itu yang tak lain Ragas, melirik ke kaca spion untuk melihat ekspresi wajah Alice. Ia tersenyum geli ketika Alice memberinya dengkusan sebal saat mata mereka tak sengaja saling beradu. "Pelan bukan berarti selambat siput begini. Bahkan kura-kura mungkin lebih cepat dari motor butut ini!" sarkas Alice dengan nada ketus. Bukannya marah, Ragas malah tergelak mendengar ejekan Alice tentang motornya. Ia menyeringai, lalu berkata, "Jadi lo maunya gimana? Cepetin lagi?" "Ya iya——" Baru saja mulut Alice mengeluarkan suara, tiba-tiba ia tercekat bersamaan dengan tubuhnya yang spontan terdorong maju menabrak punggung Ragas. "Aaa!" Ia memekik. Belum cukup membuat Alice kaget, kini laju motor yang berubah kencang itu membuat Alice menjerit-jerit histeris. "Ragas!!!" Ragas tertawa puas, tak peduli akan jeritan Alice. Justru semakin kencang Alice berteriak, maka ia akan menambah laju motornya. Seakan menantang maut, seolah nyawa keduanya tak lagi berarti. "Ragas!" "Are you crazy!" "Stupid!" Sepanjang jalan, Alice meneriaki Ragas, melontarkan berbagai macam kata mutiara yang sebenarnya pantang untuk ia ucapkan. Jika mamanya tahu, mungkin Alice akan dihukum dan mendapat ceramah panjang tentang sopan santun dalam bertutur kata. "Ragas, setop!" "Apa kamu berniat membunuhku?" Alice terus berteriak di dekat telinga Ragas, bersaing dengan suara angin yang lebih dominan. "Lo ngomong apaan? Gue nggak denger!" Ragas menyahut, tapi ucapannya malah membuat Alice makin gondok. "Berhenti!" teriak Alice untuk kesekian kali. "Apaan, kurang kenceng?" Ragas sengaja memprovokasi. "Oke, gue tambahin lagi." Dan jeritan Alice sukses menarik perhatian pengendara lain. Namun, Ragas seakan tak peduli dengan sekitar dan melajukan motornya dengan kecepatan penuh, menyelinap di antara kendaraan lain. Dengan kecepatan penuh di atas rata-rata, tak butuh waktu lama sampai motor Ragas memasuki gerbang kampus. Kedatangannya sukses menjadi pusat perhatian para mahasiswa yang baru datang maupun yang berada di sekitar area kampus. Hal yang sering terjadi setiap kali Ragas tiba di kampus, tapi kali ini ada yang berbeda. Para mahasiswa tampak terbengong-bengong dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu ketika teriakan Alice terus terdengar mencaci maki Ragas. "Ragas! Kamu berengsek!" Bahkan tanpa sadar Alice meneriakkan kata-kata kasar kepada Ragas saking emosinya. Mendengar apa yang baru saja Alice ucapkan, Ragas spontan menghentikan motornya mendadak. Alhasil Alice terdorong maju, jidatnya membentur kepala Ragas. "Aww!" Alice mengusap jidatnya, meringis menahan sakit. "Heh!" Lalu bersiap menyemprot Ragas. Tapi ketika lelaki itu menolehkan kepala ke belakang dan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi, Alice langsung mengatupkan bibirnya. "Apa lo bilang barusan?" ucap Ragas, dingin. "Ap-apa?" Alice jadi gugup. "Lo barusan bilang apa?" ulang Ragas, sorot matanya seperti akan melahap Alice hidup-hidup. "E-enggak, aku nggak bilang apa-apa kok." Alice deg-degan, buru-buru membuang muka. Sebisa mungkin menghindari tatapan Ragas yang mengerikan. "Lo barusan bilang gue berengsek?" Ragas memancing Alice agar mengakui. Tapi Alice enggan mengakuinya. "Enggak!" Alice mengelak. Merasa Ragas akan terus menuntut, ia pun bergegas turun dari motor Ragas. "Mau ke mana lo?" Ragas menahan pergelangan tangan Alice ketika gadis itu akan beranjak pergi. "Lo belum jawab pertanyaan gue?" "Enggak penting," tukas Alice, mencoba menyingkirkan tangan Ragas dari tangannya. Tapi cengkraman lelaki itu terlalu kuat. "Ragas, please. aku ada kelas pagi." Kali ini Alice benar-benar memohon, sudah cukup lelah berteriak di sepanjang jalan dan ia tidak mau menambah perdebatan yang tidak penting. "Oke." Untungnya Ragas mengiyakan permintaan Alice, melepaskan tangan gadis itu dan kemudian berkata lagi. "Sebagai gantinya istirahat nanti temui gue di kantin." "Apa?" Alice hendak protes. Namun, terlambat karena Ragas sudah melajukan motornya menuju parkiran. Ia berdecak menatap punggung cowok itu yang semakin menjauh dari pandangannya. "Dasar cowok rese! Nyebelin!" Alice yang kesal pun memutuskan untuk segera ke kelas. Keadaan di sekitar membuatnya risih ketika sadar tatapan para mahasiswa lain tengah tertuju pada dirinya. Ditambah selentingan dari para mahasiswi yang secara terang-terangan membicarakan tentang dirinya. Namun, ketika Alice memutar tubuhnya ke depan ia malah terkejut saat mendapati seseorang sudah berdiri di hadapannya. "Aaa!" Refleks Alice membungkam mulutnya agar tidak berteriak lebih kencang dari pekikan yang sudah terlanjur mengudara. "Kenapa? Gue ngagetin ya?" Seorang cowok yang berdiri di hadapan Alice sontak terkekeh geli melihat ekspresi kaget wajah Alice. " Sorry, nggak bermaksud bikin lo kaget." Dan tangan cowok itu terangkat mengacak-ngacak rambut Alice, gemas. Alice jadi salah tingkah, pipinya memerah bagaikan tomat rebus. Iya hanya mengulas senyum tipis pada cowok di depannya yang tak lain kakak tingkatnya, Adam. "Lo beneran pacaran sama Ragas?" Tiba-tiba saja Adam bertanya soal hubungan Alice dengan Ragas, pandangannya pun beralih cepat ke arah parkiran di mana Ragas sekarang berada. "Hah?" Alice tersentak, tapi kemudian buru-buru menggeleng. "Ee-enggak kok. Aku nggak pacaran sama Ragas," jawab Alice, tak mau Adam salah paham. "Terus?" Adam menaikkan sebelah alisnya, seakan masih belum puas akan jawaban Alice. "Kok kalian bisa berangkat bareng?" "Oh, itu ...." Alice menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kebetulan kita bertetangga dan mama aku minta tolong sama Ragas karena mama nggak bisa anterin ke kampus." "Oh." Adam manggut-manggut. "Lain kali lo bisa minta jemput gue kalau mama lo nggak bisa anterin." "Ya?" Alice bengong sesaat setelah mendengar penuturan Adam dan cowok itu malah terkekeh geli melihat reaksinya. "Lo lucu banget sih, Alice. Apalagi kalau pipi lo sampai merah tomat begitu," ucap Adam, masih tersenyum geli melihat ekspresi Alice yang justru terlihat menggemaskan seperti anak kecil. Siapa kira jika kata lucu yang disematkan Adam untuknya, malah membuat jantung Alice kalang kabut dan berpacu di luar kendali. Takut bereaksi berlebihan dan justru berakhir mempermalukan diri sendiri, lantas Alice memilih untuk segera undur diri dari hadapan Adam. Karena ia tak bisa menjamin tidak akan pingsan jika Adam kembali melontarkan kata-kata seperti barusan. "Kak, aku ada kelas pagi, duluan ya." Alice tersenyum semanis mungkin, kemudian buru-buru kabur. Bahkan sebelum Adam merespon ucapannya. Adam yang melihat Alice lari terbirit-b***t pun semakin tersenyum geli. Menggelengkan kepala, memandang kepergian Alice yang mulai menjauhi pandangannya. "Lucu banget sih, Alice. Coba lo mau jadi cewek gue?" gumam Adam, kembali teringat akan pernyataan cintanya pada Alice yang sempat ditolak oleh gadis itu. "Tapi gue nggak bakal nyerah, Alice. Gue yakin suatu saat nanti lo bakal jadi cewek gue." Senyum merekah Adam menghias wajah tampannya, begitu yakin akan ucapannya. ———— Sejujurnya Alice malas keluar dari kelas, meski dosen sudah mengakhiri mata kuliah matematika beberapa saat yang lalu dan seluruh mahasiswa menghamburkan keluar menyisakan dirinya yang masih betah duduk di bangkunya. Alice mengembuskan napas kasar untuk kesekian kali, menjedotkan kepala ke buku jurnalnya yang tebal. "Mikir Alice, mikir." Alice memaksa otaknya berpikir bagaimana caranya ia bisa menghindari Ragas. Ia tidak mau menemui cowok itu di kantin. Sudah cukup desas-desus tentang dirinya dan Ragas menyebar luas sampai seantero kampus, Alice tak mau memperparah gosip yang beredar jika ia menemui Ragas di kantin. "Alice?" Suara berat yang memanggil namanya, menginterupsi Alice. Sontak ia mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang memanggil. Seulas senyum ramah menghangatkan menyambut pandangan Alice. Wajah secerah mentari itu menyita pandangannya sepenuhnya. "Kak Adam?" Alice menoleh ke sekelilingnya, ruang kelas sudah sepi dan hanya ada dirinya, bersama Adam yang kini berdiri di hadapannya. "Kak Adam kok bisa ada di sini?" tanyanya, basa-basi sekaligus heran kenapa Adam bisa ada di ruangan ini. "Mau nemuin lo," jawab Adam, memamerkan lesung pipinya yang manis saat tersenyum. "Tadi gue tungguin di luar, tapi lo nggak keluar-keluar." "Oh, itu ...." Alice terlihat bingung, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak mungkin menceritakan pada Adam mengenai alasannya tidak segera keluar kelas, lantas ia pun mengalihkan topik pembicaraan dengan pura-pura bertanya. "Kakak ada perlu apa emangnya sama aku?" "Lo habis ini nggak ada kelas 'kan? Gue mau ajakin lo makan siang bareng di kantin——" "Hah? Kantin?" Mendengar Adam menyebut kantin membuat Alice gelagapan, teringat akan ucapan Ragas tadi pagi. "Istirahat temui gue di kantin." Suara Ragas terngiang-ngiang di telinga Alice, mengusik pikirannya. Spontan Alice menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menyingkirkan sosok menyebalkan yang terus menari-nari dalam pikirannya. "Alice, kenapa?" Adam yang melihat Alice menggeleng-gelengkan kepala, tentu saja khawatir. "Lo baik-baik saja?" "Ah, iya." Alice menatap Adam kembali. "Maaf Kak, aku nggak bisa. Habis ini aku mau ke perpus, ada tugas yang harus aku kerja———" Alice tercekat ketika suara lain menginterupsi, sontak ia menoleh ketika mendengar suara yang begitu familiar di telinganya. "Sayang." Baik Alice maupun Adam spontan menoleh ketika mendengar suara dari arah pintu masuk. "Ragas!" Alice melotot, mengetahui siapa gerangan yang memanggilnya dengan panggilan sayang. "Di sini ternyata, gue nungguin loh dari tadi di kantin." Ragas tersenyum lebar, menghampiri Alice yang spontan berdiri ketika melihat dirinya. "Kantin yuk, laper." Alice melotot pada Ragas ketika tangan cowok itu dengan lancang merengkuh pinggangnya. Ia memperingati Ragas lewat sorot mata, tapi sepertinya cowok itu tidak peduli dan malah mendaratkan kecupan di pipi. "Ragas!" Alice menggeram, kesal. Tangannya ingin sekali mencakar-cakar wajah Ragas yang menyebalkan. "Iya, sayang." Ragas menyeringai, tangannya yang lain terulur menyelipkan rambut Alice ke belakang telinga. Alice geregetan, bersiap mencaci maki Ragas. Tetapi suara Adam mengurungkan niatnya, menyadarkan Alice akan eksistensi cowok itu yang masih berada di hadapannya. "Alice, jadi gimana, mau makan siang bareng gue?" Adam bertanya, seakan tak mempedulikan kehadiran Ragas di sisi Alice. "Ma——" Alice berniat menjawab, sayangnya Ragas lebih dulu menyela ucapannya. "Enggak, soalnya Alice mau makan siang bareng gue, pacar kesayangannya." Ragas berkata dengan mantap, memandang Adam yang mengalihkan tatapan kepadanya. "Alice bilang kalian nggak pacaran," kata Adam, tak gentar sedikit pun meski sorot mata Ragas seolah mengintimidasinya. "Emang enggak kok——aaw!" Alice memekik karena Ragas mencengkram pinggangnya. "Ragas!" Ia meringis akibat remasan jemari kokoh Ragas yang begitu kuat. Ragas mencondongkan kepalanya lebih dekat ke wajah Alice, matanya tak lepas dari menatap Adam yang masih setia berdiri di hadapan mereka. Lalu dengan sekali sentak, ia menarik pinggang Alice kian rapat dengan tubuhnya. "Ikut gue, atau rahasia lo tersebar," bisik Ragas. Alice hendak protes, tapi Ragas berhasil membungkamnya. "Terutama semua yang lo tulis di buku diari." Ragas tersenyum lebar saat Alice menatapnya penuh emosi. Tahu jika ancamannya berhasil membuat Alice tak punya pilihan lain selain mengikuti kemauannya. Alice mengembuskan napas kasar, mengalihkan pandangan sepenuhnya pada Adam yang masih menunggu jawaban. "Kak Adam, maaf. Aku nggak bisa, aku ...." Alice melirik Ragas, mulutnya sangat ingin menyumpah serapah cowok itu. Tapi apa daya ia tak mampu dan hanya bisa pasrah tunduk di bawah ancaman Ragas. "Aku mau makan siang bareng Ragas." "Lo denger 'kan? Alice mau makan siang bareng gue." Ragas tersenyum puas melihat wajah kesal Adam dan itu justru membuatnya semakin ingin memanas-manasi. "Ayo sayang." Ragas dengan bangga membawa Alice pergi meninggalkan Adam yang terpaku di tempatnya berdiri, memandang nanar kepergiannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN