Bab 1. Mimpi Menjadi Nyata

1370 Kata
“Tunggu, tunggu!” Binar mengulurkan tangan kanannya, menahan gerakan pria yang kini tengah berlutut di antara kedua pahanya. Sementara tangan kirinya mencubit pipinya sendiri. “Ini bukan mimpi?” Ia berseru tak percaya. Sebelah alis Bima terangkat. “Mimpi?” Binar menelan ludah, tatapannya turun ke bawah. Nafasnya tertahan saat mendapati kejantanan Bima sudah siap melakukan tugasnya di sana. Bahkan kini tubuh mereka tak tertutup sehelai benang pun. “Aku sudah bilang, Binar, aku nggak bisa berhenti kalau sudah mulai.” Bima kembali memperingatkan. Keningnya berkerut, tak suka karena Binar mencegahnya menuntaskan permainan. “Dan ini semua terjadi karena kamu yang mulai,” desisnya dingin. “Tunggu! Tunggu!” Binar berseru panik. “Sudah terlambat, Binar.” *** Beberapa saat sebelumnya. “Apa, Pak? Kita tidur sekamar?” Binar Danastri, wanita berusia 27 tahun itu memekik tak percaya. “Jangan teriak-teriak, Binar. Jarak saya sama kamu nggak sampai dua meter, saya masih bisa dengar kamu meski kamu bicara pakai volume normal,” tukas pria berwajah datar dengan tubuh jangkungnya yang berdiri di hadapan Binar. “Iya, tapi masa sekamar sih, Pak?” Binar masih berusaha melayangkan protes. Ia berdiri gelisah. “Pak, kita ini perempuan dan laki-laki loh. Masa mau tidur sekamar?” “Kenapa? Kamu takut saya apa-apain? Nggak bakal, Binar. Nggak usah kepedean. Selama kita pacaran aja saya nggak pernah nyentuh kamu berlebihan.” Jiwatrisna Bimantara, atasan Binar yang berusia 32 tahun itu berkata ketus. Kemudian tanpa menunggu respons dari Binar, ia berbalik, melangkah menuju lift. “Bukan itu,” cicit Binar sambil melangkah mengekor si bos. Benar, masalahnya bukan pada si bos, melainkan pada diri Binar sendiri. Tiga bulan terakhir, Binar beberapa kali memimpikan dirinya sedang melakukan adegan panas dengan Bima –panggilan akrab Jiwatrisna Bimantara. Itu bermula setelah mereka putus tiga bulan lalu. Binar sampai frustasi dan tak bisa fokus bekerja karena adegan-adegan dalam mimpinya terus berkelebat dalam benaknya.. Rencananya, setelah perjalanan bisnis ini berakhir, Binar akan menyerahkan surat pengunduran diri. Ia pikir, mungkin mimpi erotisnya itu akan berakhir jika ia tak bertemu mantan sekaligus bosnya itu lagi. “Mau gimana lagi? Kamu sendiri yang salah pesan kamar.” Bima melirik Binar sinis. “Maaf, Pak. Bapak juga kenapa nggak konfirmasi dulu kalau mau ajak saya?” tukas Binar berani. “Sekarang kamu nyalahin saya? Berapa tahun kamu jadi sekretaris saya, jadi pacar saya, tapi nggak tahu kalau saya selalu bawa sekretaris atau asisten setiap kali perjalanan dinas?” Bima berkata tajam, setajam tatapannya yang menghunjam ke wajah Binar yang gelisah. “Pak, nggak usah diungkit-ungkit soal kita pernah pacaran. Kita cuma pacaran enam bulan.” Binar menyahut santai. Bima dan Binar memang hanya berpacaran selama enam bulan. Itu karena Binar tidak betah dengan sikap Bima yang kaku dan arogan, belum lagi prinsip pria itu yang tidak mau melakukan sentuhan berlebihan sebelum menikah. Binar masih ingat ketika Bima menolaknya mentah-mentah saat ia hendak mencium pipi pria itu. Rasa kesal dan malunya masih terasa sampai sekarang. “Jadi kamu nggak menghargai hubungan enam bulan kita itu?” sindir Bima. Binar menghela nafas. Ia sudah lelah setelah seharian bekerja dan masih harus menghadapi bosnya yang rewel dan arogan ini. “Lagian kok bisa sih gue dulu naksir cowok arogan ini?” keluhnya dalam hati. Beruntung, ia tak perlu menjawab sindiran itu karena kini pintu lift sudah terbuka. Binar melangkah lebih dulu ketika tiba di dekat pintu kamar hotel mereka, ia membukakan pintu untuk si bos. Binar merentangkan tangan, tersenyum manis. “Silakan masuk, Pak,” ucapnya ramah. Bima berdecak kecil, lalu melangkah melewati Binar. “Pak, karena kita akan tidur sekamar, kita harus tentukan pembagian wilayah masing-masing,” usul Binar ketika mereka berdua telah masuk ke dalam kamar bertipe presidential suite itu. “Atur aja, terserah kamu. Saya mau mandi, gerah.” Bima segera melangkah masuk ke dalam kamar tidur, tak memedulikan Binar yang sudah memasang wajah serius dan kini berubah jadi ternganga. *** Pukul dua belas malam, kamar hotel itu telah senyap. Binar memutuskan untuk tidur di sofa karena Bima tak kunjung keluar dari kamarnya. Ia yakin pria itu langsung tertidur setelah mandi. Wajar, mereka habis bekerja seharian di kantor Jakarta, lalu langsung bertolak ke Surabaya dan disambut meeting yang baru berakhir pukul sembilan malam tadi. Bima keluar dari kamarnya masih mengenakan handuk kimono. Benar dugaan Binar, ia ketiduran setelah mandi. “Ah, dia tidur di sofa.” Bima menggumam ketika mendapati Binar tidur meringkuk di sofa. Pria itu duduk di sofa sebelah, menatap wajah Binar yang tenang. Sudut bibir tipisnya terangkat. “Lucu banget kalau tidur, kayak bayi,” lirihnya. Bima berpindah duduk ke sisi Binar. Memandangi lebih dekat wajah sekretaris sekaligus mantan pacarnya itu. Tanpa sadar, tangannya terulur membelai pipi pualam Binar. “Kenapa nggak sabar banget sih? Baru juga enam bulan udah minta putus.” “Ehm….” Binar menggeliat, tidur terlentang. Tiba-tiba, kedua mata Binar terbuka. Ia menatap Bima lekat, mengerjap-ngerjap, lalu tersenyum. “Kamu datang lagi?” tanyanya lirih. “Hah?” Bima melongo, tak mengerti maksud pertanyaan Binar. “Maksud kamu apa?” “Kok tumben sih hari ini sok polos gini? Biasanya kan langsung gas.” Binar terkekeh. “Atau hari ini kamu pengen aku yang lebih agresif?” Bima semakin tak mengerti ucapan Binar. “Kamu ngigau, ya? Bangun, Binar.” Ia menepuk pipi Binar pelan. Binar langsung menangkap tangan Bima, menariknya kuat hingga tubuh mereka nyaris menempel. Binar tersenyum seduktif, tangannya membelai pipi Bima lembut. Bima menelan ludah. “Bin, jangan macem-ma—” Kalimat Bima terpotong karena kini bibirnya telah dibungkam oleh bibir Binar. Pria itu melotot kaget, lebih kaget lagi oleh ciuman yang kini telah berubah menjadi lumatan pada bibir bawahnya. Bima berusaha melepas ciuman mereka, namun gagal karena Binar telah mengalungkan lengan di lehernya. Beberapa detik yang sangat membingungkan, akhirnya tautan bibir mereka terlepas. Sepertinya Binar butuh bernafas karena kini ia tampak sedikit terengah. Wajah Binar memerah. Lalu tiba-tiba ia terkekeh lagi. “Kenapa hari ini jadi kaku kayak yang asli?” katanya. Kening Bima berkerut, ia semakin bingung. Namun belum sempat kebingungannya terjawab, Binar telah kembali menyerangnya. Binar kembali menempelkan bibirnya pada bibir sang pria, Bima masih sama terkejutnya. Bedanya, kali ini pertahanannya telah runtuh selapis demi selapis. Ia membalas ciuman itu mengikuti instingnya. Pergumulan itu semakin memanas. Ciuman mereka telah menjelma menjadi lumatan, sesapan, dan permainan lidah yang liar. Seolah tak ada yang mau menyia-nyiakan rasa manis dari bibir masing-masing. Tak hanya itu, Bima pun mulai bergerak aktif, menurunkan kepalanya, mencium leher jenjang Binar. “Ehm….” Binar melenguh kecil ketika sensasi geli menyerang lehernya. Bima mendongak. “Kamu yang mulai, Binar,” ucapnya dengan seringai tipis. Binar tersenyum. “Nggak apa-apa, aku suka. Lagi,” pintanya. Bima terbelalak, namun kemudian ia tertawa. Sekarang ia memutuskan mengikuti permainan. Karena ternyata ia suka saat melihat Binar mendesah keenakan karena ulahnya. Bima membuka kancing piyama Binar sambil terus menciumi leher dan bahu wanita itu. Ia menelan ludah gugup saat tubuh putih polos itu terpampang di depan wajahnya. “Aku bisa gila kalau gini, Binar,” keluh Bima sambil menyugar rambutnya kasar, nyaris kehilangan akal sehatnya. Bima merutuki dirinya dalam hati. Ia tak bisa melewatkan pemandangan seindah ini sia-sia. “Binar, aku nggak akan bisa berhenti kalau sudah mulai. Jadi aku tanya sekali lagi, kamu mau aku berhenti atau lanjut?” tanyanya sembari menciumi lengan Binar yang terulur memeluk lehernya. Binar terkekeh lagi. “Kenapa jadi izin segala sih sekarang? Lanjutkan aja, Bima.” Mendengar namanya disebut dengan amat jelas oleh Binar, tak ada lagi kewarasan yang tersisa sekarang. Bima melepas handuk kimononya dengan mudah, membiarkan tubuh atletisnya terekspos. “Kamu sengaja kan pake itu biar gampang lepasinnya?” tanya Binar sambil menyentuh dada bidang Bima dengan gerakan sensual. Bima tak menjawab, ia kembali menciumi permukaan kulit Binar. Membuat wanita itu terus mendesahkan namanya. Namun saat gairah sudah mencapai ubun-ubun, ketika milik Bima sudah siap melesak masuk ke tubuh Binar, tiba-tiba wanita yang terbaring di bawahnya itu terbelalak. Tangannya terulur, menahan tubuh Bima agar menghentikan gerakan. “Tunggu, tunggu!” Binar berseru panik. “Ini bukan mimpi?” “Mimpi? Kamu pernah bermimpi kita melakukan ini?” “Astaga!” Binar menutup mulutnya dengan tangan, menatap Bima ngeri. Sayangnya, sudah terlambat untuk menyadari bahwa semua ini adalah kenyataan, bukan mimpi seperti yang pernah Binar alami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN