SELA MISTERI

1284 Kata
Begitu tersambung, belum sempat Anne menyapa lebih dulu, Ben merebahkan kepalanya di bahu sang istri. Elisa yang dibalik layar tiba-tiba terdiam, padahal tadinya ia nyaris heboh menyapa Anne. “Lis?” tegur Anne. “Eh, iya,” tanggap Elisa. “Sorry. Malah bengong gue nontonin kemesraan pengantin baru.” Anne mengerutkan kening. Ia menahan emosinya, merasa aneh dengan sang penelpon yang bersikap biasa saja, seolah tak ada situasi ganjil di antara mereka sebelumnya. “Di mana lo?” “Tebak dong.” “Berarti bukan di New York.” “Yup! Ih payah banget sih lo. Memangnya sudah berapa hari lo ngga ngintip instagr4m?” “Mmm... ada dua minggu deh kayaknya. Di kantor lagi sibuk banget. Ditambah nyiapin wedding.” Elisa tersenyum lebar. “Congrats ya, Ne. Happy wedding.” Anne memiringkan kepalanya ke kanan, bibirnya juga melengkungkan senyum. Meski, entah kenapa, Anne tak merasa ucapan baik barusan tak datang dari hati. Senyum Elisa pun rasanya tak sampai ke mata. “Thank you,” jawab Anne. “Buat Bang Ben juga…” tambah Elisa. “Selamat sudah jadi suami.” Ben melirik lalu mengangguk singkat. Hanya segitu saja. Setelahnya Ben malah merebahkan kepalanya di pangkuan Anne, memejamkan mata. “Satu jam lagi magrib lho, Ben,” ujar Anne seraya menunduk, menatap wajah suaminya sambil mengusap lembut surainya dengan tangan yang bebas. “Hmm. Sebentar saja, sayang,” sahut Ben. Anne mendengus, lalu mengembalikan titik pandangnya ke balik layar. “Sorry, Lis.” Elisa mengangguk. “So, lo tau ngga gue di mana?” tanya Elisa lagi. “Kasih tahu ajalah,” pinta Anne. “Gue di Jakarta, Anne.” “Lho, kok bisa?” “Bisa dong.” “Akhirnya bokap lo ngizinin pulang?” “Iya. Disuruh bantu di sini.” “Lo sampai Jakarta kapan?” “Dua hari lalu.” “Kok ngga bilang gue?” “Memangnya kalau gue bilang, lo bakalan ngundang gue?” Anne mendengus. Logikanya mengatakan jika Elisa tengah bercanda. Inderanya pun sepakat akan hal itu karena kedua mata melihat sendiri Elisa tertawa. Masalahnya, hatinya tak demikian. “Itu kan karena gue ngga tau lo balik, Lis,” ujar Anne. “Ya sudah, tell me kapan lo available, ngga lagi dalam masa bulan madu, biar kita bisa nongkrong bareng. Oke?” Anne menelan ludah. Entah kenapa, ia seperti bisa mencium ada sesuatu yang disembunyikan Elisa—meski ia tak tau apa itu. Bahkan untuk mengatakan ‘oke’ saja, seolah ada duri yang menyangkut di tenggorokannya. ‘Ada apa ya?’ *** Setelah obrolan singkatnya dengan Elisa usai, Anne meletakkan ponselnya di atas dad4 Ben. Suaminya itu masih merebahkan kepala di pangkuannya, namun akhirnya tak tidur melainkan sibuk scrolling salah satu sosial medi4. “Lihat apa sih?” tanya Anne. “Aku lagi mikir,” jawab Ben. “Sejak kapan?” balas Anne. Ben tergelak. Ia mengalihkan tatapannya dari layar ponsel ke wajah Anne, mengulurkan tangannya yang bebas, membawa jemarinya mencubit pelan puncak hidung sang istri. “Tau aja aku malas mikir.” “Mikirin apa memangnya?” tanya Anne lagi. “Menimbang-nimbang dari Yakushima ke Shodoshima enaknya naik apa?” Anne mengangguk. “Beda pulau sih ya?” “Iya, sayang.” “Opsinya apa?” tanya Anne kemudian. “Dari Yakushima naik pesawat ke Kagoshima. Terus, lanjut kereta ke Takamatsu. Terakhir naik ferry ke Tonosho Port—Shodoshima. Total waktu tempuhnya antara empat sampai enam jam,” jelas Ben seraya membaca informasi dari layar ponsel. “Selain itu?” balas Anne. “Kalau mau lebih menikmati perjalanan, lebih scenic... kita bisa naik ferry ke Kagoshima, terus lanjut naik shinkansen ke Okayama. Dari situ, naik ferry lagi ke Shodoshima. Total perjalanannya sekitar delapan jam.” “Dua kali naik ferry?” “Iya, sayang.” “Coret. Aku ngga mau. Kalau cuma sekali meski agak lama sih ngga masalah.” Ben mengangguk. “Ada opsi lain lagi?” tanya Anne kembali. “Ada, tapi lebih lama dari yang pertama juga. Flight ke Itami airport—Osaka dulu. Ke Kobe port, baru deh naik ferry ke tujuan.” “Nyebrangnya lama?” “Iya. Sekitar tiga jam nyebrangnya.” “Kepingin sih mampir di Osaka.” “Deal opsi terakhir berarti ya?” “Tapi kok lebih lama dari opsi pertama?” “Dari Itami airport ke Kobe port dua jam naik kereta, sayang.” “Ngga beda jauh berarti kan waktu tempuhnya?” “Jadi beda jauh kalau kita main di Osaka dulu,” tanggap Ben. “Tapi aku kepingin.” “Ya sudah, deal via Osaka.” “Yeiy!” seru Anne, senang. Setelah kesepakatan tersebut, sepupu-sepupu perempuan Anne bergabung di sofa tersebut. Ben bangun dari posisi malasnya, membawa langkah ke kerumunan para pria muda yang tengah menyiapkan bahan-bahan makanan untuk dipanggang malam nanti. Ben menghempaskan tubuhnya di atas beanbag dan mulai mengikuti ramah tamah dengan topik random khas mereka. Kali ini, yang dibahas adalah beberapa tempat rafting untuk bermain bersama sebelum kembali ke kesibukan masing-masing. Hingga… berlanjut ke keusilan masing-masing setelah tawa mereka pecah kembali perkara balada sepatu poundsterling yang menghilang secara ‘ghoib.’ “Eira mana happy banget ngelihat abahnya diuber-uber,” ujar Rio. “Heran gue, epic banget idenya si Bumi,” sahut Eldra. “Yang kocak tuh mukanya Ben pas ditanya Papa Ga sepatu sebelah ke mana. Langsung pucat,” timpal Arga. “Ampun, Pa! Lagi dicari!” Ia terbahak. “Kacau banget memang bercandanya,” tanggap Ben. “Tapi, ada lagi yang lebih ngeselin. Sampe diintrogasi gue sama Anne.” “Soal?” tanya Bintang. “Itu lho, pesan rahasia di buku tamu,” jawab Ben. Hening. Kekehan pun perlahan teredam. Obrolan berhenti. Semua menoleh, saling menyapukan pandangan. Ada yang mengerutkan dahi, ada yang saling tatap. “Naon pesannya teh?” tanya Bumi. “Bukan lo yang nulis, A?” balas Ben. “Abdi mah teu begitu bercandanya. Teu mungkin sampai bikin maneh ribut sama Anne.” Yang lainnya mengangguk. “Apa pesannya, Ben?” kali ini Rio yang bertanya. Ben mengerutkan kening. “Iya sih… gue juga mikir begitu, kayaknya ngga mungkin kalian yang nulis candaan beresiko kayak begitu.” “Apaan isinya?” Giliran Eldra yang urun suara. “Jangan lupa, nanti pas pulang, ambil payung dulu di IndoApril. Selamat Anda sudah tiga kali mendapatkan pertanyaan yang sama.” Ben tergelak, sementara Eldra menatap tajam lalu mencengir. “Selamat sudah menikahinya, Ben. Aku terlambat ya?” jawab Ben, menuturkan apa yang dibacanya di buku tamu. Tersua hening kembali. Angin sore meniup dedaunan, suaranya bak bisik-bisik samar. “Secret admirer-nya Kak Anne?” Akhirnya Sam yang bertanya. Ben menggeleng. “Anne ngga kenal tulisannya.” “Penggemar Bang Ben berarti,” ujar Sam lagi. “Tapi kan acara ini tertutup, Sam,” sahut Arga. “Kalau kita-kita yang usil, jelas ngga. Ben sobatnya laki semua. Anne ngga ada ngundang teman. Orang 3D dan PM juga petinggi-petingginya doang.” Ben menghela napas panjang, diikuti gelengan. “Sudahlah,” tepisnya. “Ngga penting juga.” Ia mengalihkan topik tersebut dengan banyolan khasnya, meski tak cukup untuk menghapus sisa desir aneh di dadanya. Riuh rendah obrolan pun kembali bersahutan, meski tak seintens sebelumnya. Seolah, semua kepala memikirkan pesan tak sopan tersebut. Seakan semua menekan keingintahuan agar tak membengkak menjadi gosip. Ben menoleh ke mana Anne berada. Dari sudut matanya, ia mendapati Anne tertawa bersama para wanita, tanpa sedikit pun menyadari benang kusut yang tadi baru tersinggung sejenak. Langit mulai meredup, senja akan segera mengambil alih. Aroma bumbu panggang sudah mulai menyebar di udara, sementara hawa lembap khas suasana malam di dataran tinggi kian terasa. Semua orang fokus untuk menyelesaikan persiapan sebelum beranjak ke dalam villa untuk shalat berjamaah. Namun, pikiran Ben masih terus terdistraksi, siapa yang mengusilinya jika bukan keluarganya sendiri? Dan kenapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN