Bab 4. Binar Atau Binal?

1176 Kata
Satu minggu kemudian, malam sebelum pesta pernikahan dilangsungkan. “Hei, calon pengantin!” sapa Jeni alias Januar riang. Ia masuk ke dalam kamar hotel Binar dengan sekantong kresek cemilan. “Jeni!” Binar memekik senang, memeluk sahabatnya erat. “Kenapa lo? Kangen sama gue?” tanya Januar ketika pelukan mereka terlepas. “Gue gugup banget, Jen. Gila lo gue mau nikah, Jeni! Ayo masuk! Udah ada Hana di dalem.” Januar tertawa, ia selalu suka dengan kehebohan Binar. Lalu ia pun masuk ke dalam kamar itu. Dan ternyata benar, seorang gadis berkacamata bulat seusia Binar sudah duduk di atas kasur. “Apa kabar, Han? Lama nggak ketemu,” sapa Januar sambil melakukan cipika-cipiki dengan gadis bernama Hana itu. Hana menyambut sapaan Januar senang. “Mulai hari ini aku pindah ke Jakarta. Jadi kita bisa sering-sering ketemu.” Gadis itu tersenyum manis. “Heh? Serius?” Mata Januar membulat. Hana mengangguk mantap. Farhana atau Hana adalah sahabat dekat mereka sejak zaman SMA hingga kuliah. Namun tiga tahun terakhir, Hana memilih bekerja di kota kelahirannya yaitu Semarang. Ia memang bilang akan datang ke pernikahan Binar, tapi Hana tak pernah cerita bahwa ia juga akan pindah dan menetap di Jakarta. “Lo ngapain di sini? Kerja?” tanya Januar sambil menghempaskan bokongnya di kasur. Duduk di sebelah Hana. Hana mengangguk lagi. “Di mana?” “Di Bank Mulia,” ucap Hana sambil tersenyum. “Serius? Posisi apa?” Januar tak henti-hentinya dibuat terkejut oleh kabar dari Hana. Pasalnya Bank Mulia adalah nama bank swasta milik Satria Abimanyu alias papa Bima. Ibaratnya, Januar dan Binar bekerja di anak perusahaan sementara Hana bekerja di induknya. “Staf produk.” Entah kenapa Hana menjawab pendek-pendek. Januar mengangguk-angguk, tak berniat bertanya lebih lanjut. Lalu ia menoleh pada Binar yang masih betah duduk di depan meja rias. “Lo ngapain, Bin?” “Pake masker mata,” jawab Binar datar. Kemudian ia beranjak dan ikut bergabung ke atas kasur. “Kenapa pake masker mata?” Hana yang bertanya. “Oke, guys. Gue ngumpulin kalian sekarang bukan buat merayakan pesta lajang atau sejenisnya. Tapi, ada satu hal yang lebih penting yang menurut gue perlu gue ceritain ke kalian. Gue mau bikin pengakuan dosa!” Tiba-tiba Binar bicara serius. Januar dan Hana memperbaiki duduk masing-masing, siap mendengarkan. “Dua bulan terakhir gue bener-bener stress, frustasi. Terutama sebulan terakhir sih.” Binar memulai ceritanya. “Kenapa? Karena ortu Bima nyuruh lo ngerahasiain pernikahan kalian?” Januar mencoba menebak. Ia memang diceritakan oleh Binar soal permintaan ibu Bima itu. Binar menggeleng. “Jen, lo tahu kan gue putus sama Bima karena apa? Dan lo juga tahu kenapa gue mau jadi istri Bima?” Januar menelan ludah sekilas. “Iya.” “Ada satu hal yang nggak gue ceritain ke kalian, yaitu… gue pernah mimpi basah sama Bima.” “Hah?!” Hana dan Januar memekik bersamaan. “Jadi beneran cewek bisa mimpi basah, Bin?” tanya Januar heboh. “Bukan itu poinnya. Masalahnya adalah… gue pernah ngira pak Bima yang asli itu sebagai pak Bima yang ada di mimpi gue.” Binar menatap dua sahabatnya bergantian. Wajah Januar berubah pias. “Jangan bilang… lo pernah begituan sama pak Bima?” “Iya. Dan kita lupa pake pengaman. Lebih tepatnya, nggak kepikiran. Argh… gue mau nangis aja.” Binar merengek, memasang wajah melas. “Kenapa? Kamu takut hamil?” Hana yang bertanya, penasaran. Binar mengangguk lemah, mengusap ujung matanya. “Iya.” Tanpa ada yang menyadari, Januar mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dadanya memanas mendengar cerita Binar sejak tadi. Jantungnya serasa diremas. “Tapi bagus dong pak Bima bertanggung jawab nikahin kamu?” sahut Hana serius. “Iya. Tapi kayaknya gue nggak bakal betah hidup sama dia. Sifatnya bertolak belakang banget sama cowok idaman gue.” “Kok bisa? Kalian dulu kan pernah pacaran?” Hana mengernyit, bertanya bingung. “Soalnya dulu gue buta, yang kelihatan di mata gue cuma tampangnya yang ganteng banget itu.” Kamar hotel itu langsung dipenuhi tawa. “Eh, Bin, gue penasaran deh.” Tiba-tiba Januar memasang wajah serius. “Enak mana pak Bima yang di mimpi lo atau yang di kehidupan nyata?” Ia menaik-turunkan alisnya, tersenyum nakal. “Ya enak yang asli lah!” seru Binar cepat. “Dasar m***m!” Januar menimpuk Binar dengan bantal. “Dasar binal! Ganti aja nama lo jadi Binal, bener-bener otak lo isinya m***m doang!” omelnya kemudian. Binar berkelit cepat, berlindung di balik tubuh Hana. “Lo yang nanya ya, bencong!” “Jangan terlalu jujur juga, Binar!” semprot Januar kesal. “Gue tahu harga diri lo udah merosot sampe ke kaki, tapi minimal malu!” “Ck, ngomel mulu lo!” umpat Binar tak kalah kesal. “Lo m***m mulu! Dasar piktor!” Hana tertawa. Ia kewalahan berada di tengah-tengah antara Januar dan Binar yang bertengkar seperti anak kecil. “Sudah, sudah. Mending malam ini kita ngobrol yang seru-seru aja. Soal itu biar Binar obrolin sama suaminya. Makasih ya, Binar sudah mau jujur sama kita,” ucap Hana lembut. Dalam lingkar pertemanan mereka, Hana memang selalu menjadi penengah. Seperti menjadi ibu untuk Binar dan Januar yang kerap seperti Tom & Jerry versi manusia. Maka malam itu, tiga sahabat itu menghabiskan malam dengan membicarakan banyak hal. Tentang hari-hari mereka yang terlewat tanpa bertemu dan tentang nasib persahabatan mereka meski Binar telah menikah. Selamanya mereka akan tetap menjadi sahabat. *** Januar berjalan gontai di sepanjang lorong hotel. Binar dan Hana sudah tidur, ia memilih untuk keluar kamar. Pria itu butuh udara segar setelah mendengar cerita Binar. Januar ingat ada kolam renang di lantai dua, maka ia pergi ke sana. Sebenarnya ia ingin minum minuman beralkohol saja. Tapi tidak bisa, besok adalah hari pernikahan Binar dan Bima. “Pada akhirnya lo nikah sama mantan lo ya, Bin,” gumamnya sendu. Ia melangkah masuk ke dalam lift, bersandar di salah satu dindingnya, menatap pantulan dirinya di sana. “Dasar Bima sialan!” umpatnya kesal. Ia buru-buru keluar dari lift ketika pintunya terbuka. Ia butuh udara segar, dadanya bergemuruh marah. Membayangkan Binar disetubuhi oleh Bima membuatnya naik pitam. Sayangnya, niatnya untuk menghirup udara segar harus urung karena di kolam itu juga ada orang lain yang sedang duduk terpekur di kursi santai. Awalnya Januar ingin kembali, namun begitu menyadari siapa pria yang duduk di sana ia justru melangkah cepat menghampiri. “Heh!” serunya ketus. Bima, pria yang duduk terpekur di kursi santai itu mendongak. “Januar? Ada apa?” Januar menyambar kerah baju Bima, mencengkramnya erat. Ia menunduk, menatap tajam kedua netra Bima yang menyorot tenang. Januar benci ketenangan Bima itu. “Awas kalau sampai lo nyakitin Binar, gue nggak akan tinggal diam!” desisnya dengan d**a bergemuruh. Bima bergeming. Tatapannya masih tenang dan dalam. “Lo denger gue nggak sih?!” Januar menghardik kasar. “Saya tahu sejak dulu kamu menyukai Binar, tapi sayang sekali, sebentar lagi Binar akan menjadi istri saya. Dan apapun yang terjadi, saya nggak akan pernah melepaskannya,” tutur Bima dengan nada rendah yang mengintimidasi. Januar tertegun. Sementara Bima sudah menghempaskan tangan yang mencengkram kerahnya. Ia melirik Januar sekilas, lantas segera berlalu dari sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN