Mendoan Terbang

1290 Kata
Air hangat masih mengalir deras dari shower, membuatku sedikit lega setelah malam penuh keributan. Aku sedang memijat-mijat kulit kepala, busa sampho menutupi rambutku seperti whipped cream diatas cupcake. Baru mau menikmati momen santai, tiba-tiba— “Ceklek.” Aliran air berhenti. Busa sampho mulai turun ke wajahku. “Ya ampun, kenapa harus sekarang?!” Sambil meraba-raba, aku buru-buru meraih handuk dan melilitkannya ke tubuh. Lalu berlari kecil keluar kamar mandi, sesekali mengusap mata yang mulai perih. “Aduh—shampo, jangan masuk mata dulu dong!” seruku sambil menutup sebelah mata. Aku berlari ke arah kamar tamu. Untung saja Dirga nggak ada di sini. Kalau ada— duh, aku nggak sanggup bayangin betapa malunya aku! Begitu sampai di kamar tamu, aku langsung masuk ke kamar mandi dan menyalakan shower. Syukurlah, airnya masih mengalir. Tanpa pikir panjang, aku buru-buru membilas shampo di rambut dan membersihkan tubuh dengan sabun. “Ahhh! Akhirnya!” seruku lega sambil membasuh rambut terburu-buru. Jantungku masih berdebar karena panik. “Setelah ketemu Dirga, kenapa hidupku jadi penuh drama, ya? Tumben-tumbennya apartemen mewah Mbak Ayla airnya mati—di kamar utama pula,” gumamku sambil terkekeh kecil pada diri sendiri. Selesai sudah drama mandi di pagi hari. Begitu selesai membilas tubuh, aku langsung kembali ke kamar dengan langkah cepat. Bisa gawat kalau Dirga sampai melihatku hanya berbalut handuk. “Hah— selamat,” gumamku lega sambil meraih pakaian kerja dari lemari. Tak butuh waktu lama, aku sudah siap dengan blus warna krem, celana bahan, dan sedikit riasan di wajah. Hari ini Bu Sania bilang akan ada meeting penting, jadi aku harus berangkat lebih awal. Sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas kerja, pikiranku melayang ke Dirga yang kemungkinan besar masih tidur. Kebetulan dia ada di sini, jadi sekalian saja aku minta tolong. “Itung-itung bayar ‘sewa’ satu malam,” gumamku sambil tersenyum tipis. Baru saja aku keluar dari kamar dengan niat membangunkan Dirga, tapi ternyata dia sedang sibuk menyiapkan makanan di meja makan. Begitu melihatku, Dirga menyunggingkan senyum. Apron warna pink milikku kini melekat di tubuhnya. Awalnya terlihat aneh, tapi setelah kuperhatikan lagi— lumayan cocok. “Selamat pagi, Tara.” sapanya. “Sarapan dulu sebelum kerja.” Aku mengangguk singkat, lalu duduk di kursi meja makan. “Pagi. Kamu masak dari jam berapa?” tanyaku sambil melirik ke arah piring yang sudah tersusun rapi. “Aku terbiasa bangun pagi,” jawabnya. “Habis subuh aku bersih-bersih apartemen, lalu menyiapkan sarapan untukmu.” Mataku langsung membulat. “Ha?!” Dirga terlihat khawatir. “Kenapa?” Aku menelan ludah, suara tercekat. “Jadi… tadi waktu aku—” Belum sempat aku melanjutkan, Dirga buru-buru menyela. “Tenang. Aku nggak lihat apa-apa kok. Cuma ngintip sedikit, itu pun hanya untuk memastikan kamu nggak terpeleset gara-gara berlarian dalam keadaan basah kuyup.” “Aaaaa!!!” aku menjerit sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Wajahku terasa panas bukan main. Dirga terkekeh pelan. “Tenang saja. Kalau tadi sempat kelihatan sedikit— anggap saja aku sedang beruntung.” “DIRGA!!!” Aku melempar mendoan ke arahnya. Dirga langsung menangkap mendoan itu dengan cekatan, lalu memakannya sambil terkekeh. “Hm, ternyata mendoan terbang rasanya lebih enak.” “Gak sopan!” aku mendengkus kesal. “Harusnya kamu tutup mata rapat-rapat, atau minimal balik badan.” Alih-alih merasa bersalah, Dirga malah santai mengisi piring dengan nasi, pecel, telur dadar, dan beberapa potong mendoan. Setelah itu, dia mendorong piring ke arahku. “Marahnya nanti dulu. Sekarang cepat sarapan. Katanya ada meeting penting.” Aku menatapnya curiga. “Siapa yang bilang?” “Semalam kamu bilang ke aku,” jawabnya. Aku mengerutkan kening. “Enggak! Aku nggak bilang apa-apa.” “Kamu pasti lupa,” balasnya. Aku mendecak. “Mana mungkin aku curhat ke orang asing soal kerjaan.” Dirga terkekeh pelan, menatapku sambil menyendok nasi ke mulut. “Yah, kalau gitu anggap saja aku cenayang handal.” Aku menghentikan kunyahanku sejenak, lalu menatap tajam ke arah Dirga. Sedangkan yang kutatap masih santai, asik mengisi mulutnya dengan suapan demi suapan. “Beneran cenayang?” tanyaku dengan nada setengah meremehkan, setengah penasaran. “Hm.” Dirga hanya menggumam, mengangguk-anggukkan kepala seperti orang bijak. Aku menyipitkan mata. “Kalau gitu— aku boleh tanya sesuatu?” “Sok atuh.” Dia menaruh sendoknya, lalu mengangkat dagu dengan gaya sok misterius. “Aku akan menjawab dengan sukarela, tanpa imbalan. Gratis, spesial buat kamu.” Aku langsung mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya lekat. “Kapan kamu punya pekerjaan dan tempat tinggal sendiri?” Dirga terbatuk kecil, hampir tersedak. “Uhuk! Uhuk! Pertanyaanmu lebih sadis daripada ramalan nasib sial di zodiak mingguan.” Aku melipat tangan di d**a. “Jawab, cenayang.” Dirga menatapku lama, lalu tersenyum miring. “Kalau ramalanku sih, secepatnya. Mungkin lebih cepat dari yang kamu kira.” Aku menaikkan alis. “Oh ya? Jangan-jangan jawabanmu cuma alasan biar aku tidak mengusirmu dari apartemen ini.” “Eh, jangan salah.” Dirga mencondongkan tubuh balik ke arahku. “Sebentar lagi, kamu sendiri yang bakal butuh aku.” Aku terdiam, mulutku sudah siap menyerang balik—eh, malah mendadak kaku. Ada yang aneh dari tatapannya, sampai-sampai aku nggak bisa mengucap satu kata pun. “Cenayang abal-abal,” gumamku akhirnya, lalu kembali menyendok pecel ke mulut. Dirga tak menjawab, hanya tersenyum sambil melanjutkan sarapannya. Meskipun dia menyebalkan— aku harus jujur, rasa masakannya enak banget. Plus, orang ini rajin sekali. Apartemen jadi bersih dan wangi. Tak lama kemudian, sarapan selesai. Aku berdiri, berniat membereskan piring dan membawanya ke dapur, tapi Dirga buru-buru mencegahku. “Biar aku saja,” katanya. Tanpa menunggu jawaban, dia bergegas mengumpulkan piring kotor, mencucinya, lalu mengelap meja makan. Aku mendengkus, menatap punggungnya. Ya Allah, cowok ini ada tombol off-nya nggak sih? Karena tak ada lagi yang bisa kulakukan, aku masuk kamar, mengambil tas kerja, lalu melangkah cepat keluar seakan sedang dikejar waktu. “Yuk!” seru Dirga, kini tengah berdiri di depan pintu. Aku mengerutkan kening. “Mau ke mana kamu?” “Nganter kamu kerja,” jawabnya. Aku langsung melotot. “Aku bisa berangkat ke kantor sendiri.” Tanpa menunggu persetujuan, dia pun menggandeng tanganku lalu mengajakku keluar. Aku sempat memberontak, minta dilepaskan, namun dia tak peduli. “Dirga! Aku bisa jalan sendiri, tahu!” seruku, khawatir ada tetangga yang melihat. Tapi dia tetap tak peduli. “Tenang, aku ini bodyguard dadakan. Gratis. Jangan banyak protes.” Aku mendengkus kesal. Kami pun masuk ke dalam lift menuju basement. Selama di lift, aku menggerutu beberapa kali, bahkan sengaja membuang napas panjang biar dia merasa bersalah. Tapi Dirga tetap cuek. Masih menggenggam tanganku dengan erat, seolah aku anak TK yang takut kesasar. Begitu sampai di basement, dia langsung melangkahkan kaki ke arah motor matic—satu-satunya kendaraan dengan nyali besar yang berani berjejer dengan mobil-mobil mewah milik penghuni apartemen. Motor itu tampak mungil, tapi Dirga memperlakukannya seperti kuda besi super gagah. “Setelah mengantarmu, aku akan mencari pekerjaan,” ujarnya sambil memakaikan helm untukku. Aku melotot. “Hei! Aku bisa pakai sendiri.” “Diam, jangan gerak. Kalau talinya kekecilan, berarti kepalamu kebesaran.” Dia terkekeh puas setelah berhasil mengaitkan helm di bawah daguku. “Cari kerja di mana?” “Ya cari di kantor-kantor yang butuh sopir,” jawabnya santai, lalu naik ke atas motor. Aku mendesah panjang, lalu ikut naik di belakangnya dengan hati-hati. “Hmm, semoga aja ada yang mau nerima kamu. Biar aku bisa kembali tenang tinggal sendiri.” Dirga menoleh sekilas, senyum miringnya muncul lagi. “Tenang. Aku bakal dapat kerjaan lebih cepat dari yang kamu kira. Siapa tahu malah di tempat yang dekat sama kamu.” Aku menepuk dahinya pelan dari belakang. “Cenayang abal-abal. Udah gaspol aja, telat meeting nih!” Motor matic kesayanganku pun meraung— eh, lebih tepatnya merengek seperti kucing masuk angin, lalu melaju pelan meninggalkan basement apartemen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN