Aku hanya ingin cepat sampai apartemen. Seharian di butik bikin kaki pegal, kepala cenat-cenut, dan perut keroncongan. Jadi motor matic ini kupacu sedikit lebih cepat, biar bisa mampir ke warung langganan sebelum tutup.
Sialnya, gang sempit yang aku lewati gelap sekali. Lampu jalan cuma ada satu dan itu pun redup— sepertinya hampir putus.
BRUK!
“ASTAGA!”
Motor tiba-tiba oleng. Aku ngerem mendadak, dan—yah, yang kutabrak ternyata bukan tiang listrik, tapi seorang pria!
Dia jatuh terduduk sambil terengah-engah. Aku panik dan buru-buru loncat turun dari motor. “Mas, maaf! Aku nggak sengaja! Mas masih hidup?”
Pria itu hanya mendengkus kesal lalu berdiri tergesa. “Mbak, kalau mau minta maaf jangan keras-keras ngomongnya!” bisiknya ketus.
Aku refleks melotot. “Lho, aku panik! Lagian kenapa berdiri di tengah gang?!”
Belum sempat dia bicara, dari ujung gang terdengar suara langkah kaki berlarian, disusul teriakan, “Itu dia! Kejar!”
Jantungku serasa mau copot. “Mas, itu siapa?!” tanyaku dengan suara setengah menjerit.
“Preman,” jawabnya singkat.
Lalu dia menarik tanganku, dan tanpa sempat protes—ya ampun—aku malah terseret ikut lari bersamanya.
“MAS! MOTORKU!” protesku.
“Mau balik? Serius? Atau kamu mau mati di sini?!”
Aku tak punya pilihan. Kalau disuruh lari, ya lari. Kaki ini otomatis ikut irama langkahnya, meski napas sudah kayak knalpot bocor.
Kami baru berhenti setelah keluar dari gang dan sampai di taman dekat perempatan. Ada beberapa penjual makanan yang masih buka.
“Duduk,” ujarnya sambil nunjuk kursi di warung nasi goreng.
“Apa?! Duduk? Mas hilang ingatan? Motorku masih ketinggalan di sana!” suaraku meninggi. Rasanya mau nangis kalau ingat perjuangan nabung buat beli motor itu.
Dia mendekat, suaranya semakin pelan. “Mbak, tolong. pura-pura aja jadi pembeli. Kalau preman itu nanya, bilang aku lari ke arah jalan raya.”
Aku menyipitkan mata curiga. “Jangan-jangan Mas mau jadikan aku tumbal biar bisa kabur, ya?”
Dia menggeleng cepat, ekspresinya berubah serius.
“Hei, bukan gitu!” katanya. “Kamu cukup bersikap tenang. Begitu mereka pergi, kita bisa balik ke gang tadi buat ambil motormu. Percaya deh, rencanaku bakal berhasil.”
Aku masih cemberut, tanganku otomatis terlipat di d**a. Tapi entah kenapa hatiku mulai goyah. “Yakin?” tanyaku dengan nada masih waspada.
“Yakin seratus persen,” jawabnya. “Aku juga nggak mau kamu jadi korban gara-gara aku.”
Belum sempat aku jawab, segerombolan preman tiba-tiba muncul di depan taman. Jantungku langsung serasa mau copot.
Salah satu dari mereka maju mendekat. “Mbak, lihat pria lari ke sini nggak? Pakai kaos hitam sama celana jeans?”
Aku menelan ludah. Pria menyebalkan tadi— kini sembunyi di balik gerobak siomay, memberikan kode dengan matanya.
Oke. Ini gila. Tapi aku refleks menunjuk ke arah jalan raya. “Tadi ada, Mas. Lari ke sana, terus naik taksi warna biru.”
Mereka langsung saling pandang, lalu buru-buru lari ke arah yang kutunjukkan.
Aku masih bengong. Nafasku belum teratur, tangan pun masih gemetaran.
Pria itu keluar dari persembunyiannya, wajahnya berubah sumringah. “Pintar. Makasih, Mbak.”
Aku melotot. “Mas pikir ini lucu? Aku hampir mati jantungan barusan!”
“Tidak,” jawabnya. “Aku sangat berterima kasih. Kalau nggak ada Mbak, aku sudah babak belur sekarang.”
“Motorku masih di sana! Kalau sampai hilang, Mas yang ganti!” omelku.
Dia hanya mengangguk. “Ya sudah, ayo ambil sekarang.”
Dengan langkah gontai, aku berjalan di belakang pria itu. Rasanya kakiku mau copot. Angan-anganku untuk membeli makan malam lalu segera pulang ke apartemen mendadak pupus. Sekarang aku malah terjebak bersama pria asing.
Begitu kami memasuki gang, pria itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Lain kali jangan lewat jalan ini lagi. Banyak preman yang suka nongkrong di sini. Bahaya untuk seorang gadis sepertimu.”
“Aku baru pertama kali lewat sini. Sengaja cari jalan pintas supaya nggak terjebak macet.”
Dia menoleh sekilas, ekspresinya datar. “Lebih baik terjebak macet daripada diculik preman.”
Memang benar yang dia katakan. Tapi tetap saja, gak perlu ketus begitu dan pasang wajah datar ke aku.
Bagaimanapun juga aku baru saja membantunya.
Coba kalau aku gak lewat sini tadi, dia pasti sudah tertangkap dan dihajar sampai babak belur.
“Ayo—” ujarnya lagi, lalu tanpa izin langsung naik ke motorku. “Cepat naik sebelum hujan.”
Aku tertegun. Maksudnya apa? Kok dia malah seenaknya mengambil alih motorku?
“Hey—kamu tuli, ya?” bentaknya.
Aku refleks melebarkan mata. “Apa kamu bilang?! Gak sopan banget!”
Dia menoleh santai. “Apa mau aku tinggal?”
“Eh! Sopan gak sih ngomong kayak gitu ke orang yang baru saja nolongin kamu?” seruku kesal. “Dan FYI, yang kamu naikin itu motorku!”
“Motor jelek,” balasnya enteng.
Aku melotot. “Jelek-jelek gini, motor ini bisa membawaku ke mana pun aku mau!”
Dia menaikkan sebelah alisnya, seolah meragukan ucapanku. “Oh, Iya? Benarkah?”
“Tentu saja benar!” sahutku cepat. “Buat apa aku bohong? Lagian, ya gak penting juga sih.”
Saat aku tak kunjung naik, pria itu tiba-tiba menyalakan motorku.
Mesin meraung. Dia benar-benar berniat pergi!
Lantas aku merentangkan kedua tangan, berdiri tepat di depan motor sambil menutup mata rapat-rapat.
“BERHENTI!” teriakku.
Hening.
Tak ada suara motor bergerak, tak ada suara orang kabur.
Perlahan aku membuka mata.
Pria itu masih duduk di jok motor, menatapku dengan ekspresi heran.
“Mau sampai kapan kamu jadi patung di tengah jalan?” tanyanya santai.
Aku cepat-cepat menurunkan tangan, pipiku terasa panas karena malu. “Aku hanya tidak ingin kamu kabur bawa motorku!”
Sudut bibirnya terangkat tipis. “Kamu pikir aku perampok? Kalau niatku jahat, dari tadi motormu sudah raib entah ke mana.”
“Ya siapa tahu!” balasku sengit. “Aku kan baru ketemu kamu. Terus kamu seenaknya ambil motor, nyuruh aku naik, bentak-bentak lagi!”
Pria itu menghela napas panjang, seperti baru saja habis adu argumen dengan anak kecil. “Naik. Cepat. Aku janji bakal balikin motor ini sampai kamu selamat sampai apartemen.”
“Loh, kok kamu tahu aku tinggal di apartemen?” tanyaku sambil mengernyit.
Dia menunjuk ke arah gedung tinggi di ujung jalan. “Memangnya siapa lagi yang mau lewat gang ini kalau bukan penghuni apartemen itu?”
“Oh—” Aku hanya bisa mengangguk, lalu mendekati motor dan duduk di jok belakang. “Ayo, aku sudah lapar banget.”
Dia tersenyum tipis. “Kebetulan, aku juga lapar.”
Dalam hati menggerutu. ‘Ngapain juga bilang ke aku kalau dia lapar? Dia pikir hubungan kita sudah dekat, apa?’
Motor melaju dengan kecepatan sedang. Hujan mulai turun rintik-rintik, dan angin malam bertiup kencang. Aku buru-buru merapatkan cardigan rajutku, tapi tetap saja dinginnya menusuk. Sepertinya hujan deras akan turun sebentar lagi.
Dia menoleh sebentar. “Kedinginan?” tanyanya, suaranya agak keras supaya terdengar di tengah suara hujan.
“Sedikit,” jawabku singkat.
Tanpa komentar, dia menurunkan kecepatan motor, lalu mengarahkan kami ke sebuah halte bus di pinggir jalan. Kami berhenti di sana, berlindung dari hujan yang kini makin deras.
Aku duduk di bangku halte, memeluk tubuh sendiri, berusaha mengusir rasa dingin. Dia berdiri sambil menatap hujan, ekspresinya sulit ditebak.
“Kalau hujannya lama, kamu mau nunggu sampai reda atau kita terus jalan?” tanyanya kemudian.
Aku meliriknya, masih ragu. “Kamu bisa bawa motornya pelan?”
“Bisa,” jawabnya singkat. Lalu, untuk pertama kalinya sejak kami bertemu, dia tersenyum—senyum yang entah kenapa bikin pipiku panas.
“Ya sudah, kita tunggu lima menit, terus jalan lagi,” kataku akhirnya.
Dia mengangguk. “Hm.”
Hening beberapa saat. Hanya suara hujan yang terdengar. Rasanya aneh—padahal barusan kami saling bentak, tapi sekarang duduk berdua di bawah atap yang sama, seperti sedang terjebak dalam satu cerita yang tidak pernah aku rencanakan.
Tiba-tiba pria itu membuka suara. “Namaku Dirga Arrazka.”
Aku menoleh, agak terkejut mendengar dia memperkenalkan diri lebih dulu. “Dirga?” ulangku, memastikan.
Dia mengangguk. “Dan kamu?”
Rasanya tak sopan kalau tidak menjawab. “Tara,” ucapku singkat.
“Nama yang bagus,” katanya ringan, membuatku sedikit salah tingkah.
Aku pura-pura fokus menatap hujan. “Jadi, kamu sering kejar-kejaran sama preman?” tanyaku setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Dirga menghela nafas, tatapannya lurus ke depan. “Kebetulan ketemu preman.”
“Terus kenapa kamu malah berdiri di tengah gang? Bukannya itu sama saja bunuh diri?”
Dia tersenyum samar. “Karena kalau aku lari, aku nggak akan ketemu kamu, Tara.”
“Eh?” seruku kaget.