Juna terjaga sekitar jam setengah tiga pagi, ada sesuatu yang mengganggu hatinya hingga membuat tidurnya tidak lelap.
Dia melirik ke arah putrinya yang masih begitu pulas, benar kata Sheya, Anas tidak akan terbangun di tengah malam lagi.
Tidak ada lagi drama kelaparan tengah malam, dan Juna juga menyadari, meskipun cemilan di tengah malam bukanlah hal yang buruk, tapi lebih baik jika Anas bisa tertidur lelap tanpa terganggu oleh rasa lapar, yang jika dipikir-pikir, akan mengganggu konsentrasi putrinya itu di sekolah karena rasa kantuk yang mungkin datang.
Bukankah seharusnya Juna berterima kasih karena Sheya berhasil membuat kualitas tidur Anas menjadi lebih baik?
Tapi, mana mungkin dia mengatakannya dengan gamblang. Tidak akan dia lakukan. Toh, Sheya setuju menikah dengannya hingga mengajukan beberapa persyaratan itu tanpa paksaan siapa pun, apalagi paksaan darinya.
Entah keuntungan apa yang didapatkan wanita itu dengan setuju menikah apalagi sampai mau menjadi istri kedua, sesungguhnya hingga saat ini Juna juga tidak habis pikir, namun dia juga tidak peduli.
Apa pun urusan Sheya sehingga mau menikah dan menjadi istri kedua, selama wanita itu bisa membuat putrinya bahagia maka Juna tidak akan mengambil pusing.
Namun, baru pertama kali dia menginap, setelah tiga minggu dia tinggal terpisah dengan sang putri, kehadiran Sheya justru sangat mengusiknya bahkan sejak semalam.
Saat mereka berinteraksi di dapur dengan pertanyaan konyol Sheya yang mempertanyakan keberadaannya di rumah miliknya sendiri.
Lalu malam ini, saat Anas meminta tidur bersama-sama, wanita itu yang awalnya terlihat sehat wal’afiat tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat dan mual-mual.
Tiba-tiba wajah Juna berubah pucat menyadari satu hal.
Jangan-jangan, wanita itu sudah hamil sebelum menikah dengannya? Sehingga mau menjadi istri kedua?
Memikirkan itu membuat Juna langsung mengusap wajahnya kasar. Apa artinya mereka saling memanfaatkan?
Sheya bersedia mengasuh putri yang bukan darah dagingnya, lalu Juna juga harus mau mengakui bayi yang ada dalam kandungan Sheya sebagai anaknya?
Dia yang akan menjadi Ayah yang diakui secara sah, kan, jika Sheya benar-benar hamil entah dengan siapa?
Wanita itu, apakah seorang rubah licik yang berlindung dibalik hijabnya hingga terlihat seperti perempuan baik-baik dan alim?
Memikirkan itu membuat wajah Juna mengeras dengan helaan napas yang panjang.
***
Jika biasanya Sheya tidak memiliki kesulitan untuk bisa tidur di malam hari, namun kali ini dia mengalaminya.
Dia terus meringkuk dengan tubuh yang memeluk dirinya sendiri saat kenangan-kenangan di masa lalu itu terus mengusik kepalanya dan menimbulkan suara yang berisik.
Air matanya jatuh begitu saja, dan kini dia merindukan ayah kandungnya, yang keadaannya sudah tidak lagi sama karena terus ditempa badai kehidupan dan usia. Beliau adalah satu-satunya sosok tempat dia mengadu sekaligus sandaran hidup yang dia miliki.
“Ayah.” Bisik Sheya lagi, kenyataannya, dia pun hanyalah seorang anak perempuan yang akan selalu menjadi putri ayahnya, yang rindu dan bisa merasa tenang saat berada di dekat, dan dalam dekap sang ayah.
Semenjak dia mengalami pemerkosaan oleh ayah tirinya itu, tepatnya tidak lama setelah Sheya lulus SMA, hidupnya seolah berhenti selama dua tahun, dia butuh menghabiskan ratusan hari untuk akhirnya bisa kembali ‘hidup’ dan menjalani kehidupannya.
Hanya ayahnya yang membuat dia akhirnya mau mencoba kembali menghadapi kehidupan yang sudah terasa mengerikan.
Segala hal yang telah ayahnya korbankan membuat Sheya akhirnya pelan-pelan berhasil menjalani kehidupannya dengan baik, dia berhasil menjadi wanita yang mampu mengendalikan dirinya dengan bersikap tenang.
Semenjak itu, Sheya sadar, hasrat untuk jatuh cinta dan dicintai tidak ada lagi dalam dirinya, dan sedikit pun, dia tidak memiliki keinginan untuk menikah dalam hidupnya.
Dia sangat menyukai anak-anak, bahkan semenjak SMP dia sudah rutin datang ke salah satu panti asuhan untuk bermain bersama anak-anak panti di sana,
Bukan hanya bermain, Sheya juga sering membelikan mereka jajan dari uang saku yang dia tabung setiap harinya, supaya dia bisa berbagi kebahagiaan melalui hal kecil pada anak-anak malang yang kurang beruntung karena sejak kecil tidak memiliki orang tua itu.
Baginya, senyum anak-anak itu adalah senyum paling murni, karena senyum mereka selalu tulus dan tidak ada kebohongan, mereka tertawa karena bahagia, bukan pura-pura bahagia seperti yang biasa dilakukan oleh orang dewasa.
Hingga, setelah dia akhirnya berhasil menata kembali hidupnya, Sheya langsung teringat dengan ketenangan hati yang dia dapatkan saat sering mengunjungi panti asuhan di usia remajanya, sebelum badai kehidupan datang menerpanya.
Setelah hidupnya diterpa oleh badai dan menjadi luluh lantak, yang diingat oleh sang hati hingga dia mendapat ketenangan itu adalah senyum dari tawa anak-anak yang tidak berdosa dan selalu terlihat tulus itu.
Itulah yang membuatnya memutuskan untuk menjadi guru, untuk bisa setiap harinya bercengkrama dengan anak-anak dan bisa menjadi alasan dari tawa anak-anak tak berdosa yang begitu murni itu.
Termasuk tawa Sera, jangankan tawa, tatapannya saja sukses menghipnotis Sheya untuk merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Ada yang berbeda dari tatapan anak perempuan itu, Sheya tau, sehingga Sheya ingin mengenalnya lebih jauh, lebih jauh dari pada anak-anak didiknya yang lain.
Seperti perasaannya yang mudah tersentuh jika melihat tawa anak-anak didiknya, perasaan Sheya juga mudah terluka, dia ikut merasakan sakit jika salah satu dari mereka juga terluka, entah terluka karena jatuh saat bermain, atau menangis saat mengadu kesedihan mereka kepadanya.
Hingga Sheya tau, perasaannya pada Sera berkembang terlalu jauh, dia sangat menyayangi anak perempuan itu, perasaan yang tumbuh begitu mudah dan subur hingga hatinya bermekaran karena bahagia bisa melihat tawanya lagi setelah dua bulan dia mengenal Sera.
Lalu, semuanya berubah saat Sera menceritakan tentang ketakutannya, untuk pertama kalinya, anak perempuan itu menangis namun tatapannya mengandung harapan yang begitu dalam. Harapan, supaya Sheya bisa menjadi ibunya.
Itu adalah awal dari bagaimana Sheya terseret sangat jauh pada kehidupan Sera, hingga melibatkan Ayah kandungnya, yang membuat Sheya mantap melanggar prinsipnya tentang sebuah pernikahan.
Ini tentang kebahagiaan Sera dan keselamatan Ayahnya, kedua hal itu adalah sesuatu yang membuat Sheya akhirnya rela mengambil langkah berani dengan sebuah pernikahan, sekali pun dia harus menjadi istri kedua.
Segala kenangan yang menuntunnya pada sebuah pernikahannya dengan suaminya itu, malam ini menjadi pengantar tidur yang sempurna untuknya.
Nyatanya, Sheya hanya bisa terlelap sejenak di malam itu, dia terjaga pukul dua pagi seperti biasa, seolah tubuhnya sudah memiliki alarm otomatis yang membuatnya bangun sekitar jam dua pagi.
Sheya bergegas ke kamar mandi dan mengambil wudhu, menjalankan rutinitas ibadah malamnya seperti biasa sebelum pergi ke dapur untuk memulai aktivitas hariannya.
Langkahnya begitu pelan menuruni tangga, sesungguhnya ingin mengecek keadaan Sera seperti biasa, namun urung dia lakukan mengingat malam ini Sera tidur di kamar ayahnya. Sera pasti aman dalam pelukan sang ayah.
Dia mengambil gelas dan menuju ke dispenser, tenggorokannya terasa haus seperti biasa setiap bangun tidur.
Suasana terasa sunyi dan hening, suasana yang selalu Sheya sukai, di sepertiga malam, hanya ada suara gemersik angin dari luar saat Sheya membuka pintu belakang atau membuka jendela dapur hanya untuk menikmati gemersik suara angin itu.
Hingga suara yang dingin itu mengejutkan Sheya yang sedang menikmati suasana favoritnya.
Pertanyaan dengan nada menuduh itu terdengar sangat mencekam.
“Kamu hamil?”
Tau-tau Juna sudah ada di belakangnya, sama persis seperti kemarin malam. Di detik Juna melemparkan pertanyaan itu, dia bisa melihat tubuh Sheya yang berjengit kaget dan gelas ditangannya langsung terlepas hingga airnya langsung membasahi lantai.
“Astaghfirullah, Mas. Bisa tidak, si, jangan mengagetkan seperti ini?” Sheya menarik napasnya panjang.
Kejadiannya sama persis seperti kemarin, gelas yang berisi air itu tumpah dan airnya kemana-mana.
Namun, Juna tidak peduli, dia hanya ingin menanyakan apa yang mengganjal di pikirannya tentang keadaan Sheya.
“Aku tanya, kamu hamil?”
Kini nada suara Juna terdengar menutut, dan itu membuat Sheya menghentikan kegiatannya yang sedang mengelap lantai dengan kain pel.
Tatapannya langsung menatap Juna dengan penuh kebingungan.
“Siapa yang menghamiliku?” Sheya justru menanyakan pertanyaan balik, dia tetap terlihat tenang walau perutnya mulai bergejolak mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya.
Mudah sekali mulutnya mengeluarkan kalimat mengerikan seperti itu padahal hatinya bergejolak hebat, namun Sheya hanya ingin melatih dirinya untuk bisa lebih mampu mengendalikan diri dan tenang, terutama di depan suaminya itu.
Jawaban Sheya yang berupa pertanyaan justru membuat Juna langsung mendecak keras dengan tatapan yang mengintimidasi.
“Aku tidak hamil. Semalam benar-benar masuk angin, Mas. Jangan khawatir, aku tidak mungkin melakukan hal yang sama seperti apa yang aku lakukan pada Mas.”
“Maksud kamu?”
“Ya maksudnya siapa tau kamu berpikir aku sudah hamil duluan sebelum menikah dengan kamu dan menuntut kamu mengakui anakku supaya memiliki status secara hukum, sama seperti yang aku minta tentang Sera.”
Sheya memilih langsung beranjak keluar dari dapur, jantungnya semakin berdegup keras, napasnya kembali terasa sesak.
Semenjak pria itu ada di sini kemarin malam, Sheya merasa terlalu banyak berinteraksi dengannya, dan itu mengguncang kotak pandora yang tersimpan di dasar hatinya.
Sheya belum siap untuk menghadapi luka-luka dan ketakutannya lagi, maka dia memilih untuk menghindar sebaik mungkin walau dia juga mencoba menunjukkan ketenangannya sebaik mungkin.
Sedang Juna di tempatnya hanya bisa menganga dengan jawaban wanita yang lagi-lagi langsung melengos padahal obrolan di antara mereka belum selesai.
Wanita itu, bagaimana bisa memahami isi kepalanya dengan baik? Bisa-bisanya wanita itu mengacaukan pikirannya dengan kelakuannya yang diluar prediksi itu.
Dan saat Juna berbalik, dia bisa melihat jika Sheya tersandung karpet, bahkan sampai mengangkat kakinya dan mengusap-usapnya sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
Raut tenangnya tadi, apakah hanya kamuflase? Bagaimana seseorang yang tenang bisa begitu ceroboh dengan tidak memperhatikan langkah kakinya?
Yang Juna lihat setelahnya, Sheya menuju ke pintu belakang, lagi-lagi tindak-tanduknya benar-benar mengejutkan Juna.
Orang gila mana, yang melakukan pekerjaan rumah dengan sibuk di taman belakang jam tiga pagi? Apa-apaan si wanita itu?
Langkah Juna terlihat panjang-panjang menyusul Sheya, saat dia membuka pintu belakang, dia merasakan terpaan angin yang cukup dingin menyapu wajahnya.
Dilihatnya Sheya yang sedang menyalakan keran air untuk menyiram tanaman. Lalu, wanita itu bergerak melepaskan selang airnya supaya bisa menjangkau lebih jauh dan membuat wanita itu bergerak lebih leluasa untuk menyiram tanaman.
“Apa yang kamu lakukan, si?! Jangan gila. Ini masih jam tiga pagi! Tidak ada waktu lain untuk menyiram tanaman?! Udara masih dingin!” Ucap Juna yang terlihat menyimpan amarahnya.
Dia mematikan kran air yang tadi sudah dihidupkan Sheya, lalu dia menghampiri wanita itu dan tangannya langsung mencengkram tangan Sheya dan menariknya untuk masuk.
Sheya sendiri terkejut bukan main, terlalu shock dan langsung gelagapan saat tau-tau Juna mencengkram lengannya bahkan menyeretnya untuk kembali masuk.
“Mas yang apa-apaan?! Lepas! Mas mengganggu pekerjaanku!” Teriak Sheya di malam yang hening itu.
Alih-alih kembali ke kamar, Sheya hanya ingin merasakan perasaan damai dan sejuk yang selalu dia sukai di waktu-waktu menjelang subuh seperti ini.
Lagi pula udaranya juga bagus dan cuaca tidak dingin, dari pada dia masuk ke kamar dan justru kembali teringat hal-hal yang menyakitkan. Sheya memilih menyiram tanaman saja di belakang sebagai bentuk terapi untuk menenangkan dirinya.
Napas Sheya memburu, ini terlalu berbahaya, dia sengaja menghindar ke taman belakang supaya tidak satu ruangan dengan Juna.
Baru sehari pria itu tinggal di rumah tapi alarm bahaya di kepala Sheya terus berdenging dan membuatnya pusing. Apalagi pria itu tadi langsung mencekal lengannya tanpa pikir panjang, sedang Sheya di tempatnya langsung pening dengan perut yang kembali terasa mual.
“Jika kamu sakit. Anas yang kasihan! Pikirkan Anas, bukan hanya diri kamu sendiri. Masuk kamar sekarang! Ini weekend, tidak perlu pagi-pagi buta mengerjakan pekerjaan rumah!” Titah Juna dengan nada yang tegas tidak ingin dibantah.
Sheya yang sudah akan bersuara langsung bungkam, entah kenapa dia justru melihat Juna seperti seorang suami yang sedang memarahi istrinya. Tapi, memang seperti itu, kan?
Sheya yang sudah tidak tahan terus berinteraksi dengan Juna memilih langsung naik kembali ke lantai atas, dia menekan dadanya yang terasa berdebar kencang.
Satu dari beberapa hal yang mendorongnya setuju menikah dengan Juna adalah karena dia yakin, pernikahannya ini bukan pernikahan seperti pada umumnya yang saling berkasih-sayang.
Apalagi saat Arjuna menyetujui tentang permintaan rumah dan tinggal terpisah dari keluarga pria itu. Saat itu Sheya yakin, pria itu tidak akan mengusik hidupnya, dia datang hanya untuk Sera, dan saat Sera sedang bersama Juna, Sheya akan menghindar sejauh mungkin.
Sehingga, Sheya berani mengambil langkah gila untuk menikah, karena dia yakin tidak akan ada skinship yang membuatnya ketakutan hingga luka dan traumanya kembali muncul.
Tapi, apa-apaan ini? Baru satu hari pria itu menginap, dia terus bersinggungan dengan Juna, saat mereka hanya berdua, dalam keadaan yang sangat sepi, di pagi menjelang subuh, dengan tangan pria itu begitu mudah menyentuhnya.
Baru sehari Juna tinggal bersamanya dan Sera, pria itu sudah berhasil mengguncang kotak pandora di hati Sheya hingga semua isinya bermunculan dan membuat hidup Sheya mulai tidak tenang.