Pengganggu

2115 Kata
Alice baru saja selesai mandi, melangkah keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah. Ia mendekat ke meja belajar, di mana suara dering ponsel menarik kakinya mendekat. Melihat mamanya menelepon buru-buru ia mengangkat panggilan tersebut. "Halo." Terdengar suara sang mama di ujung telepon menyapa sekaligus menanyakan keberadaan Alice yang tak menjawab telepon dari sore. "Maaf Ma, Alice tadi pulang langsung tidur. Bangun jam enam, terus buru-buru mandi. Ini baru selesai." Alice menarik kursi belajar, mendaratkan bokongnya di sana sembari mendengarkan seksama mamanya yang terus berbicara di telepon. "Jadi mama nggak pulang malam ini?" Alice menghela napas panjang ketika sang mama memberitahu akan long shift akibat ada salah satu Dokter yang berhalangan hadir dan UGD kekurangan Dokter jaga. "Hem." Alice hanya bergumam mendengarkan penjelasan mamanya. Ini bukan yang pertama kali, jadi Alice sebenarnya sudah terbiasa ditinggal sendiri. Apalagi semenjak mamanya dipindah tugaskan ke Jakarta, waktu dan prioritas mamanya lebih tercurahkan ke pekerjaannya sebagai Dokter ketimbang pada Alice, anak semata wayangnya. "Iya, nanti Alice bisa pesan go food kok. Mama nggak perlu khawatir. Mama juga jangan lupa makan, semangat, ma, bye." Setelah mengiyakan perintah mamanya untuk tidak melewatkan makan malam, Alice mengakhiri sambungan telepon. Alice kembali menghela napas panjang, melempar ponselnya ke atas meja belajar. Hari-harinya membosankan, terkadang ia merasa kesepian, seperti sekarang. Alice membuka tasnya, mengeluarkan buku-buku, mencoba mencari kesibukan dan saat itulah ia baru tersadar jika buku diarinya tidak ada di dalam tas. "Cowok rese!" Alice melempar kasar tasnya ke meja, emosi ketika teringat jika buku diarinya diambil oleh Ragas waktu di kantin. "Dasar cowok nyebelin!" Mood belajarnya langsung lenyap. Bersamaan dengan itu terdengar suara bel rumahnya berbunyi. Mau tidak mau Alice bergegas keluar kamar, setengah berlari menuruni tangga. Ia mempercepat langkahnya ketika suara bel semakin terdengar memburu tak sabaran. "Iya, sebentar!" teriak Alice, berharap orang di luar pintu berhenti menekan bel. "Siapa sih, nggak sabaran banget. Apa nggak tahu cara bertamu yang sopan? Udah kayak debt collector nagih utang," gerutu Alice sepanjang jalan menuju pintu. Namun, sepertinya orang di luar pintu memang tidak mengenal kata sabar. Alih-alih berhenti menekan bel, malah semakin gila memainkan bel pintu. Tentu saja hal tersebut membuat Alice geram, tersulut emosi untuk memaki orang tersebut. Tapi ketika pintu terbuka lebar, Alice langsung terperangah melihat siapa yang ada di luar pintu. "Hai." Seseorang muncul dengan senyum tanpa dosa, melambaikan tangan pada Alice. Alice menganga, semua umpatan tertahan di tenggorokan. Siapa kira jika tamu tak diundang yang memainkan bel rumahnya secara membabi buta ternyata Ragas, tetangga sebelahnya yang sangat menyebalkan. "Mau apa kamu kemari?" Alih-alih menyambut Ragas, Alice malah memasang wajah galak. Menunjukkan betapa tidak sukanya ia melihat Ragas di depan rumahnya. Ragas mengangkat paper bag yang ia tenteng sejajar dengan mukanya. "Dari mama, takut lo mati kelaparan." Alice sudah akan menolak pemberian itu, tapi Ragas lebih dulu masuk menerobos dirinya yang berdiri di ambang pintu. Spontan Alice berbalik, berniat meneriaki Ragas yang masuk ke rumahnya tanpa izin. Tapi lagi-lagi cowok itu lebih dulu berbicara sebelum sempat Alice mengeluarkan kata-katanya. "Nyokap lo belum pulang, 'kan?" Ragas berjalan petentang petenteng, matanya mengamati sekeliling rumah Alice. Hingga ia menghentikan langkahnya di dekat meja makan dan meletakkan paper bag di atasnya. "Lo di rumah sendiri dong?" Alice malas menanggapi pertanyaan Ragas, menganggap cowok itu hanya butiran debu yang mengganggu pandangannya. Meski keberadaan Ragas saat ini berada kurang dari satu meter di dekatnya, karena Alice menyusul ke meja makan. "Lo nggak takut di rumah sendirian?" Ragas terus bertanya meski tahu Alice tak akan sudi menjawab. Seolah mengangap rumah sendiri, ia mengambil buah apel di atas meja dan memakannya tanpa izin lebih dulu pada Alice yang sedang menatap nyalang dirinya. "Apa ibumu tidak pernah mengajari sopan santun?" sarkas Alice, geram melihat kelakuan Ragas yang membuatnya tak habis pikir. Ada ya manusia seperti ini? "Kenapa?" Ragas memiringkan kepala menatap penuh pada Alice yang langsung membuang muka saat mata mereka tak sengaja saling beradu. "Kenapa?" Alice berdecih, tersenyum sinis mendengar jawaban Ragas. "Pertama kamu masuk ke rumah orang lain tanpa izin. Lalu sekarang kamu makan buah tanpa izin terlebih dahulu sama pemiliknya. Nggak sopan!" tukas Alice, memberikan lirikan setajam silet. Bukannya tersinggung ataupun minta maaf, Ragas malah terkekeh dan menunjukkan apel yang sudah ia gigit setengahnya. "Cuma apel. Tapi kalau lo keberatan ya gue balikin. Nih." Dan dengan tanpa merasa bersalah, ia meletakkan kembali apel itu ke keranjang buah yang ada di atas meja makan. "YAAA!!!" Spontan Alice meneriaki Ragas. "Jangan teriak-teriak bego, telinga gue bisa budek gara-gara suara lo yang cempreng." Ragas mengucek telinganya yang pengang gara-gara teriakan Alice barusan. "Ambil lagi nggak!" bentak Alice, menyuruh Ragas memungut kembali potongan apel yang tinggal setengah. "Nggak mau, bukanya lo tadi keberatan apelnya gue makan. Udah gue balikin, sekarang nyuruh gue ambil lagi. Dasar cewek plin plan." Ragas mencibir Alice dan hal itu malah semakin menyulut kemarahan gadis itu. "Ragas, ambil! Jorok tahu!" Hilang sudah kesabaran Alice. Ia tak tahan lagi menghadapi Ragas yang selalu memancing emosinya, lama-lama bisa bikin darah tinggi. "Enggak mau." Ragas menolak untuk mengambil apel bekasnya. Ia malah berjalan ke sofa ruang tengah, mendaratkan bokongnya menyandar pada sandaran sofa dan menaikkan kakinya. Benar-benar seperti di rumah sendiri. Ragas juga menyalakan televisi. Melihat Ragas yang semakin tidak tahu diri, tanpa pikir panjang Alice mengambil apel bekas gigitan Ragas dan melemparkannya tepat mengenai kepala cowok itu. "Dasar cowok nyebelin! Rese! Nggak ada ahlak!" "Awww!" Ragas memekik ketika kepalanya ditimpuk dari belakang. Ia spontan menoleh dan mendapati pelakunya tengah menatap garang dirinya. "Lo!" Baru saja Ragas membuka mulutnya, tiba-tiba Alice melemparinya lagi dengan buah lainnya. "Wooy!" Sontak Ragas menghindar, tapi Alice tak berhenti dan malah makin membabi buta. Melempar apa saja kepada Ragas. "Dasar cewek bar-bar!" teriak Ragas yang berlarian keluar rumah Alice dan gadis itu langsung menutup pintu rumahnya. "Sial!" Ragas menyeka bajunya yang kotor terkena potongan buah semangka. "Emang cewek bar-bar, nggak ada ahlak. Bukannya terima kasih gue bawain makanan, ini malah ngelemparin gue pakai buah. Jiah kotor." Ketika Ragas sibuk membersihkan bajunya, seseorang memanggil dan menarik atensinya. Ragas menoleh ke sumber suara, mendapati dua orang temannya yang mengendarai motor sport berhenti di dekat pagar rumah Alice. Mereka berdua melambaikan tangan, menginteruksi agar Ragas mendekat. "Lo ngapain di situ?" tanya temannya berambut gondrong yang dikucir ke belakang ketika Ragas tiba di hadapannya. Cowok itu bernama Kai, teman satu kampus beda jurusan. Kai mengambil jurusan arsitek. "Bukannya itu rumah cewek yang tadi pulang bareng lo?" Cowok yang dibonceng Kai ikut bertanya, cowok dengan rambut pirang. Ia bernama Sehan, mengaku kembaran Sehun anggota boy band Korea yang sedang hits di kalangan cewek-cewek di kampus. Padahal muka Sehan dominan mirip bule dari pada mirip artis dari negeri gingseng itu. Secara bapaknya asli Rusia, nggak heran kalau tampang Sehan paling ganteng di jurusannya, jurusan bisnis. Cuma mines di ahlak. Ragas hanya mengangguk, tak berniat memberikan penjelasan meski tahu kedua temannya tengah menatapnya penuh selidik. "Lo berdua ngapain kemari?" "Arnold bikin parti di tempat biasa. Lo ditelepon nggak diangkat, makanya kita susulin ke sini. Lo mau ikut nggak, yang lain udah pada kumpul di sana," ucap Kai, menjelaskan maksud kedatangannya. Ragas tersenyum lebar pada keduanya. "Kuy." "Ini baru Ragas Aldebaran. Nggak pernah nolak kalau diajak parti, gas terus!" seru Sehan. "Yoi. Gue ambil motor dulu." Ragas berlari kecil menuju rumahnya, dikuti oleh motor Kai. Sementara dari balik jendela lantai dua, Alice sedari tadi memperhatikan mereka bertiga. Memandang sinis Ragas dan kedua temannya yang terkenal sebagai komplotan anak nakal di kampus. Tahu kalau Ragas dan dunia liarnya tak baik untuk ketenangan hidupnya, Alice bertekad untuk lebih keras menghindar dari cowok itu. Dasar pengganggu! *** Parti yang diselenggarakan oleh Arnold, salah satu teman dekat Ragas sejak SMA, diadakan di sebuah klub bergengsi yang berada di pusat kota. Butuh waktu setengah jam bagi Ragas, Kai dan Sehan sampai di klub tersebut. Ketiganya bergegas masuk dan langsung disambut suara musik yang memekakkan telinga, bercampur dengan suara DJ dan sorakan pengunjung yang melebur di lantai dansa. Klub ini milik kakaknya Arnold, itu kenapa Ragas dan teman-teman yang lain bebas melakukan parti hampir setiap hari. Mereka juga punya tempat khusus, ruang VIP di mana tempat itu juga dijadikan markas geng motor mereka—Galvatron. Nama geng yang terinspirasi dari film transformer. "Hei, Mabro." Arnold menyambut kedatangan Ragas, Kai dan Sehan. "Welcome my party." Ruangan VIP dipenuhi sekitar sepuluh orang cowok dan lima belas cewek yang rata-rata pasangan dari setiap anggota geng, sisanya cewek yang dibawa oleh Arnold untuk menghibur. "Dalam rangka apa nih?" tanya Ragas ketika memberikan salam lakik ala gengnya pada Arnold. Melambaikan tangan pada yang lainnya sebagai sapaan. Ragas merupakan salah satu anggota inti Galvatron, ia juga paling disegani setelah Arnold yang merupakan ketua geng. "Dalam rangka merayakan kebebasan gue. Akhirnya gue terbebas dari jeratan boneka Annabelle!" seru Arnold, memberikan segelas wine kepada Ragas. "Wow." Ragas terkejut, lalu menyeringai. "Lo kasih jampi-jampi apa tuh cewek. Bukannya lo berdua dijodohin." Arnold mengedikkan kedua bahunya, kembali duduk. "Mungkin karena dia sadar kalau dia nggak bakal bisa memiliki gue." Arnold tergelak. Ragas menaikkan sebelah alisnya, duduk di samping Arnold. Sementara Kai dan Sehan sudah berbaur dengan cewek-cewek yang Arnold bawa. Heboh berjoget sembari menikmati minuman laknat yang disediakan oleh sang tuan rumah. "Tadi pagi dia mergoki gue abis tidur sama cewek. Dan nggak ada angin nggak ada ujan tiba-tiba bilang kalau dia bakal batalin perjodohannya. Hebat, 'kan. Bertahun-tahun gue kesiksa gara-gara tuh cewek demit, akhirnya hari ini gue bisa bebas dari dia." Arnold bersorak senang, tertawa lepas. Ragas terkekeh. "Parah juga lo. Emang lo nggak takut kalau si Anna ngadu soal lo tidur sama cewek?" Arnold terdiam, baru terpikirkan akan hal itu. Namun, detik berikutnya ia mengedikkan bahunya, tampak tak acuh. "Bodo amat, siapa juga yang bakal percaya sama dia. Yang penting gue bebas." Ragas menggelengkan kepala, mendengkus geli melihat kelakuan Arnold yang kegirangan sampai joget-joget kaya badut mampang. Ragas tak ambil pusing persoalan Arnold dan tunangannya itu. Ia memilih menikmati pesta yang diadakan oleh Arnold. Saat Ragas akan mengeluarkan sepuntung rokok, seseorang tiba-tiba menerobos masuk dan menarik perhatian semua orang. "Gue mau bicara sama lo!" Seorang cewek berpakaian seksi berdiri di hadapan Ragas. Ragas menaikkan sebelah alisnya saat menatap cewek itu. Ia mengenalinya, cewek itu bernama Monna, kakak tingkatnya di kampus. "Ngomong aja di sini." "Gue mau ngomong berdua sama lo. Ikut gue." Setelah itu Monna berjalan keluar dari ruangan yang tiba-tiba hening karena Sehan mematikan musiknya. Ragas menghela napas panjang, menyadari semua perhatian teman-temannya saat ini tertuju kepada dirinya. "Sorry," ucapnya pada semua orang yang menatapnya, penasaran. "Kalian lanjutin lagi aja partinya, gue mau ngerokok di luar," kata Ragas. Tanpa menunggu reaksi yang lain, ia berjalan keluar menyusul Monna. "Woy, nyalain lagi musiknya!" teriak Arnold. Sehan yang mendengar buru-buru menyalakan sebelum Arnold ngamuk. Mereka semua kembali berpesta, tak lagi menghiraukan kepergian Ragas bersama Monna. "Mau ngomong apa?" Di luar Ragas menemui Monna yang berdiri di dekat mobil cewek itu. Monna menatap serius Ragas, sedangkan Ragas sendiri tampak tak peduli dan malah asyik menikmati sebatang rokok yang menyelip di sela-sela bibirnya. Bahkan ia juga dengan sengaja mengembuskan asap itu ke wajah Monna saat cewek itu tak kunjung berbicara. "Jadi mau ngomong nggak?" Monna terbatuk akibat ulah Ragas dan cowok itu terlihat biasa saja, terkesan cuek atau malah sama sekali tak peduli. "Jelasin, ini apa?" Monna menunjukkan layar ponselnya, di mana foto Ragas dan Alice waktu jatuh di kantin siang tadi terpampang di layar ponsel Monna. Ragas hanya melihat sebentar, kemudian membuang muka ke depan. Menghisap lebih kuat rokoknya dan mengembuskan asapnya ke udara. Sama sekali tak ada tanda-tanda ia akan menanggapi foto yang Monna tunjukkan. "Ragas, jawab gue!" Monna yang tak sabaran, menarik lengan Ragas agar menghadapnya. "Ini maksudnya apa?" Sekali lagi mempertanyakan foto di layar ponselnya. "Apa hubungan lo sama dia? Apa bener lo sama dia pacaran?" "Kenapa? Lo pengen tahu banget? Emang segitu pentingnya buat lo?" sahut Ragas pada akhirnya. Monna mendecih, tak habis pikir akan jawaban Ragas. "Lo tanya kenapa?" Ia menyugar rambut panjangnya ke belakang, lalu menatap lekat Ragas. "Sebenarnya lo anggap gue apa sih, Gas? Temen bobo?" sarkas Monna. "Mungkin," jawab Ragas sekenanya dan sukses membuatnya mendapat tamparan keras di pipi. "Berengsek tahu nggak sih lo, Gas!!!" Monna emosi, napasnya menggebu-gebu dengan mata nyalang menatap sengit Ragas. Ragas terkekeh, mengusap sebelah pipinya yang mendapat tamparan dari Monna. "Emang hubungan kita apa? Bukannya kita nggak ada kesepakatan apa pun? Dan bukan gue yang minta lo buat temenin gue bobo, lo sendiri yang dateng ke gue. Terus sekarang lo marah-marah sama gue? Lucu lo. Makanya jangan terlalu baperan jadi cewek—" Monna makin tersulut amarah mendapat respon seperti itu dari Ragas. Tanpa ba-bi-bu Monna kembali menampar cowok itu sekaligus membungkamnya. "Berengsek!!! Bener-bener berengsek lo, Gas! Nyesel gue kenal sama lo!" Setelah itu Monna masuk ke mobilnya, bergegas meninggalkan pelataran klub mewah itu. Sedangkan Ragas mengusap kembali pipinya yang serasa memanas. "Sialan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN