Author’s POV
Andriana menggeliat, matanya mengerjap. Ia merasakan ada sentuhan lembut mengusap pipinya. Andriana membuka mata perlahan. Bayangan samar wajah yang sudah begitu familiar itu mendominasi bola matanya. Dia mengerjap sekali lagi dan mengucek kedua matanya. Wajah itu terlihat semakin jelas. Andriana melirik jarum jam dinding yang menunjuk pukul setengah tiga. Ia kembali menatap wajah suaminya yang tengah tersenyum memandanginya sambil terus mengelus pipinya.
“Ada apa Rel?”
Derrel tersenyum dengan senyum cute-nya yang menambah ketampanan wajahnya.
“Aku suka mengamati wajahmu pas lagi tidur.”
Andriana tersenyum, “kenapa?”
“Cute aja dan terlihat tenang.” Jawab Derrel masih dengan senyum andalannya.
“Masih jam tengah tiga. Aku masih ngantuk.” Ujar Andriana sambil sedikit menguap.
“Ehm...main yuk..” Derrel menaikkan alis matanya.
“Hah?” Andriana mengerjap sekali lagi dan dia mengangkat badannya lalu duduk bersandar di sandaran ranjang yang melintang dari ujung kanan hingga kiri, sepanjang sisi bagian atas ranjang. Rasanya ucapan Derrel ini begitu mengejutkan. Tak biasanya Derrel inisiatif mengajaknya lebih dulu.
“Kenapa kaget? kamu tahu kan? Tiap pagi apalagi dini hari yang dingin seperti sekarang, secara alami yang di bawah sini ereksi. Ini kesempatan bagus kan?” Derrel ikut beranjak dan duduk berselonjor di sebelah istrinya.
Andriana melirik tonjolan di balik celana Derrel. Sebenarnya Andriana lebih suka bermesraan dengan Derrel di malam hari. Tapi agaknya dia harus beradaptasi dengan kondisi Derrel yang memang sedang belajar untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami. Dia berbeda dengan laki-laki straight yang tanpa kesulitan bisa terangsang kapan saja selama ada rangsangan-rangsangan yang diselancarkan istri, sedang Derrel, ya Andriana menganggap hal ini sebagai keistimewaannya karena ia tak mau berpusat pada kekurangan Derrel. Ini hanya tahap awal baginya belajar. Dia yakin suatu saat, dia bisa dengan mudahnya membuat Derrel “turn on” tanpa harus menunggu sampai tiba waktu dini hari.
“Aku ke kamar mandi dulu ya. Bersih-bersih dulu, biar nggak ngantuk juga.” Andriana mengulas senyum. Derrel mengangguk pelan.
Tak lama kemudian, Andriana berdiri mematung di depan Derrel dengan lingerie terfavoritnya. Meski dia tahu mungkin apa yang dia kenakan tidak memberi pengaruh apa-apa pada Derrel, tapi dia akan berusaha tampil seseksi mungkin di depan suaminya. Tak lupa ia menyenmprot tubuhnya dengan parfum yang disukai Derrel.
Derrel menatap istrinya dengan tatapan kagum. Meski dulu dia tak pernah tertarik meneliti setiap jengkal tubuh perempuan, tapi dia juga bisa menilai bentuk tubuh seperti apa yang ideal dimiliki oleh seorang perempuan. Tubuh Andriana begitu ideal di matanya.
“Duduk di sini An.” Derrel menepuk sisi kosong di sebelahnya. Andriana menuruti. Mereka duduk bersebelahan dan saling menatap. Secara tak sengaja, Andriana kadang terbayang saat dulu masih menjadi istri Regan, dia lebih banyak pasif karena Regan begitu aktif dan agresif. Dan sekarang dia dihadapkan pada suami yang begitu “istimewa” hingga dia harus berinisiatif untuk lebih agresif dan seringkali mengesampingkan rasa malunya. Jika sama-sama pasif, tak akan ada yang mau memulai dan dia tak mau saat romantis seperti ini, dia dan Derrel hanya saling menatap.
Andriana menggenggam tangan Derrel dan menempelkannya di dadanya. Derrel sedikit tersentak. Sebenarnya setiap kali Andriana mengarahkannya untuk menyentuh dadanya, Derrel merasakan sensasi yang aneh dan sedikit geli. Kadang ia membayangkan tengah meremas ubur-ubur atau bermain squishy.
“Aku menunggumu berkomentar soal ini... Aku sengaja memilih lingerie yang belahan dadanya rendah. Tapi aku sadar, kamu istimewa Derrel. Mungkin ini aneh untukmu. Tapi aku ingin kamu belajar untuk terbiasa dengan ini, karena... ini area favoritku dan aku ingin kamu bermain lebih di sini.” Andriana melayangkan tatapan penuh arti.
Meski tidak berpengalaman soal seperti ini, Derrel pernah melihat adegan di video porno heteroseksual di mana sang pria memainkan gerakan-gerakan erotis di seputar d**a perempuan. Derrel gugup bukan main. Sedikit peluh mengalir dari dahinya. Dia kan belajar melakukan apa saja untuk menyenangkan Andriana.
Derrel kembali mengingat pesan WA yang dikirim Aldefan.
Nikmati setiap sentuhan saat kamu berhubungan dengan istrimu. Fokus pada tujuanmu untuk membahagiakan dan memuaskannya. Pejamkan matamu dan bayangkan moment itu adalah moment paling romantis yang bisa kamu bangun bersamanya.
Derrel mengecup bibir Andriana lembut dan beralih menjadi ciuman yang lebih menuntut. Tangan Andriana aktif melepaskan kancing piyama Derrel. Derrel melepaskan piyamanya setelah Andriana melepas semua kancing bajunya.
Berciuman itu sesuatu yang begitu mudah untuk Derrel lakukan karena secara anatomi, tidak ada perbedaan antara bibir perempuan dan laki-laki.
Andriana cukup kaget juga melihat kemajuan yang begitu berarti dari suaminya, Derrel begitu mendominasi. Di awal, Andriana memang sempat mengarahkannya untuk bermain di dadanya, tapi selanjutnya Derrel mengatur permainan ini sesuai keinginannya.
Derrel kembali mengingat pesan WA yang dikirim Aldefan.
Istri-istri kita adalah wanita-wanita istimewa yang dengan berjiwa besar mau menerima kita dengan segala jajak masa lalu yang kelam. Jangan kecewakan dan sia-siakan mereka. Lakukan semua untuk ibadah Rel. Niatkan semua karena Allah. Terus berdoa agar ketertarikan kita secara seksual pada istri kita dapat terbangun dengan natural. Afirmasi positif bahwa kita hanya bisa turn on pada istri kita, jangan pernah sekalipun berpikir kita hanya bisa ereksi saat melihat laki-laki seksi. Buang jauh-jauh pikiran itu. Kita laki-laki straight, laki-laki yang mengikuti jalur sesuai kodrat. Hidup cuma sekali, pernikahan adalah kesempatan emas untuk kita belajar menjadi lebih baik dan lebih dekat padaNya.
Derrel sudah bertekad, dia tak akan menyia-nyiakan moment ini dan ia akan berusaha memberikan pengalaman yang tak terlupakan untuk Andriana. Derrel memberanikan diri untuk menyentuh setiap inci tubuh istrinya tanpa harus diarahkan Andriana. Andriana begitu terkesan dengan kemajuan pesat yang ditunjukkan suaminya. Rupanya Derrel cepat belajar. Bahkan seakan Derrel tak memberi Andriana kesempatan untuk memulai. Derrel menguasai permainan dan membuat Andriana mati kutu, pasrah dengan semua perlakuan Derrel.
Derrel mencium bibir Andriana begitu lembut sebelum mengakhiri penyatuan mereka. Tatapan matanya penuh arti dan mereka saling menatap dengan berusaha mengatur deru napas yang belum juga kembali normal.
“I love you An.” Ucap Derrel diakhiri senyum yang begitu menenangkan.
“I love you too Rel... You are really great.” Andriana mengusap pipi Derrel yang masih tengkurap di atas tubuhnya dengan terhalang satu celah kosong yang memang sengaja Derrel sisakan agar Andriana bisa leluasa bernapas.
“Kamu juga An. Seksi banget. Aku suka setiap kali kamu mendesah.” Derrel tersenyum menggodanya. Untuk pertama kali Derrel merasakan sensasi yang begitu mendebarkan. Masa lalunya yang berperan sebagai gay bot membuatnya tak bisa bereksplorasi lebih saat berhubungan seks dengan Aldefan dan sekarang dia yang mengendalikan permainan. Belajar bagaimana memberi Andriana kepuasan dan begitu menikmati setiap melihat Andriana menggelinjang tak karuan. Meski sebenarnya dia belum bisa o*****e dan harus berpura-pura di hadapan Andriana, tapi itu tak masalah untuknya. Dia hanya ingin membahagiakan Andriana.
“I didn’t even remember that you were still learning to build romantic moment with me. You acted like a professional. We did it.” Senyum kembali terlukis di wajah Andriana.
Derrel mengecup kening Andriana begitu lembut. Rasa cinta yang sedemikian besar untuk istrinya mendorongnya untuk tak menyerah dengan sisa-sisa jejak masa lalu yang masih sesekali membayang. Dulu Derrel beranggapan, ketika dia sudah mencoba berhubungan seksual dengan istrinya, mudah baginya untuk mengubah orientasi seksualnya dan menjadi laki-laki straight seutuhnya. Tapi ternyata semua tak semudah bayangan. Bahkan gay top seperti Aldefan sekalipun membutuhkan proses dan perjuangan lebih untuk bisa menjadi seperti sekarang. Tapi dia tak ingin menyerah. Rasa cinta pada Allah dan agamanya mengalahkan egonya. Rasa cinta pada Andriana semakin menguatkan tekadnya.
Derrel menutup telinga rapat-rapat kala ada bisikan yang mengatakan bahwa “sekali gay tetap gay”, “gay tak bisa menjadi straight”, “terima takdirmu sebagai gay”. Derrel mengenyahkan semua pikiran itu. Dulu dia memang pernah bepikir seperti itu. Sejak mengenal Islam dan jatuh cinta pada Andriana, Derrel sadar benar bahwa dia memiliki hak penuh untuk memilih, apakah akan terus tercebur di dunia abu-abu atau keluar dan memilih jalur yang sesuai dengan fitrahnya sebagai laki-laki. Dulu dia berpikir aturan dalam agama hanyalah doktrin yang bertujuan untuk mengekang dan menyiksa manusia, sekarang pandangannya berubah. Dia merasa rules dalam agamanya adalah bentuk lain kasih sayang Allah untuk menjaga manusia dari keburukan. Semua peraturan diciptakan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dan ia tahu, masih banyak teman-temannya yang berkecimpung dalam dunia homoseksual dan mengesampingkan aturan dalam agamanya. Hingga detik ini dia masih sering mendapat cibiran dari teman-teman gay-nya bahwa pernikahan yang ia jalani bersama Andriana hanyalah kamuflase untuk menutupi status ke-gay-annya. Mereka memprediksi pernikahannya tak akan lenggeng dan suatu saat Derrel pasti akan jenuh serta kembali mencari pelampiasan dengan hunting laki-laki di luar. Derrel tak mau terprovokasi dengan pandangan negatif orang lain. Dia menikah untuk ibadah dan membangun keluarga yang sakinah mawaddah dan warrahmah bersama Andriana. Dia benar-benar ingin bertaubat di jalan yang diridhoi Allah. Derrel semakin mantap menjauhi semua komunitas yang akan menyeretnya kembali ke dunia abu-abu itu.
“An, aku mandi dulu ya, biar nggak telat ke Masjid.” Derrel mengecup pipi istrinya. Andriana mengangguk. Derrel melangkah menuju kamar mandi. Andriana tercenung dan terpaku untuk sesaat. Senyum tak lepas dari bibirnya. Dia sangat bersyukur dan bahagia melihat perubahan Derrel. Dia mengira akan membutuhkan waktu lebih lama untuk menunggu, tapi Derrel bisa beradaptasi dengan baik meski harus menunggu pagi tuk bisa melalui moment romantis bersama, namun itu tak mengapa. Ia tahu Derrel sudah beusaha mati-matian. Dia menghargai usaha Derrel sekecil apapun.
******
Pagi ini Andriana berencana untuk datang ke butiknya dan juga salonnya. Ada banyak hal yang harus dia persiapkan demi kelancaran keikutsertaannya di ajang fashion week nanti. Sebenarnya ia sedikit tegang memikirkan semua hal yang belum selesai ia kerjakan. Mengikuti fashion week bukan pengalaman pertama untuk Andriana, dia sudah sering mengikuti demi membuat produknya lebih dikenal di pasaran, tapi fashion week mendatang adalah fashion week pertama dengan rancangan terbarunya yang lebih concern membuat pakaian muslimah.
Andriana menyiapkan sarapan untuk Derrel. Kali ini Derrel hanya ingin makan oatmeal dicampur buah dan yoghurt. Meski begitu Andriana tetap memasak nasi dan lauknya. Mereka duduk saling behadapan dengan menu sarapannya masing-masing. Jika Derrel memilih oatmel, Andriana memilih roti tawar dan selai kacang favoritnya.
“Kamu jadi ke toko Rel? Tanya Andriana memecah keheningan.
“Iya, aku rencana mengunjungi ketiga tokoku. Rasanya aku perlu membeli beberapa stok mesin cuci An. Karyawanku ngasih tahu kalau stok mesin cuci di toko pertama sudah hampir habis. Mau ketemu ama teman juga sih, dia distributor televisi, aku mau lihat sampel barangnya nanti.”
Andriana mengangguk, “moga usahamu selalu lancar. Aku juga perlu mempersiapkan hal-hal yang belum terselesaikan.”
“Untuk biaya fashion weeknya gimana An? Apa ada yang bisa aku bantu?” Derrel menaikkan alis matanya.
“Sudah beres semua Rel. Biaya untuk model termasuk makeup udah semua. Untuk hijab style-nya aku turun tangan langsung. Nggak ribet sih karena semua khimar hasil designku aku buat praktis yang nggak ribet cara makainya dan harus menutup d**a, sesuai temanya simple and elegan.” Andriana mengulas senyum dan menggigit roti tawarnya.
“Kalau perlu bantuan, jangan sungkan-sungkan untuk minta padaku An.”
“Tentu Rel. Untuk urusan bisnis aku nggak mau dicampur dengan nafkah darimu. Kewajibanmu hanya sebatas menafkahiku dan kebutuhan rumahtangga kita. Bisnisku tetap jadi urusanku.”
Derrel mengangguk pelan. Andriana adalah sosok perempuan mandiri yang meski terkadang ceroboh di hal lain, tapi untuk urusan bisnis, Andriana begitu idealis. Derrel menyadari untuk menjadi sosok yang mengesankan di mata Andriana, dia tak hanya harus mampu menjadi laki-laki jantan di ranjang, tapi juga menjadi laki-laki mandiri dan mapan untuk urusan finansial. Meski ia tahu, Andriana bukan perempuan yang menomorsatukan materi karena baginya materi bisa diperjuangkan bersama, tapi sebagai seorang suami yang memiliki istri yang mandiri secara finansial, Derrel termotivasi untuk bisa bekeja lebih giat dan ingin menjadi sosok yang bisa diandalkan dalam memenuhi kebutuhan Andriana.
“Fashion week itu butuh biaya besar kan An? Apalagi kalau sampai ke luar negeri. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat mendukung pekerjaan dan bisnismu. Karena itu kalau kamu memang butuh bantuanku, dengan senang hati aku ingin terlibat juga.”
Andriana mengerlingkan senyum tulusnya.
“Ya sayang, aku akan meminta bantuanmu jika aku membutuhkan. Sebenarnya support kamu sudah sangat membantuku Rel, bahkan mungkin itu bantuan yang paling berarti buat aku.”
“Aku bangga padamu An.”
Andriana memicingkan matanya, “bangga kenapa?”
“Aku suka cara kamu mendesign pakaian muslimah yang selalu mengutamakan nilai-nilai syari’ di dalam pembuatannya. Khimar yang selalu menutup d**a, ukuran yang tidak ketat, bahan yang bekualitas bagus dan tidak membentuk lekuk tubuh. Padahal banyak pakaian muslimah modis tapi tidak memenuhi syariat karena khimarnya tidak menutup d**a atau terlalu ketat, tapi kamu tidak terbawa arus.”
Andriana tersenyum sekali, “hijab isn’t only about the way we dress Rel, but it’s an identity as muslimah. Aturan berpakaian sudah ada dalam Al-Qur’an, tinggal kita ikuti aturannya kan?”
Derrel mengangguk, “that’s why I’m really proud of you. Kamu kuat memegang prinsipmu. Sama seperti saat aku deketin kamu dulu. Kamu selalu menolak tiap aku nyoba menciummu.”
Pipi Andriana bersemu merah. Bernostalgia ke masa-masa pedekate dulu selalu saja membuatnya senyum-senyum tak jelas dan rasa cintanya pada Derrel seakan semakin bertambah kuat.
“Bisa melangkah sejauh ini denganmu itu seperti keajaiban. Bahkan dulu aku harus bersaing dengan banyak cowok untuk mendapatkanmu.”
Perkataan Derrel kembali membuat Andriana tersipu. Andriana beranjak dan melangkah mendekat ke arah Derrel. Andriana sedikit mencondongkan badannya lalu melingkarkan tangannya di leher Derrel dari belakang.
“Dan aku bersaing dengan banyak gay untuk mendapatkanmu. Dan ini lebih berat Rel. Karena aku nggak punya apa yang mereka punya. Aku nggak tahu harus bersaing dengan cara apa.”
Hembusan nafas Andriana yang beraroma mint menggelitik Derrel untuk mendaratkan kecupan di bibir istrinya.
Andriana sedikit terkesiap kala Derrel mengecupnya.
“Dari awal aku sudah menyukaimu An. Kamu nggak melakukan apa-apapun, faktanya akulah yang terus mengejarmu dan meyakinkanmu.” Derrel berdiri dan menatap Andriana begitu teduh.
“Kamu perempuan pertama yang bikin aku nggak bisa berhenti buat mikirin kamu.” Derrel memegang kedua pipi Andriana.
“Kamu pinter banget ngegombal Rel.” Andriana tersenyum lebar.
“Tapi kamu suka kan?” Derrel mengedipkan matanya.
“Suka sih... sedikit.” Andriana meledek.
“Banyak juga nggak apa-apa.” Derrel tersenyum dan mereka tertawa bersama.
“Rel, besok main ke rumah Rayya yuk. Aku ingin ngobrol-ngobrol dan melihat Bintang juga. Besok kan Minggu, Alde libur kan?”
Derrel mengangguk, “ayo, tapi cium aku dulu ya.” Derrel menyodorkan pipinya lebih dekat ke wajah Andriana.
“Hmm.. aku nggak mau...” Tukas Andriana.
“Jaim amat sih.” Derrel mencubit pelan pipi istrinya.
“Aku nggak mau kalau cuma cium pipi.” Andriana menggigit bibir bawahnya dan menatap suaminya dengan tampang menggoda.
Derrel semakin gemas melihat tingkah istrinya. Sebelum Andriana bicara lagi, Derrel sudah mengunci bibir Andriana dengan bibirnya.
***