Supir Dadakan

1738 Kata
Begitu aku sampai di basement apartemen, ponselku berdering. Nama Bu Sania muncul di layar. Aku buru-buru menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. “Halo, Bu?” tanyaku agak terengah karena masih ngos-ngosan membawa koper. Suara Bu Sania terdengar panik. “Tara! Aduh, gawat! Supir Ibu baru saja menelpon. Dia tidak bisa antar kita ke Bandung. Orang tuanya meninggal, jadi dia harus pulang kampung sekarang juga!” Langkahku langsung terhenti. “Apa? Terus kita naik apa, Bu? Kalau naik taksi—” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Dirga yang menggantikanku menarik koper melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. “Loudspeaker, loudspeaker!” bisiknya dengan wajah sok serius. Aku melotot kesal. “Apaan sih?” bisikku balik, menutup mic ponsel dengan telapak tangan. “Cepetan, loudspeaker. Aku mau dengar,” desaknya sambil menunjuk ponselku. Dengan berat hati, aku menekan tombol loudspeaker. “Sudah, nih.” “Bu, jadi kita gimana, Bu?” tanyaku lagi. Bu Sania terdengar panik. “Ibu bingung, Tara. Kalau kita pesan taksi sekarang takutnya nggak aman untuk perjalanan jauh. Cari supir pengganti juga mana sempat. Padahal jam sepuluh meeting harus sudah mulai!” Dirga langsung menyahut tanpa basa-basi, suaranya lantang seolah-olah sedang melamar pekerjaan. “Saya bisa jadi supir pengganti, Bu!” Aku terkejut. “DIRGAAA!” seruku, buru-buru menutup speaker. Dirga malah nyengir santai sambil mengetuk dadanya sendiri. “Tenang, aku jago nyetir. Mobil apa aja, jalan macet atau tol, beres!” Aku menatapnya seolah dia baru saja mengaku bisa terbang. “Kamu pikir ini balapan liar?!” Dirga menjawab enteng, “Daripada kamu sama Bu Sania panik, mending percaya sama aku. Toh, supir cadangan darurat lebih baik daripada nggak ada sama sekali, kan?” “Dirga? Dirga itu siapa, Tara?” suara Bu Sania terdengar curiga dari seberang. “Oh, ini— teman saya, Bu,” jawabku gugup sambil melirik Dirga yang malah menaikkan alis. “Ya sudah, kalau dia memang bisa nyetir, ajak saja ke rumah Ibu, ya. Buruan, jangan sampai telat,” putus Bu Sania, terdengar tak sabar. Aku mendesah lega sekaligus panik. Sementara itu, Dirga langsung menyunggingkan senyum lebarnya. Tanpa banyak bicara, dia mengangkat koperku ke atas motor seolah-olah sudah resmi jadi supir pribadi. Setelah itu, dia lebih dulu memasang helm di kepalanya, lalu dengan gaya sok gentleman, dia membantu memakaikan helm ke kepalaku. Aku masih bingung. Apa benar dia bisa nyetir mobil, apalagi sampai luar kota? Perjalanan bisnis ini kan bukan sekadar antar-jemput, tapi juga muter-muter ke cabang butik milik Bu Sania di Bandung. Di tengah pikiranku yang kalut, tiba-tiba Dirga menjulurkan tangan dan mencubit pelan hidungku. “Ih! Jahil banget!” gerutuku, menepiskan tangannya. “Lagian pagi-pagi udah melamun,” balasnya santai. Aku menatapnya penuh kecurigaan. “Kamu beneran bisa nyetir mobil sampai Bandung? Soalnya kita bakal muter-muter ke beberapa cabang butik. Selain harus jago nyetir, harus hafal jalanan juga.” Dirga menyeringai, matanya berbinar penuh percaya diri. “Tenang saja, Tara. Aku nggak cuma jago nyetir, tapi juga hafal semua jalan sampai gang sempit di Bandung.” Aku menatapnya tak percaya. “Serius? Kamu dulu kerja apa, sih? Sopir travel?” Dia terkekeh, lalu menyalakan motor. “Rahasia perusahaan. Nanti kamu tahu sendiri kalau sudah duduk manis di mobil.” Aku mendengkus, masih tak yakin, tapi entah kenapa ada sedikit rasa lega. Mungkin karena dari semua opsi, Dirga memang satu-satunya solusi. Perjalanan menuju rumah Bu Sania cukup membuatku emosi. Bukan karena Dirga, tapi karena aku baru sadar satu hal penting: aku lupa bertanya alamat rumah Bu Sania. Pesan yang kukirim pun sampai sekarang belum juga dibalas. Sementara motor yang dikendarai Dirga melaju santai, seolah-olah kami tidak sedang dikejar waktu. “Kamu tuh aneh banget, Tara. Masak rumah bos sendiri nggak tahu,” ucap Dirga sambil melirikku sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Aku mengerucutkan bibir, menahan malu. “Ya aku kan cuma sekretaris magang. Yang biasanya ikut Bu Sania pulang itu Vidya, bukan aku.” Dirga mendecak. “Terus semalam kamu disuruh ke rumah Bu Sania asal jawab iya, tapi nggak tanya alamat rumahnya?” “Iya,” jawabku pelan, nyaris tak terdengar. Dia langsung tertawa sambil menggeleng. “Pinter banget kamu. Salut, ada juga orang sepolos dirimu di zaman yang serba canggih ini.” Aku menoleh tajam. “Nggak usah nyindir!” “Loh, aku bilang ‘salut’, bukan nyindir.” Senyumnya kelewat menenangkan, tapi di saat yang sama bikin aku makin kesal. Aku hanya bisa mencebikkan bibir, melipat tangan di d**a. Sementara Dirga terus melajukan motor, bahkan sempat bersiul kecil seakan-akan dia sedang piknik, bukan sedang menuju misi penting yang menentukan masa depanku di kantor. Mau tak mau aku menekan ponselku lagi, berharap ada balasan dari Bu Sania. Tapi nihil. Jantungku berdetak semakin kencang. Kalau sampai terlambat— bisa-bisa aku langsung dicap sekretaris paling ceroboh sedunia. Dirga melirikku sebentar, lalu kembali menatap jalan. “Tenang aja. Kalau Bu Sania tinggal di Jakarta, paling rumahnya cluster atau komplek elite. Aku hafal semua titik di GPS, jadi asal ada sedikit petunjuk, pasti ketemu.” Aku menghela napas panjang. “Aku tuh bukan khawatir soal nyari rumahnya, tapi soal waktunya, Dirga. Kalau telat—” “Kalau telat, ya kita tinggal pura-pura ban bocor. Bosmu kan nggak akan marah kalau dengar alasan darurat begitu,” potongnya enteng. Aku menatapnya tidak percaya. “Kamu pikir semua masalah bisa selesai dengan alasan random kayak gitu?” Dia menyunggingkan senyum miring, lalu menepuk-nepuk tanganku yang menempel di pahaku. “Kalau ada aku, semua masalah bisa selesai, Tara.” Dan, benar saja tak lama kemudian kami sampai di depan sebuah perumahan elit. Dirga menghentikan motor tepat di depan portal, lalu dengan sopan bertanya pada satpam yang berjaga. Anehnya, satpam itu terlihat ramah sekali, bahkan senyumnya seperti agak sungkan kepada Dirga. Padahal biasanya satpam komplek elit terkenal galak dan ribet. “Terima kasih, Pak,” ucap Dirga setelah mendapat arahan. Dia kembali menyalakan mesin motor, dan begitu portal terbuka, kami melaju masuk. Aku yang duduk di belakang hanya bisa tertegun. Rumah-rumah besar berjejer di sepanjang jalan, semuanya tampak super duper asri. Pohon rindang, taman rapi, dan pagar megah membuatku merasa seperti sedang masuk ke dunia lain. Rasanya aku sedang main ke rumah-rumah artis. “Rumahnya ada di sebelah sana,” ujar Dirga sambil mengarahkan motornya ke sebuah jalan bercabang. Aku sedikit memiringkan kepala agar bisa melihat Dirga dari samping. “Kok kamu bisa tahu Bu Sania tinggal di komplek ini?” tanyaku heran. Dirga melirikku sebentar, lalu menyunggingkan senyum tipis. “Menebak saja. Soalnya, Bu Sania itu kan bukan cuma pemilik butik terkenal, tapi juga istri Pak Angga Wirasatya, pengusaha sukses negeri ini. Aku pikir rumahnya pasti ada di komplek elit semacam ini. Dan ternyata— benar.” Aku membelalakkan mata. “Kamu tahu semua itu dari mana? Jangan-jangan kamu suka stalking bos aku, ya?” Dirga terkekeh pelan. “Nggak perlu stalking. Dunia bisnis itu kan luas tapi juga sempit. Orang-orang penting biasanya saling terkoneksi. Jadi, tinggal rajin baca berita aja.” Aku menggigit bibir, antara kagum dan gemas. Dia bisa-bisanya menebak dengan tepat, sementara aku sendiri yang bekerja dengan Bu Sania malah tidak tahu alamat rumah bos. Sesampainya di depan rumah Bu Sania, aku kembali dibuat terpana. Pintu gerbangnya menjulang tinggi, sampai-sampai aku hanya bisa melihat sedikit bagian atap rumah dari celah atasnya. Bukan sekadar rumah, ini lebih mirip istana pribadi. “Halamannya luas sekali. Saking luasnya, kalau kamu teriak di sini, nggak bakal kedengaran sampai dalam,” ucap Dirga dengan nada sok tahu, tangannya menunjuk ke arah dalam seolah dia pernah main ke sana. Aku melongo. “Serius? Kamu ngomong kayak pernah survey aja.” “Ya kira-kira aja. Rumah sebesar ini pasti halamannya nggak mungkin kecil.” Dia mengangkat bahu seenaknya. Aku mengangguk, lalu menatap gerbang tinggi itu. “Terus gimana caranya kita masuk?” tanyaku cemas. “Pencet bel, Tara,” jawab Dirga sambil menunjuk tombol kecil di dekat pintu gerbang. “Kamu panikan banget.” Aku mengerucutkan bibir. “Ya maklum, aku kan nggak pernah bertamu ke rumah orang kaya. Apalagi Bu Sania ini bukan golongan kaya yang biasa aja, tapi sangat kaya raya.” Dirga tertawa pelan, menoleh sekilas ke arahku. “Berlebihan kamu, Tara.” Aku makin manyun. “Berlebihan apanya? Ini rumah aja udah kayak museum nasional, tahu nggak? Aku takut salah pencet bel, nanti yang keluar malah bodyguard terus aku dikira maling.” Dirga mengangkat tangan lalu mengacak rambutku, menahan tawa. “Tenang aja, kalau kamu dikira maling, aku siap jadi pengacaranya.” Aku melotot, “Nggak lucu, Dirga!” Dia malah nyengir makin lebar, lalu dengan seenaknya menekan bel. “Nah, biar aku aja. Kamu nanti tinggal pasang muka manis depan bosmu.” Aku buru-buru merapikan rambutku yang agak berantakan. Rasanya absurd banget—di depan rumah super megah, dengan Dirga yang sok tenang di sampingku. Pintu gerbang perlahan terbuka otomatis, suara mesinnya berderit halus. Dari balik pos kecil, seorang satpam keluar. Wajahnya sempat terlihat terkejut begitu matanya menangkap sosok Dirga. Sama seperti satpam di portal depan tadi—reaksinya sama persis, seperti melihat seseorang yang sudah dia kenal. “Den—” kalimatnya nyaris meluncur, tapi buru-buru dipotong Dirga. “Saya Dirga, supir infal yang akan mengantar Bu Sania ke Bandung,” ujarnya kalem. Aku takut satpam itu salah paham. Cepat-cepat aku menambahkan, “I-iya, Pak. Dirga ini teman saya. Kebetulan supir pribadi Bu Sania pulang kampung mendadak, jadi hari ini dia yang menggantikan.” Satpam itu berkedip beberapa kali, lalu senyumnya merekah. “Ah, iya, iya— silakan masuk. Nanti motornya biar saya yang urus.” “Terima kasih, Pak.” Dirga membalas dengan santai, bahkan sempat menepuk bahu Pak satpam. “Kerja yang rajin ya. Jangan kebanyakan nonton short drama China.” Aku sontak menoleh cepat ke arahnya. “Hah?” keningku mengernyit, bibirku terbuka lebar. Dari mana dia tahu satpam itu suka nonton short drama China? Pak satpam malah tergelak, wajahnya memerah. “Aduh, ketahuan, Den… eh, maksud saya, Mas. Hehehe…” buru-buru dia meralat, lalu melangkah mundur dengan canggung. Aku masih terpaku, berjalan mengikuti Dirga dari belakang. Jantungku semakin berdebar, tapi kali ini bukan karena cemas takut telat, melainkan rasa penasaran. Dirga bukan hanya tahu jalan, tahu soal Bu Sania, tapi juga bisa bikin satpam-satpam elit komplek segan padanya. Aku mendekat, menurunkan suara. “Dirga, sebenarnya kamu ini siapa, sih? Kayaknya semua orang di sini kenal sama kamu?” Dirga hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis yang bikin aku makin gemas. “Rahasia perusahaan,” jawabnya, lalu melangkah lebih dulu ke arah pintu utama rumah Bu Sania.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN