"Aku tanya, ngapain El?" Ryan menatap Elvina tajam. Perbincangan mereka sepulang dari kamar bersalin belum berakhir.
"Hmm, nganterin temen ke bandara. Eh, bukan nganterin, sih. Melepas kepergian. Hehe" Elvina nyengir, berusaha menghangatkan dingin yang tiba-tiba menyelimuti.
"Siapa?" Rahang Ryan mengetat. Jelas ia sedang mengontrol amarahnya.
Elvina memutar bola matanya. Malas diperlakukan seperti maling yang tertangkap basah. "Ivan. Ingat? Pasien gue." Akhirnya ia menjawab kesal.
"Lo deket banget sama dia sampe nganterin ke bandara? Emang dia mau ke mana?" Suara Ryan bertambah tinggi satu oktaf.
Kini, Elvina benar-benar kesal. Ia mendengus sebal. "Kalo iya kenapa?"
Melihat gelagat Elvina yang terkesan menantangnya. Ryan semakin geram. Tapi segera ia redam mengingat ruang pediatric penuh oleh perawat, PPDS, dan bayi-bayi tentunya.
"Lo sadar 'kan kalo dia suami orang?"
Elvina menghela nafas. Ia malas sekali berdebat.
"Iya. Kita lagi di ruangan, Yan. Nggak usah bahas ini bisa?" Intonasi suara Elvina tajam.
Tampak jelas raut wajah Ryan tidak suka dengan kalimat menghindar dari Elvina. Tapi ia pikir ada benarnya juga.
"Ya sudah," Ryan mengalah.
"Lagipula gue bakal ketemu dia lagi,"
Ryan hanya menoleh tanpa menanggapi. Mereka kembali fokus membuat laporan untuk morning report besok pagi.
Drrrtt...drrrt...
Hp Elvina bergetar. Sebuah pesan masuk.
Diana:
Tadi lo jadi ke bandara ya?
Elvina mengetik sebaris kata. Mengiyakan pertanyaan Diana. Tak perlu menunggu lama balasan dari sahabatnya itu sudah masuk.
Diana:
Lo harus janji ya El jangan berhubungan sama dia lagi? Gue nggak mau lo terlanjur cinta sama suami orang. Gue sayang lo El.
Membaca akhir kalimat pesan Diana hati Elvina mendadak meleleh. Menurutnya, satu-satunya manusia di dunia ini yang menerima ia apa adanya adalah sahabatnya ini. Diana. Sambil tersenyum Elvina mengetik sebaris kalimat. Ya, ia berjanji tidak akan lagi berhubungan dengan Ivan. Bagaimanapun caranya, ia akan berusaha.
***
Enam bulan berlalu sejak terakhir kali Elvina bertemu Ivan di bandara. Enam bulan yang cukup berat bagi Elvina karena beberapa ujian dan penyusunan tugas akhir sudah dimulai. Tak ada kesempatan baginya untuk memikirkan tentang Ivan. Tentu ini sangat menguntungkan baginya. Hanya saja Ivan masih sesekali menghubunginya, seolah tak ingin Elvina melupakannya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi, tapi Elvina dan dokter jaga lainnya belum juga tidur. Ruangan pediatric cukup lengang setelah 30 menit lalu sempat ramai karena banyak bayi baru masuk. Kamar bersalin penuh, beberapa pasien melahirkan hampir berbarengan yang membuat perawat dan PPDS di ruang pediatric jadi kebanjiran pasien. Elvina menyelesaikan laporan untuk morning report-nya. Yang lain juga tampak sibuk dengan laptop dan catatan masing-masing.
Elvina meregangkan badannya yang mulai terasa pegal. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Tertera nama Vino di sana. Adiknya.
"Kenapa, dek?" tanya Elvina begitu meletakkan ponsel di telinganya.
"Kakak ada duit nggak?"
"Berapa?"
"Lima puluh ribu aja. Vino ada iuran buat KKN lima puluh ribu tapi duit Vino sisa sepuluh ribu buat makan hari ini doang. Udah minta Ayah tapi kata Ayah disuruh minta kakak." Elvina merogoh sakunya. Selembar uang lima puluh ribu terselip di sana. Dan itu uang terakhirnya.
"Ada sih," Elvina menggantung kalimatnya.
"Kenapa kak? Duit terakhir, ya?"
"Nggak apa-apa. Kamu pake aja dulu,"
"Beneran, Kak?"
"Iya."
"Kakak di RS? Vino ke RS nanti jam 7, ya, Kak?"
"Iya, jangan telat, ya. Kakak ada morning report jam 7.30."
"Siap. Makasih, Kak."
Sambungan telepon terputus.
Bukan sekali dua kali mereka kehabisan uang begini. Dulu, saat Elvina bisa kuliah sambil cari uang, masalah finansial lebih mudah teratasi. Vino pun sempat bekerja part time, tapi begitu ketahuan oleh Silvia, Vino dimarahi habis-habisan. Fokus kuliah saja katanya, soal uang biar orang tua yang mencukupi. Tapi nyatanya, meminta tambahan uang tak bisa pun bekerja part time untuk memenuhi kekurangan finansial dikecam.
Elvina mendekatkan lagi layar ponsel ke telinganya.
"Assalamu'alaikum, Yah." Ucapnya begitu terdengar panggilan dijawab.
"Wa'alaikumsalam. Kenapa El?" suara sang Ayah menjawab, ia amat ia merrindukan kehangatan dalam suara itu yang telah hilang sejak beberapa tahun terakhir.
"Vino kehabisan uang, sementara hari ini ada iuran KKN katanya. Ayah bisa transfer lebih awal?" hati-hati Elvina memilih kata.
"Uangmu juga sudah habis?" nada suara Ayahnya meninggi. Seperti biasa setiap kali mereka membahas soal uang.
"Uang El sisa lima puluh ribu, Yah."
"Cepet banget sih habisnya? Dibuat ngapain aja?"
"Standar kok, Yah. Kebutuhan sehari-hari saja. Nggak berlebihan."
"Ya sudah nanti sore Ayah transfer."
Ingin rasanya Elvina menawar untuk pagi atau siang ini, tapi lidahnya terlalu kelu.
"Iya, Yah. Makasih,"
"Iya. Sudah, ya? Ayah mau nganter Mama dan adikmu. Kamu belajar yang rajin, jangan sia-siakan biaya sekolah dari Mamamu ini. Dia baik banget ke keluarga kita."
"Hati-hati, Yah. Assalamu'alaikum," Elvina menutup sambungan telepon lalu mendengus sebal.
Jika baik yang dimaksud Ayahnya adalah sebatas memberi uang, ya Silvia memang baik. Teramat baik bahkan, rela bekerja mengejar ambisinya dan membiarkan suaminya mengerjakan urusan rumah tangga. Bahkan mempunya prinsip, apapun bisa dibeli dengan uang.
Orang tua Elvina bukan termasuk golongan menengah ke bawah. Buktinya mereka punya mobil seharga setengah milyar, rumah seharga hampir satu milyar dan tanpa ragu merogoh kocek ratusan ribu untuk makan di restoran. Tapi tidak untuk menyokong kehidupan Elvina dan Vino. Setiap bulan, Elvina dan Vino hanya dijatah sepertiga dari uang jajan kebanyakan teman mereka. Jika kurang maka akan dipotong dari jatah bulan berikutnya. Demi memenuhi kebutuhan finansial, Elvina sering mencari beasiswa atau kerja part time. Vino pun begitu. Tapi semua berakhir saat Silvia, entah atas dasar apa, melarang mereka kerja part time. Bahkan mengadu yang tidak-tidak pada Hendri. Kini, hubungan Ayah dan anak itu semakin merenggang.
Soal masalah keluarga ini, Elvina bertekad tak pernah menceritakannya pada siapapun. Termasuk Diana.
"Kak, nggak apa-apa ya duit Kakak aku pake dulu?" Vino memelas begitu berhasil menemui Elvina.
"Nggak apa-apa. Kakak masih ada tabungan kayaknya." Elvina berbohong. Tabungannya sudah habis untuk biaya penyusunan tugas akhir. Uang dari beasiswa yang tak seberapa pun habis untuk kebutuhan sekolah yang mahalnya selangit. Maka hari ini, menahan lapar hingga sore hari menjadi satu-satunya pilihan.
"Bener, Kak?"
Elvina mengangguk.
"Maaf, ya, Vino nggak bisa kerja part time lagi,"
"Nggak usah diinget. Cepat selesaikan kuliahmu lalu cari kerja yang bagus." Elvina tersenyum sembari menepuk pundak adiknya.
"Iya. Vino pamit, ya, Kak."
Vino menyempatkan mencium punggung tangan kakaknya sebelum menghilang di balik pintu lift.
Elvina berbalik. Pundaknya terasa berat. Air matanya selalu nyaris jatuh setiap kali mengingat bagaimana nasibnya dan sang adik. Mereka tentu memiliki harapan besar bahwa suatu saat nanti sikap Hendri akan berubah. Tapi hingga bertahun-tahun berlalu, semuanya justru semakin runyam. Dulu sekali, Elvina berusaha memahami kondisi keluarganya dari sudut pandang Silvia. Ia berusaha dekat dengan ibu tirinya itu. Tapi Silvia bergeming. Perempuan itu seolah memberi jarak antara dirinya dan anak-anak Hendri. Ia tak suka segala sesuatu yang tidak sesuai aturannya. Ia menganggap bahwa Elvina dan Vino yang tidak ia didik sejak kecil terlalu banyak melanggar aturannya.
Elvina sangat sulit mencerna kenyataan itu. Hingga akhirnya tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menuruti jarak yang dibuat Silvia.