Part 7

1189 Kata
Elvina berpikir lama sebelum akhirnya bibirnya berucap, "Lo nggak tau sih yang mana pasiennya. Kan lo nggak pernah sekelompok sama gue." "Eh bentar deh." Dahi Diana berkerut. Detik berikutnya matanya membelalak, "El, enggak mungkin 'kan Lo suka sama bapaknya pasien Lo?" suara Diana memenuhi kamar kos Elvina yang tidak seberapa luas. Kedua tangannya mencengkram kuat kedua bahu Elvina, membuatnya meringis menahan sakit. Elvina tidak menjawab. "Astaghfirullah! Lo gilak, El! Bagus, sih, Lo akhirnya membuka hati tapi ya jangan sama suami orang, dong!" Diana memijat kepalanya pening. "Gue 'kan nggak bilang mau nikung suami orang, Di. Gue Cuma bilang gua ngerasa nyaman aja kalo sama dia." Elvina mencoba membela diri. Meyakinkan diri bahwa yang ia rasakan bukan ketertarikan lawan jenis. "Trus Lo mengartikan perasaan nyaman itu apa? No, El. Jangan sama suami orang!" Diana menggeleng tegas. Tangannya memberi isyarat bahwa keputusannya, mutlak. Tidak bisa dibantah. Baru saja Elvina akan angkat bicara tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah pesan singkat masuk. Ivan: Jadi gimana? Besok bisa dateng ke bandara? Diana ikut melirik ke layar ponsel sahabatnya. "Hah? Apa maksudnya dateng ke bandara?" Seketika ia berteriak tepat di telinga Elvina. Ia membulatkan matanya lagi. Ekspresinya menuntut penjelasan. "Lo ngintip, Di?!" Elvina memeluk ponselnya. "Udah sejauh mana hubungan kalian? Jelaskan!" Bibir Diana manyun. Ia benar-benar kesal. "Apaan, sih?!" Elvina mencoba mengelak. "Gue nggak bakal salah. Dia kan orangnya, El? Namanya Ivan?" Diana tahu betul sahabatnya ini susah dekat dengan laki-laki. Satu-satunya laki-laki yang cukup dekat dengannya adalah Ryan. Jadi, sudah pasti pesan masuk dari laki-laki bernama Ivan ini adalah tersangka yang mereka bicarakan. "Ceritain ke gue, cepet!" Diana tak sabar. Lama Elvina terdiam sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menceritakannya pada Diana. "Awal ketemu tuh pas gue kasi konseling dia mau bawa anaknya pulang. Gue terpesona gitu ama tampangnya. Hehehe, cakep, sih." Elvina nyengir. Berusaha meredakan kekesalan Diana. Tapi wajah Diana tetap serius, akhirnya melanjutkan. "Tapi gue sadar kok dia suami orang. Makanya ketemu berikut-berikutnya gue biasa aja." Elvina sengaja memotong ceritanya lagi. Memperhatikan reaksi Diana. Reaksinya masih seperti yang tadi, tapi matanya tampak antusias menunggu kelanjutannya. "Ternyata kita ketemu lagi di café, gak sengaja gitu pas gue lagi suntuk. Waktu itu gue mau ngajak lo, tapi lo 'kan lagi jaga. Ivan itu, menurut gue orangnya asyik. Jadi ya gue ngerasa punya temen baru aja. Ya intinya kita jadi sering ngobrol meski cuma lewat chat tapi akhirnya gue ngerasa nyambung kalo ngobrol sama dia, nyaman aja gitu." Diana menghela nafas berat persis setelah kalimat Elvina berakhir. "Lo nyadar 'kan, El, kalo dia suami orang?" Ia menyentuh pundak sahabatnya. Air muka Elvina berubah sendu, "Iya." "Dan Lo tetep nyaman deket sama dia?" "Bukan gitu." Elvina mendengus ringan. "Lo nggak ngerti, Di." "Apa yang nggak gue ngerti, El? Lo suka sama cowok yang notabene bapaknya pasien Lo alias suami orang. Bagian mana yang nggak gue ngerti, El?" Hening. Elvina menunduk dalam-dalam. Seperti seorang anak yang dimarahi ibunya. "Mumpung belum terlalu jauh, El. Lo bisa hentikan sekarang." Diana menyentuh lembut pundak Elvina. Membujuk sahabatnya sekaligus memberikan kekuatan. "Kalo besok gue ke bandara, gimana menurut Lo?" Elvina nyengir sekaligus meringis. Diana menghela nafas, "Ngapain, El?" "Terakhir, Di." "Lo mikir gak kalo besok tuh bisa jadi istrinya juga ikut?" "Iya lah. Tapi 'kan nggak apa-apa, toh gue bukan ke sana sebagai selingkuhan 'kan? Gue cuma mengiyakan ajakan seorang temen aja 'kan?" "Serah Lo, deh, El." Diana tak menyembunyikan kekecewaannya. "Di, Lo marah, ya?" "Gue nggak ngerti aja jalan pikiran Lo. Lo tahu ini salah, tapi Lo kayak nggak mau keluar dari kesalahan Lo. Itu setan yang bisikin lo, El." "Setelah ini gue janji nggak bakal ada kontak lagi sama dia. Gue janji. Atau besok Lo juga mau ikut biar Lo yakin gue nggak ngapa-ngapain?" Diana tampak berpikir, menimbang-nimbang. "Gue nggak mau Loe ngancurin rumah tangga orang, El. Itu bisa jadi karma. Dosa lagi." "Gue nggak bakal begitu, Di." Elvina menggigit bibir. "Besok gue nggak ikut, gue jaga. Tapi kalo Lo emang tetep mau ke bandara pastikan ke gue kalo itu terakhir kalinya Lo ketemu dia. Janji?" Elvina mengangguk mantap lalu memeluk sahabatnya erat. Ia sadar apa yang ia rasakan salah, yang ia lakukan pun salah. Ia juga sadar telah menipu dirinya bahwa selama ini ia melupakan kenyataan bahwa Ivan adalah suami orang. Tapi setelah ini tidak lagi, ia berjanji akan menjauhi laki-laki itu. Ia tidak mau termasuk dalam deretan wanita pelakor. "Eh, btw, El. Lo udah dapet ide mau bikin karya ilmiah apa?" pertanyaan Diana merenggangkan pelukan mereka. "Udah, sih. Gue ambil nefrologi. Rencana tentang SLE, sih. Lo?" "Gue ambil endokrin. Tapi belum tau fokusnya apa." "Pelan-pelan aja, toh masih akhir semester ini kita mulai nyusun 'kan?" "He'em. Lo gimana sama Ryan?" "Maksudnya?" Elvina mengernyitkan dahi. "Kalian kan sekelompok terus. Dia nggak nembak Lo lagi?" Elvina memutar bola matanya. Ia paling malas dengan topik pembicaraan ini. "Udah bertahun-tahun lewat, Di. Nggak bakal lah dia masih suka gue." Elvina memutuskan tidak menceritakan kejadian beberapa waktu lalu saat Ryan memergokinya makan siang dengan Ivan. "Yakin? Sampe sekarang dia belum deket sama siapa-siapa loh." "Itu 'kan urusan dia, nggak ada hubungannya sama gue." "Hahahaha, kalo dia nembak Lo lagi, Lo jawab apa?" "Enggak." "Kenapa? Apa kurangnya dia?" Diana mengernyit tak menyangka Elvina tetap menolak laki-laki sekelas Ryan. "Buat Lo aja, hahaha." Elvina terbahak namun tanpa ia sadari jawabannya membuat Diana tersentak. Mendadak hatinya berdegub kencang.  "Apaan, sih, Lo!" Diana menimpuk Elvina dengan bantal. Seketika mereka melakukan perang bantal seperti anak kecil. Elvina mendadak lupa dengan keresahannya tentang Ivan dan Diana tak menghiraukan degub jantungnya yang kini perlahan kembali normal. Dulu sekali, bertahun-tahun lalu, awal kali persahabatan Diana dan Elvina terjalin. Saat masih mengambil pendidikan dokter umum, Elvina dan Diana sama-sama menjabat sebagai sekretaris BEM. Saat itu, Diana sama sekali tak berpikir untuk menjadi dekat dengan Elvina meski mereka satu organisasi. Tapi melihat kedekatan Elvina dengan Ryan, membuat Diana cemburu. Ya, Diana menaruh hati pada laki-laki berparas dingin itu. Tak mau keberadaannya tertutupi oleh pesona Elvina, ia menempel dan mengekor ke manapun Elvina pergi. Agar ketika Ryan mengajak Elvina pergi, Elvina yang ia tahu sama sekali tak tertarik dengan Ryan itu mau tak mau akan mengajaknya. Ini kesempatan untuknya. Waktu berlalu, tujuan awalnya mendekati Elvina yang tidak tulus ternyata berbuah persahabatan. Kepercayaan mulai terbangun di antara keduanya. Kedekatan mulai terjalin secara natural. Tapi Diana masih menaruh hati pada Ryan. Hingga saat ia mengetahui Ryan akhirnya menyatakan perasaannya pada Elvina, hatinya hancur. Tak ada gunanya selama ini ia menempel pada Elvina, hatinya kecewa dan marah. Tapi, bukankah perasaan tak pernah bisa dipaksakan? Seperti apapun ia mencoba masuk, jika di hati Ryan hanya ada Elvina, ia takkan pernah bisa menerobos masuk. Berhari-hari Diana tak mau bertemu Elvina, ia tak tau bagaimana harus menghadapi sahabatnya itu. Beruntung, hari-hari yang kacau itu ia habiskan dengan mengkaji ilmu agama. Awalnya hanya untuk mengindari Elvina ia mengikuti kajian bersama teman-teman satu  kosnya, ternyata ia jadi ketagihan. Hari hari berlalu, Hatinya mulai enteng. Perasaan-perasaan kacau yang sejak beberapa hari lalu menyabotase hatinya, mendadak luruh. Ia menyadari, waktunya selama ini telah terbuang sia-sia hanya untuk mencintai laki-laki yang tidak mencintainya. Diana mulai memaafkan dirinya. Memulai lembaran baru kehidupannya. Mencanangkan visi baru dalam perjalanan hidupnya. Terkadang, kebaikan dan kebahagian datang bersama kepedihan dan luka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN