Eps. 2 Terbang Ke Prancis

1010 Kata
London, asrama Akademi Kepolisian. Terdengar suara petir menggelegar di luar sana. Hujan membasahi langit London yang kelam di malam ini. Hujan turun dari sore, namun sampai saat ini belum reda juga. Akh! Di tengah malam, seorang gadis terbangun dari tidurnya dengan berkeringat dingin dan tubuh gemetar. Karena bermimpi buruk. Dia menoleh ke samping, semua rekannya, polisi wanita masih tidur dengan pulasnya. Kilat di luar sana kembali menyambar. Membuat gadis berambut panjang kecokelatan itu semakin gemetar melihatnya. Dia bahkan sampai menutup lubang telinga dengan telapak tangannya. "Ayah! Ibu!" Rasanya apa yang barusan dimimpikannya seperti terjadi di depannya. Tepatnya terulang kembali. Gadis itu memang Nadine. Empat belas tahun berlalu. Setelah peristiwa memilukan terbunuhnya kedua orang tuanya, Nadine diasuh oleh bibinya, Bibi May. Karena trauma berkepanjangan bibinya itu mengajaknya menetap di London, agar bisa melupakan peristiwa nahas tersebut. Itu pun Bibi May mengajaknya berobat ke setiap psikiater yang ada di sana, karena traumanya yang mendalam. Selama empat belas tahun pula Nadine hidup dalam bayang-bayang dendamnya. Meski dokter sudah memvonis traumatisnya sembuh, namun terkadang bisa kambuh seperti ini. Hanya saja dia sudah lepas dari pengaruh obat penenang. Karena dendamnya pulalah, dia bertekad menjadi polisi agar bisa membinasakan Henry Octav Pierre sendiri. Bukan tanpa alasan Nadine memutuskan untuk menjadi seorang polisi. Itu dikarenakan kasus pembunuhan orang tuanya itu dibekukan. Pelaku tidak berhasil ditangkap hingga akhirnya kasus ditutup. Nadine berulang kali menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. Hingga napasnya stabil, barulah dia turun dari pembaringan pembaringan. Lantas, ia masuk ke dapur untuk mengambil segelas air mineral. "Wajah pria laknat itu kembali muncul dalam mimpiku. Aku tak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Aku harus mencarinya. Setidaknya aku bisa tenang, siapa tahu saja aku beruntung dan langsung bisa menghabisinya di tempat. Aku yang sekarang bukanlah gadis kecil yang dulu." Dengan kemampuan khusus, ingatan eidetiknya, membuat Nadine masuk ke jajaran agen polisi wanita khusus. Di usianya yang masih muda dia sudah menduduki jabatan Inspektur, di saat teman seusianya yang juga bekerja sebagai agen polisi masih berada di pangkat sersan satu. *** Hari berikutnya, terlihat Bibi May beserta suami sudah berada di depan asrama untuk menjemput Nadine pulang. Hari ini adalah weekend. Dan biasanya kemenakannya itu pulang di akhir pekan seperti ini. "Nadine, Bibi dan Paman datang." Bibi May berdiri di depan pintu asrama bersama suaminya. Pintu terbuka, namun bukan Nadine yang menyembul dari balik pintu. Melainkan gadis lain yang merupakan teman dekat Nadine. "Sarah, di mana Nadine? Apakah dia sedang keluar?" Baru saja Bibi May menatap ke dalam dan tempat tidur Nadine kosong. "Bibi, Paman, Nadine pergi-pagi sekali dengan membawa sebuah tiket pesawat." "Tiket pesawat? Apa dia bilang ke mana tujuannya?" Kali ini Paman Nadine yang bertanya. Dia juga nampak khawatir. "Dia tidak menyebutkan pergi ke mana. Tapi tadi aku melihat tiket tersebut sewaktu masih ada di meja. Kalau tidak salah tujuannya ke Prancis." "Apa?!" Sontak paman dan bibinya Nadine tersentak kaget. "Nadine, kenapa kamu pergi tidak bilang-bilang pada bibimu ini?" "Jika begitu sekarang kita susul saja ke airport." "Paman, Bibi ... sepertinya jika kalian menyusul ke bandara saat ini mungkin akan sia-sia saja. Mungkin saat ini Nadine sudah tiba di tempat tujuannya di Prancis." Bibi May dan suaminya saling tatap dengan lemas. Terdengar helaan napas yang cukup panjang dari mereka berdua. Namun sayang tak ada yang bisa mereka lakukan. *** Burung besi melesat menembus gumpalan awan di Reims menuju ke London. Di sebuah kursi duduk seorang gadis berambut cokelat panjang dengan manik mata gelap menatap ke luar jendela, menatap awan putih bergumpal yang ditembus oleh kuda besi yang melesat dengan cepat. "Sebentar lagi aku akan tiba di sana." Nadine memutar bola matanya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu terbang ke Prancis diperkirakan hanya butuh waktu enam puluh menit saja. Setelah mengalami mimpi buruk semalam, Nadine memutuskan untuk tidak menunda lagi terbang ke Prancis. Meski itu artinya dia hanya bisa ke sana dalam waktu satu atau dua kali dua puluh empat jam saja. Ia ingin melepaskan bara api yang selama ini selalu menyesakkan dadanya, hidupnya tidak tenang dan malamnya terasa kelam. Kali ini dia benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Apapun dia tempuh saat ini demi bisa menemui pria j*****m itu. Dan detik itu juga dia memesan tiket pesawat online dengan tujuan Bordeaux. "Para penumpang sekalian sebentar lagi pesawat akan landing. Dimohon, pagi semuanya untuk bersiap." Suara dari pramugari pesawat menggema di seisi pesawat. Beberapa penumpang yang tidur, kemudian terbangun setelah mendengar suara nyaring tersebut. Sedangkan Nadine, jangan ditanya. Dia sama sekali tak memejamkan mata. Dia belum bisa tenang jika belum menginjakkan kakinya di negeri Prancis sana. Bahkan ia pun turun paling dulu di antara penumpang lainnya. "Jalanan di sini terasa berbeda dengan yang dulu. Wajar sudah satu dekade lebih aku meninggalkan tempat ini." Nadine berjalan keluar dari airport. Tempat di sana baginya sudah asing, bukan Prancis yang dia kenal dulu. Sesampainya di luar bandara, Nadine berhenti. Dia berpikir jika dia ingin pergi ke tanah kelahirannya-Riems, maka dia harus menggunakan mobil ke sana. Namun dia tak ada mobil saat ini. satu-satunya jalan adalah dengan menumpang atau mencari taksi tentunya. Jalanan saat itu padat sekali. Terjadi kemacetan di berbagai titik. Hal yang sama terjadi dengan jalanan di mana saat ini Nadine berada. "Taksi!" Nadine memanggil taksi yang melintas di depannya. Sayang, taksi itu berhenti tapi di seberang jalan. Membuatnya terpaksa harus berjalan kaki menyeberang sampai ke tempat taksi itu berhenti. "Sial! Jalur untuk pejalan kaki harus berhenti." Tepat di saat Nadine akan melangkahkan kaki lampu tiba-tiba menyala merah. Bersama pejalan kaki yang lain dia berhenti menunggu Lampu hijau menyala kembali. "Aneh, lampu ini sudah satu menit lebih menyala merah. Tapi kenapa belum juga menyalah hijau?" Nadine melirik jam tangan digitalnya. Karena merasa lama sekali menunggu, maka Nadine menerobos jalan. Tentu saja itu mengganggu sekali bagi setiap kendaraan yang melintas. Terdengar suara klakson dari beberapa mobil yang memprotes aksi Nadine, namun gadis itu sama sekali tak mempedulikannya. "Sial!" Seorang pria yang mengendarai mobil hitam Bugatti menginjak rem dalam hingga terdengar suara decit rem yang memekakkan telinga. Pria bermata hazel dengan tatapan tajam tadi hampir saja menabrak Nadine jika terlambat sedikit saja menginjak rem. "Nona!" hardik pria tadi menatap tajam Nadine.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN