“Kamu?”
Berjam-jam lamanya Lolita memikirkan satu kata yang telinganya dengar dari mulut Adnan.
Ia tidak salah. Telinganya sangat sehat. Ketua BEM yang menyakiti hati dan harga dirinya itu, memang menggunakan panggilan yang berbeda siang tadi.
Alih-alih lo, Adnan menyebutkan kata kamu.
KAMU!!!
Seakan-akan mereka saling mengenal dekat, lebih dari fans dan idolanya.
“Argh! Babik! Apa sih maksudnya tuh laki?!” Kesal Lolita sembari mendudukkan dirinya di atas ranjang.
Lolita menggigit bibir bagian bawahnya. Ia sungguh ingin bercerita tentang tingkah aneh Adnan pada Melisa. Namun ia takut membuat sahabatnya emosi, seperti dirinya sekarang ini.
Ia harus tenang. Mungkin saat itu Adnan sedang kerasukan makhluk halus di rumahnya.
Yah, pasti seperti itu.
Saking sayangnya mereka, mereka mencoba mengganggu Adnan. Satu-satunya manusia yang menyakiti hati si pemilik rumah, tempat mereka berdiam.
Hampir sinting rasanya Lolita, karena memikirkan ucapan mantan cemcemannya. Tidakkah laki-laki itu menginginkan kedamaian. Seharusnya dia tak usah membuka mulut, apalagi melakukan interaksi.
Permusuhan ini— bukan kah dia yang menginginkannya?!
“Tauk ah! Gila gue! Mending gue bocan aja!”
Lolita berharap dengan tidur sejenak, ia dapat melupakan apa yang terjadi hari ini. Setelah ia tebangun nanti, bayang-bayang si manusia durjana akan menghilang.
Lenyap dimakan zombie!
Namun…
“Astagfirullah..”
Adnan menarik lengan Lolita, setengah menyeretnya untuk memasuki rumah gadis itu.
“Sebentar Yah, Bu!” Ucap Adnan kepada ayahnya yang memalingkan wajah, lalu menutup pintu rumah Lolita.
“Aku kan udah bilang, jangan pakai pakaian begini kalau keluar dari kamar. Kamu nggak denger tadi aku ngomong apa?”
Wait!
Otak Lolita sedikit susah untuk mencerna semua yang terjadi.
Bel rumahnya dipencet oleh seseorang – ART yang membukakan pintu berkata jika tamu yang datang mencarinya – ketika dirinya keluar ada Adnan, ibunya dan satu laki-laki dewasa yang tidak Lolita kenali – adegan selanjutnya..
Berulang kali Lolita mengerjapkan matanya. Ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri.
“Kayaknya gue masih tidur deh ini.” Gumam Lolita, merasa bahwa apa yang baru saja dirinya lihat tidaklah nyata.
“Lolita!” Sentak Adnan sembari mengguncang tubuh Lolita pelan. “Hey! Sadar! Kamu nggak lagi mimpi. Aku kesini bawa orang tua buat ngelamar kamu.”
“What?”
“Mas Adnan! Kamu keluar dulu! Lolita nggak dalam keadaan siap untuk menerima kita! Mas Adnan!”
Panggilan tersebut menggema sebagai sebuah peringatan yang terlontar dari mulut ayah Adnan. Lolita jelas memang tidak dalam kondisi yang dapat dilihat, khususnya bagi para lelaki meski dirinya tak berhijab.
“Ganti pakaian kamu selagi Mbak kamu manggil Om dan Tante. Aku keluar dulu.” Ucap Adnan lalu keluar dan menutup kembali pintu utama rumah Lolita.
Baru sesaat batang hidung Adnan menghilang, suara jeritan seseorang menggema menyadarkan Lolita.
“Loliiii!!! Jangan bilang kamu buka pintu pake pakaian begitu?”
Lolita tak menanggapi kalimat tanya maminya. Gadis itu meraih tangan sang mami, menempatkannya pada salah satu pipinya. “Mi! Tabok Mi! Masa Loli tidur sambil jalan sih!” Pintanya, yang meyakini jika kehadiran Adnan tadi memanglah sebuah bunga tidur, yang tak sengaja datang ke alam mimpinya.
“Apa sih kamu?! Mbak, tarik ini bocah! Mandiin, terus pakaiin baju yang bagus!”
Ketika dirinya pulang tadi, Argam membawa masuk seorang pemuda ke kamarnya. Pemuda itu mengaku sebagai sosok yang selama ini diidolakan oleh putrinya.
Sang suami yang menanyakan keseriusan pemuda itu lalu memberikan tantangan. Meminta pemuda itu membawa orang tuanya untuk meminang putri mereka.
Di dalam sebuah hubungan, tahap tertinggi keseriusan tentu adalah pernikahan. Tapi siapa sangka jika teman kuliah Adnan itu memiliki nyali yang besar atas keseriusannya.
*
Ngang-Nging-Ngung!
Semua kalimat yang dilontarkan oleh orang-orang disekitarnya, terdengar seperti suara serangga yang terbang ditelinga Lolita.
Lolita pusing, ingin pingsan, tapi tubuhnya tak bisa diajak kerjasama.
Hari sabtu ini pastilah merupakan hari sialnya. Di siang hari dirinya bertemu dengan Adnan, begitu pun menjelang malam. Tak tanggung-tanggung sialnya, si manusia b******k itu bahkan membawa serta orang tuanya.
Ber-was-hewes membicarakan sebuah pernikahan.
Tolong!!
Jelaskan padanya, sinema komedi mana yang tengah mengincar kedamaian hidupnya?!
Ia sudah susah payah meniti satu demi satu kewarasannya setelah penolakan kejam laki-laki yang dilakukan oleh pemuda itu. Lalu, tanpa permisi dia melakukan peminangan?!
“HIYAA!!” Teriak Lolita, menyela pembicaraan yang ada.
“Stop! Stoop!!”
“Kamera disebelah mana? Loli mau lambai tangan!!”
“Di depan rumah ada CCTV. Sana kamu lambaiin tangan disana!” Sahut mami Lolita.
“Ayo Abang anter, Lol! Sekalian Abang ceritain sesuatu.”
Argam membawa sang adik untuk keluar. Ia tahu jika adiknya kebingungan.
“Bang, ini apaan sebenernya? Loli ngelag nih.”
“Lo nggak suka, Adnan dateng ngelamar?”
Lolita bungkam. Dirinya bukan tidak suka. Bisa bersama Adnan merupakan angan-angannya, tapi itu dulu.
Adnan telah berucap jika pemuda itu memiliki sosok yang dirinya sukai. Belum satu bulan berlalu sejak pernyataan yang dilontarkannya, lalu dia datang membawa kedua orang tuanya ke rumah.
Siapa pun jika berada di posisinya pasti akan seperti ini. Tidak mati terkena serangan jantung saja, sudah merupakan keberuntungan.
“Abang, Mami sama Papi awalnya juga nggak nyangka, Lol. Siang tadi abis ngerjain tugas, dia ngajak Abang ngobrol. Tau-tau ya gini.”
“April Mop nggak sih ini, Bang?”
“Nanti lo tanya aja ke orangnya. Abis ini katanya mau ngajak lo hang out sambil beli cincin.”
The f**k!!
Semakin membingungkan saja jalan cerita hidupnya.
Lamaran, membeli cincin. Nanti apa lagi?!
Ditinggalkan pas sedang sayang-sayangnya?!
“Tuh bocahnya..” Argam mengkode sang adik melalui ekor matanya. Ia lalu bangkit, “Abang masuk dulu ke dalem.”
Kursi yang Argam tinggalkan, kini terisi oleh Adnan. Pemuda itu duduk tenang sembari menatap Lolita yang menghindari dirinya.
“Kamu ada rekomendasi, pengen beli cincin dimana?”
“Bacot! Diem lo, Bang!” Sergap Lolita, galak.
Adnan pun menghela napasnya. Ia sendiri sebenarnya tak mengetahui pasti, tentang apa yang membuatnya melangkah sejauh ini.
Mungkin saat dirinya diam-diam bersembunyi dibelakang pohon waktu itu. Mungkin juga saat secara tak sengaja dirinya melihat Lolita berkumpul dengan beberapa pria di kampus.
atau yang terbaru, mungkin karena dirinya tak suka melihat ada tangan pria lain yang terkalung pada batang leher Lolita.
Semua kemungkinan itu bisa menjadi benar, untuk dijadikan sebagai sebuah alasan yang mendasari tindakannya saat ini.
Katakanlah jika dirinya berlaku begitu impulsif. Adnan menerima julukan itu dengan hati yang lapang selagi dirinya dapat mengembalikan perhatian Lolita untuknya.
“Lo abis kepentok apa sih, Bang? Kelakuan lo hari ini buat apa?!” Tuntut Lolita. Gadis itu meradang, merasa sudah sangat dipermainkan.
“Kamu juga nggak nolak kan tadi?”
“Gimana gue bisa nolak? Lo semua ngerasa nanya pendapat gue nggak tadi?!” Sentak Lolita. Tidak ada satu pun manusia di dalam sana yang menanyakan kesediaannya.
“Kamu udah nggak cinta lagi sama aku?”
Dalam kalimat tanya-nya, Adnan menghunuskan tatapan tajam. Pemuda itu seakan berkata jika dirinya tak ingin mendengar jawaban yang tidak memuaskan.
“Udah punya gebetan baru?”
“Iy..”
“Sayangnya, aku nggak mau mundur. Orang tua kamu, mereka udah nerima lamaran keluargaku. Mau nggak mau, kamu bentar lagi harus suka lagi ke aku.”
Hell!!— satu hal ini, mengapa tak pernah tampak ketika dirinya menyukai Adnan dulu?
Pria itu ternyata begitu menyebalkan, lengkap bersama rasa percaya diri dan keras kepalanya.
“Aku nggak nuntut apa-apa. Kamu bebas jadi diri kamu yang apa adanya. Aku cuman minta satu, kembaliin Lolita yang cinta mati ke aku.”
“Hoek!”
Lolita langsung bersikap seolah dirinya sedang muntah. Perihal aku-kamu saja sudah menggelitik akal sehatnya, sekarang ditambah beberapa pukulan tak kasat mata tentang diri Adnan yang sebenarnya.
“Lolita, mulai detik ini. Kamu udah kontrak mati sama aku. Jadi jangan pernah deket-deket sama cowok lain lagi. Aku nggak suka.”
Aku nggak suka…
AKU NGGAK SUKA…
Kalimat akhir itu terus menggema, memusingkan kepala Lolita dan membuatnya bergidik saking mengerikannya.
“Kalau kamu nggak ada rekomendasi, aku ada tempat yang suka Ibu datengin. Ayo kita kesana sekarang. Mumpung belum malem banget.”
Dan beberapa saat kemudian, sebuah cincin tanda jika tubuh dan jiwanya sudah terikat dengan Adnan melingkar manis pada jari Lolita.
“ANJING!! Gue pengen minggat ke Mars rasanya! Dasar Ad-Njing!”