Part 3

1313 Kata
Seorang wanita berambut hitam sepunggung duduk sendiri di sebuah café bergaya vintage. Jemarinya memangku wajahnya yang tetap cantik meski tanpa make up. Matanya yang indah dengan iris berwarna coklat gelap menyorot kosong ke taman di depan café. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Ia tampak melamun sedih. Coklat hangat di hadapannya dibiarkan begitu saja. Pada situasi seperti ini sebenarnya ia lebih suka menyesap kafein. Aromanya membuat tenang. Tapi sepertinya coklat hangat akan membantu merilekskan tubuhnya selepas berjam-jam menangani pasien di Rumah Sakit. "Dokter Elvina?" sebuah suara membuyarkan lamunannya. Elvina mengerjap-ngerjap. "P-pak Ivan?" Ia tergeragap menyadari laki-laki yang menegurnya. Tanpa izin, Ivan segera menarik kursi di hadapan Elvina. Mampus! Kenapa ketemu di sini, sih? Batinnya menggerutu. "Sendirian, Dok?" Elvina masih menatap Ivan heran. "Eh, terganggu, ya, Dok?" Ivan menyadari tatapan Elvina. Ia segera bangkit, beranjak pergi. "Ehem. Nggak apa-apa, kok, Pak. Kok bisa di sini?" Elvina tahu pertanyaannya terlalu basa basi. Tadinya Elvina juga tak ingin sendiri ke sini. Ia sudah mengajak Diana, sahabatnya, untuk menemaninya. Apa daya, saat ini Diana sedang tugas jaga. Jadi Elvina memutuskan pergi ke cafe seorang diri. Tanpa ia sangka, ia akan bertemu laki-laki tampan ini lagi. Ivan menyembunyikan senyumnya lalu kembali duduk. "Barusan ketemu temen, baru saja mau pulang. Eh saya lihat Dokter melamun, ya saya samperin. Hehe," Ivan terkekeh. Menampilkan deretan giginya yang rapih. "Sudah lama?" lanjutnya. "Lumayan." Elvina salah tingkah. Bingung mau membuka topik akhirnya ia memilih mengaduk minumannya yang mulai dingin. "Dok, apa saya segitu tuanya dipanggil 'Pak'?" suara Ivan memecah sunyi. Ia tampak meneliti wajah Elvina. Yang ditatap justru semakin salah tingkah. No Elvina, No! Di hadapanmu ini suami orang! Batinnya meronta-ronta. "Eh? Enggak juga, sih. Sepertinya umur kita juga tidak terpaut jauh." Elvina menggigit bibir bawahnya seolah memberinya hukuman karena melontarkan kalimat yang tidak seharusnya. Elvina bodoh, bodoh! Trus kenapa kalau tidak terpaut jauh? Oh no, El! Ivan membulatkan matanya lalu memamerkan senyum mautnya. "Oh ya? Kalau begitu jangan panggil 'Pak'. Panggil Ivan saja." "Baiklah, Ivan. Supaya tidak terlalu formal, panggil aku El atau Elvina saja." Elvina balas tersenyum meski dalam hati ia merutuki dirinya sendiri. Ganjen sekali kau, El?! "Hm, belum bisa ngelupain kejadian kemarin, ya?" Suara bariton Ivan kembali memecah hening. "Kejadian yang mana?" alis Elvina bertaut. Tak mengerti. "Yang bayi kemarin. Aku liat waktu kamu panik, lari-lari gitu. Tapi hebat, sih, kamu masih bisa mikir meski panik." Kalimat Ivan barusan sukses membuat Elvina membulatkan matanya. "Kok bisa tahu?" "Aku kan di ruang tunggu nemenin Jihan antri. Keliatan kok dari tempatku duduk. Pasien yang lain juga panik, sih. Kasak kusuk gitu nebak-nebak apa yang terjadi." Elvina mengangguk mengerti. Ia paham laki-laki yang tampaknya hanya terpaut 1-2 tahun dari usianya ini seorang ekstrovert. Buktinya dia bisa bicara panjang lebar dengan orang yang baru dikenalnya. Berbeda sekali dengan Elvina, ia bisa diam seribu bahasa jika belum nyaman berinteraksi dengan orang lain. "Ya, masih kepikiran, sih. Meski bukan sekali itu liat bayi tiba-tiba enggak nafas, cuma yang kemarin kan sad ending dan penyebabnya karena kelalaian ibunya gitu. Jadi yaa tau sendiri lah," Elvina malas membahas bagaimana perasaannya sekarang. Jadi ia membiarkan lawan bicaranya menebak sendiri. Meski saat ini yang paling membuatnya murung bukan soal kejadian bayi itu. "Oh ya, aku balik dulu, ya. Masih ada yang harus dikerjakan." Elvina beranjak. Ia tak mau berlama-lama. "Tunggu! Boleh minta nomor telepon, El? Hm, mungkin suatu waktu ada yang ingin kutanyakan supaya tidak harus mengantri di loket Rumah Sakit." Ivan nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ah, sure!" Elvina meraih ponsel yang disodorkan Ivan. Setelah mengetik sebaris nomor, ia segera berlalu dengan langkah cepat. Apa-apaan kau, El? Kau baru saja memberikan nomor ponselmu ke suami orang?! Oh no El. Ia juga tidak tahu kenapa dengan mudahnya memberikan nomor teleponnya pada Ivan. Ah biar saja lah! Sudah terlanjur! Elvina mempercepat langkahnya. *** Ivan (POV) Aku menyembunyikan senyum geli melihat perempuan di hadapanku kikuk dan salah tingkah. Ia mengaduk minumannya dengan gerakan asal. "Dok, apa saya segitu tuanya dipanggil 'Pak'?" Aku sengaja menatap lekat-lekat wajahnya. Membuatnya semakin salah tingkah dan aku sangat menikmatinya. Sayang sekali penerangan di café ini tidak bisa memperlihatkan dengan jelas wajah dokter di hadapanku yang tampaknya sedikit merona. "Eh? Enggak juga, sih. Sepertinya umur kita juga tidak terpaut jauh." What?! Aku tak menyangka akan mendapat jawaban terbuka begitu. Kuamati jemarinya. Ada satu kelegaan. Tak ada cincin pertunangan apalagi cincin pernikahan yang melingkar di sana. "Oh ya? Kalau begitu jangan panggil 'Pak'. Panggil Ivan saja." Aku mencoba peruntunganku. Membuka peluang 'berteman' dengan dokter cantik yang sedari tadi masih kikuk dan salah tingkah. "Baiklah, Ivan. Supaya tidak terlalu formal, panggil aku El atau Elvina saja." Aku terbelalak mendengar jawabannya. Kupikir ia akan menolak. Otakku segera bekerja untuk membuat kami lebih lama berbincang. "Hm, belum bisa ngelupain kejadian kemarin, ya?" Aku mencoba menebak alasan yang membuat perempuan cantik di hadapanku ini tampak murung. "Kejadian yang mana?" "Yang bayi kemarin. Aku liat waktu kamu panik, lari-lari gitu. Tapi hebat, sih, kamu masih bisa mikir meski panik." "Kok bisa tahu?" mata indahnya membulat. Wajahnya terlihat menggemaskan. "Aku kan di ruang tunggu nemenin Jihan antri. Keliatan kok dari tempatku duduk. Pasien yang lain juga panik, sih. Kasak kusuk gitu nebak-nebak apa yang terjadi." "Ya, masih kepikiran, sih. Meski bukan sekali itu liat bayi tiba-tiba enggak nafas, cuma yang kemarin kan sad ending dan penyebabnya karena kelalaian ibunya gitu. Jadi yaa tau sendiri lah," Ia menjawab tanpa melihat mataku sementara aku terus mencari celah untuk bisa memandang wajahnya. Tapi dari jawabannya aku mengerti, ia tidak akan meneruskan percakapan ini. Benar saja! Perempuan itu sudah beranjak. Tentu aku tidak melewatkan kesempatan. "Tunggu! Boleh minta nomor telepon, El? Hm, mungkin suatu waktu ada yang ingin kutanyakan supaya tidak harus mengantri di loket Rumah Sakit." Alasan yang tidak masuk akal. Toh, Elvina belum mengenalku sepenuhnya. Rasanya aku ingin bersorak kegirangan ketika Elvina mengetikkan sebaris nomor di ponsel yang kusodorkan. Meski belum tahu bagaimana memulai percakapan nantinya. Aku memandang sumringah kepergian Elvina sebelum akhirnya disadarkan oleh dering ponsel. "Halo?" "Jadi nggak, sih, Kakak jemput Reyhan? Dia udah landing dari setengah jam lalu!" Suara seorang wanita di seberang terdengar kesal. "Iya, iya. Ini juga mau berangkat." Aku segera berlalu setelah memutuskan sambungan telepon. Waktu tempuh ke bandara yang biasanya hanya 30 menit sekarang menjadi 1,5 jam. Macet di mana-mana. Entah bagaimana reaksi Reyhan nanti begitu aku sampai. Memikirkannya saja malas. Aku melirik jam tanganku. Pukul 19.45. Semoga Rehyan masih sabar menunggu. *** "Ivaaaaaaaaaaaaaaaaan!" sebuah teriakan yang sangat kuhapal dan tepukan keras mendarat di pundakku begitu aku menjejakkan kaki di loby bandara. "Dari mana aja kok baru dateng? 2 jam lebih gue tunggu. Ya ampun!" tersangka penganiayaan pundakku ini terus mengomel. Wajahnya tampak sangat kesal. Dia memang bukan tipe penyabar, "Maaf, jalanan macet. Yuk pulang!" "Makan dulu lah, gue laper nungguin lo dari tadi." Aku memutuskan mengikuti Reyhan yang tanpa aba-aba langsung menuju restoran cepat saji. Kujejeri langkahnya. "Berapa hari di rumah, Rey?" tanyaku begitu mendapatkan meja untuk makan. "Sebulanan." Jawabnya singkat. Ia segera memanggil waitress. Memesan beberapa makanan. "Lo nggak makan?" matanya tertuju padaku. Aku menggeleng. Reyhan kembali melihatku begitu selesai memesan makanan. "Awal bulan depan gue ada jadwal terbang ke Paris. Ikut, nggak?" alisnya naik turun membuat wajahnya tampak sangat menyebalkan. "Lo betah-betah dong di rumah. Ada bayi, tauk!" "Ya gimana dong? Tuntutan pekerjaan. Lagi pula kan ada Lo, Van." Reyhan tertawa keras. Beberapa pengunjung menoleh. "Jadi ikut ke Paris, nggak?" lagi-lagi Reyhan menaik-turunkan alisnya. "Enggak!" aku menjawab galak. "Gak seru Lo, ah! Btw, kapan balik ke Jerman? Libur mulu!" "Kapan juga gue libur?! Baru juga sekali ini. Bulan depan gue balik ke Jerman. Puas Lo?" "Haha, santai, sih. Lo sekolah mulu, gak bosen? Dapet cewek gak di sana?" Reyhan kembali menaik-turunkan alisnya. Sangat menyebalkan! "Berisik! Makan terus pulang!" Begitulah kami jika bertemu. Selalu bertengkar. Reyhan selalu saja sukses menyulut emosiku. Mungkin dia balas dendam karena semasa kecil dulu aku lah yang selalu membuatnya kesal hingga menangis. Sekarang aku yang selalu kesal dibuatnya. Menyebalkan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN