12. Muak Melihat Kalian!

1269 Kata
Hari sudah menjelang sore ketika kami kembali ke rumah. Kuamati wanita yang sedang mengelap jendela rumah kami. “Kau bukan Maria.” Tanyaku. “Dimana dia?” Kami memang tidak pernah memperkerjakan pengurus rumah yang menginap dengan alasan privasi dan keamanan. Bastian yang mengecek keluar masuknya pelayan rumah tangga ku selama ini. Ia juga yang mengenalkanku pada Maria tahunan yang lalu. Aku menoleh mencari Bastian hendak menanyakan keberadaan Maria, tapi pria itu tidak nampak batang hidungnya. Mungkin tertidur di pos jaganya di depan rumah. “Maaf Nona, Maria ijin tidak masuk hari ini jadi saya menggantikannya untuk sementara. Saya Inez.” Jawab wanita itu sambil menunduk. “Oh..baiklah. Bastian yang membawamu kemari?” tanyaku lagi. Inez mengangguk. Aku berjalan masuk menghampiri Tomas yang kini sudah duduk di sofa sambil memegang sebotol bir di tangan kanannya dan remote tv di tangan kirinya. “Maria tidak bekerja hari ini. Apakah sesuatu terjadi padanya karena pertemuan kita dan Vito?” ucapku khawatir. “Entahlah, Red. Setelah kejadian dengan suaminya aku tidak yakin Maria masih ingin kembali bekerja disini,” jawab Tomas. “Karena aku..?” ucapku pelan. Sedikit rasa bersalah muncul di benakku. Jika saja aku tidak ikut campur masalah Maria dan keluarganya. Jika saja aku mengikuti peringatan Tomas untuk tidak melewati batas wilayah Utara dan Selatan. Tomas menoleh ke arahku yang masih tidak bergerak dari belakang sofa. Tangannya terulur mengelus lenganku yang tersandar pada punggung sofa. “Semua ini bukan salahmu. Kau hanya mencoba untuk menolong wanita itu dari kekerasan suaminya. Mungkin cara yang kau tempuh agak diluar apa yang orang normal lakukan, tapi niatmu adalah menolong.” Ucapan Tomas tidak mampu menghiburku. “Aku kekamar dulu. Aku lelah, kurasa aku akan mencoba istirahat. Kau keluar malam ini?” tanyaku berharap Tomas menggeleng. “Uhm…Aku berjanji untuk menjemput Ada-Mae dari Club malam ini. Kau mau ikut?” Aku menggeleng. Tubuhku tiba tiba terasa lemas sekali. Hanya satu hal yang ingin kulakukan sekarang. Tidur dan bila beruntung, tidak terbangun lagi. *** Sayangnya sekitar jam 2 malam aku terbangun oleh suara berisik diluar. Perlahan aku merayap turun dari ranjang dan membuka pintuku yang langsung menghadap ke arah ruang tengah. Suasana di dalam rumah sudah gelap. Hanya lampu dari teras yang menerangi ruangan. Tapi dalam keremangan bisa kukenali tubuh kekar Tomas yang menindih Ada-Mae diatas sofa. Bibirnya melumat bibir gadis itu seakan sedang menikmati sesuatu yang belum pernah dirasakannya. Telapak tangan lebar yang dipakainya untuk mengelus bibirku tadi siang, kini sedang meraba paha Ada-Mae, menyingkap rok gadis itu hingga ke atas. Meremas pinggangnya sambil menyelipkan celana dalam berenda gadis itu turun. Sementara, tangan gadis itu juga dengan tidak sabarnya melepaskan kancing-kancing kemeja yang dipakai adikku. Sadar apa yang kusaksikan, aku buru buru masuk kembali ke dalam kamarku dan menutup pintuku rapat rapat. Samar-samar bisa kudengar suara Ada-Mae tertawa tertahan sambil berbisik, “Tomas..stop..kau akan membuatku menjerit dan membangunkan kakak mu. Bagaimana kalau kau melanjutkan hal itu di kamar?” Dadaku berdesir mendengarnya. Aku pasti tidak sadar telah mencengkeram lenganku sendiri kuat kuat karena kini aku merasa sesuatu yang pedih di lengan kiriku. Kulepaskan cengkeraman ku yang langsung menjiplak bekas kuku di lenganku dan berjalan menuju ranjangku perlahan. Bisa kurasakan lagi lava panas yang mulai meletup letup di dalam perutku, menunggu untuk naik dan meluap. Ku tarik nafasku dalam-dalam, berusaha menekannya kembali turun. Tapi kini rasa panas itu malah melompat naik ke wajahku. Membuat pandanganku mendadak menjadi buram karena kumpulan air yang tergenang di pelupuk mataku. Apa?! Kuusap pelan air mata yang meluncur di pipiku. Mengapa aku sekarang menangisi hal ini? Sejak menyaksikan kematian kedua orang tuaku, aku tidak pernah lagi membiarkan diriku meneteskan air mata. Tidak ketika anak-anak panti asuhan mengeroyokku dan menghajarku karena mengambil jatah makanan yang lebih banyak. Tidak ketika penjaga toko memakiku dan menendangku karena kedapatan mencuri sebatang coklat yang diinginkan Tomas. Tidak juga ketika aku dikeluarkan dari sekolahan karena melakukan penyerangan pada seorang guru yang berniat mengambil keuntungan dariku. Bagaimana mungkin hanya melihat Tomas mencintai wanita lain menyakiti diriku hingga sedemikian rupa? Aku tidak suka perasaan ini, teriakku dalam kepala. Ada-Mae perlu pergi dari hidupku dan Tomas!, putusku. Aku berusaha mendengar suara Tomas dan Ada di luar. Tapi sepertinya mereka sudah masuk ke kamar Tomas yang ada di belakang. Kuraih  tas kecilku dan kukeluarkan sekotak rokok dan korek sebelum berjalan keluar menuju teras. Duduk termenung, kuhabiskan beberapa batang rokok sambil berpikir di teras. Hingga langit timur mulai berubah menjadi oranye. Ku lirik jam dinding di dalam ruang tengah yang terlihat dari tempatku duduk di teras. Sudah jam 5 pagi. Kuputuskan untuk melakukan hal yang biasa kulakukan ketika aku suntuk, berlari. Aku bangkit berdiri dan berjalan kembali ke kamarku, mengganti pakaianku dengan kaos dan celana lari. Memasang sepatu di kakiku dan berjalan keluar. Dengan earphone terpasang di telingaku diikuti dentuman musik mengalun, kususuri deretan pepohonan yang menaungi rumah-rumah mewah di sekeliling komplek rumah ku. Merasakan hembusan segar udara pagi di wajahku sementara otakku berputar, berusaha memikirkan cara terbaik untuk menyingkirkan wanita itu tanpa menyakiti Tomas. Hembusan nafasku yang teratur mengikuti irama ayunan kakiku yang menyentak aspal. Aku bisa menawarkan uang padanya. Lagi pula, aku yakin itulah yang diinginkannya bukan?, pikirku memutuskan sambil berlari kembali menuju rumah, merasa sudah menemukan jalan keluar. Kudorong pintu depan terbuka sebelum melangkah masuk. Aku sedang berdiri di depan kulkas mencari air minum tepat ketika Ada-Mae muncul di sisiku. “Pagi, Luce,” sapanya ceria. Aku menoleh ke arahnya. Gadis 19 tahun itu sedang membuka lemari mencari kopi. Hanya memakai kemeja kedodoran milik Tomas,seperti biasa wajahnya terlihat segar walaupun sepertinya baru saja terbangun. Kuambil botol air putih dari kulkas dan menutupnya. “Ada-Mae, Tomas masih tidur?” tanyaku. Gadis itu mengangguk. “Hm..kebetulan aku perlu berbicara denganmu,” ucapku membuatnya menoleh dan memandangiku dengan mata bulatnya yang besar. “Oh? Ada apa Luce?” “Uhm..Tidak ada cara yang tepat, jadi aku akan langsung mengucapkannya saja. Aku ingin kau pergi dari hidup Tomas. Dari Gremlin,” semburku dalam sekali nafas. Kulihat mata bulat Ada-Mae terlihat terbelalak makin membulat, memenuhi wajahnya. “Kenapa?” tanyanya singkat. “Aku tidak yakin kau tepat untuk adikku. Kami berencana untuk melebarkan sayap sampai ke kota Metro. Akan susah dilakukan jika Tomas memiliki kekasih yang bisa di gunakan untuk mengancamnya. Aku bisa membayarmu berapapun yang kamu mau untuk memulai hidup di kota baru. Asalkan kau—“ “Red!” bentak Tomas tiba tiba muncul dari kamarnya. “Apa yang kau lakukan? Mengapa kau menawarkan uang untuk Ada-Mae?” tanyanya menghampiriku. Berdiri diantara aku dan kekasihnya. Ugh! Kenapa dirinya selalu muncul ketika aku sedang mengancam Ada-Mae?!?, umpatku dalam hati.  Mereka seakan memiliki ilmu telepati atau berasal dari satu otak. Tidak punya alasan untuk berkelit, ku sampaikan uneg-unegku. “Kau dengar alasanku. Gadis ini hanya memperlambat jalan kita menuju Metro. Akan lebih mudah bagi semua orang jika kau berpisah dengannya dan fokus ke tujuan kita.” Jawabku dengan nada suara mulai meninggi kesal akan Tomas yang selalu membela Ada-Mae. Tomas menoleh ke arah kekasihnya yang kini mengkerut di belakang tubuhnya. “Apakah kau ingin meninggalkanku?” tanyanya ke arah Ada-Mae yang langsung menggeleng. Tomas membelai pipi gadis itu berusaha menenangkannya. “Aku juga tidak ingin kau pergi, Ada.” “UGHHH!!! BRENG*SEK!” jeritku mulai frustasi. Kulempar botol air yang masih kupegang ke arah Tomas dan Ada-Mae. Rupanya tidak tertutup rapat, botol itu menabrak ujung lemari dan tumpah ke lantai disekitar kaki Tomas. Membuat Ada-Mae menjerit kecil.  “TIDAK ADA YANG INGIN PERGI DARI RUMAH INI!?! BAIKLAH!!! AKU SAJA YANG PERGI!!! AKU SUDAH MUAK MELIHAT KALIAN BERDUA!” Tanpa berganti baju, kuraih kunci mobilku dan berjalan marah keluar sambil membanting pintu depan. Kukendarai mobilku kencang menuju selatan kota.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN