Jumat (11.32), 12 Juni 2020
-------------------
Sama seperti kemarin, pagi ini Sintha yang bangun lebih dulu daripada Xavier. Namun kali ini dia tidak langsung beranjak dari ranjang. Dia menggeser tubuhnya mendekati Xavier lalu melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu.
Gerakan Sintha mengusik tidur Xavier. Lelaki itu memalingkan kepala ke arah Sintha sementara posisi tubuhnya tetap telentang
Senyum gembira terukir di bibir Sintha. Sekarang dia jadi leluasa mengamati wajah rupawan suaminya dari dekat. Bahkan hanya dengan memajukan wajah sedikit, bibir Sintha bisa menggapai bibir Xavier.
Namun Sintha menahan diri untuk melakukannya. Dia tidak mau mengganggu tidur Xavier. Nanti saja begitu suaminya membuka mata, Sintha akan menciumnya dengan mesra.
Mata Sintha berkilat geli membayangkan wajah kaget Xavier jika dirinya mencium lelaki itu tiba-tiba begitu membuka mata. Dia juga bisa membayangkan wajah Xavier yang memerah dan sikapnya yang mendadak salah tingkah.
Mungkin Xavier tidak menyadari reaksinya sendiri. Namun Sintha bisa melihatnya dengan jelas. Walau Xavier berusaha bersikap kejam dengan melontarkan kata-kata pedas tiap kali Sintha mencuri ciuman, namun reaksi tubuh Xavier sangat berbeda.
Sintha menjelajahi lekukan bibir Xavier dengan tatapannya. Bibir yang indah. Salah satu bagian tubuh Xavier yang paling Sintha sukai. Terasa lembut dan kenyal ketika melekat di bibir Sintha.
Selain itu, Sintha juga menyukai apa yang terlontar dari bibir Xavier. Walau pedas, kata-kata Xavier selalu membuat rasa penasaran Sintha tergelitik. Seolah kata-kata itu Xavier lontarkan untuk melindungi hatinya yang rapuh.
Dan kata-kata Xavier jugalah yang telah membawa Sintha mencarinya. Dalam pencarian itu Sintha mengetahui bahwa Ruby adalah teman lamanya. Mungkin takdir memang telah merestui pertemuan mereka hingga memberinya jalan yang mudah.
Kening Xavier berkerut dan ia menggerak-gerakkan kepalanya dengan gelisah. Mungkin Xavier bermimpi buruk.
Jemari Sintha terangkat lalu membelai dengan lembut kening Xavier dengan buku jarinya. “Sudah kubilang jangan mengerutkan kening terus-menerus.” Bisik Sintha pelan.
Entah apa karena sentuhan Sintha atau bisikannya, perlahan kelopak mata Xavier bergerak lalu lelaki itu mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum mata hitam pekat itu memaku Sintha.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Xavier dengan suara serak karena bangun tidur.
Bukannya menarik kembali jemarinya yang masih berada di kening Xavier, Sintha malah membelai kening Xavier lembut. “Mencoba menghilangkan kerutan di sini.”
Xavier memalingkan wajah lalu mengubah posisi menjadi duduk. “Tolong panggilkan pelayan. Aku ingin mandi.” Ujar Xavier dingin.
Sintha terkekeh seraya duduk di samping Xavier lalu mengikat rambutnya. “Nada suaramu memang bisa membekukan. Tapi kata ‘tolong’ itu membuatnya langsung cair seketika.”
Xavier terdiam memikirkan kalimat Sintha yang menurutnya aneh. Beberapa detik kemudian sebuah pemahaman merasuk dalam benaknya. Xavier memang ingin bersikap dingin dan ketus. Tapi kata ‘tolong’ membuat kalimatnya terdengar lembut karena dipenuhi permohonan.
Xavier berdehem sejenak sebelum berkata, “Terserah apa katamu. Cepat panggil pelayanku!”
“Tapi bagaimana ini? Tubuhku selalu lemas ketika baru bangun tidur.” Sintha menahan senyumnya dan berpura-pura bersikap lemas. “Aku butuh satu jam untuk memulihkan diri. Atau jika ingin cepat, sebuah morning kiss pasti langsung membuatku segar.”
Xavier menatap Sintha kesal. “Walau aku tidak bisa jalan, aku masih sanggup mencekikmu.”
Sintha menyeringai lebar. “Kalau begitu pasti tidak susah untuk menciumku.” Tanpa malu, Sintha memonyongkan bibirnya di depan wajah Xavier.
Xavier mencengkeram rahang Sintha untuk menghentikan gerakan wanita itu. “Dalam hitungan ketiga kalau kau tidak juga memanggil pelayanku, aku akan menyuruhmu tidur di lantai mulai nanti malam. Satu...dua...”
“Baiklah, baiklah.” Ujar Sintha kesal sambil melepaskan cengkeraman Xavier di rahangnya. Sama sekali tidak sakit, tapi Sintha benar-benar tidak bisa menggerakkan wajahnya mendekati Xavier. “Seharusnya tadi aku langsung menciummu.”
Xavier menggigit bibir bagian dalamnya untuk menahan senyuman. Gerutuan Sintha terdengar lucu di telinga Xavier.
Baru saja turun dari ranjang, mendadak Sintha kembali duduk di hadapan Xavier. Kini wajah wanita itu tampak begitu antusias.
“Apalagi sekarang?”
“Sebagai ganti morning kiss, izinkan aku membantumu mandi.” Sintha mengatupkan kedua tangan di depan d**a.
Tanpa sadar, Xavier menepuk keningnya karena frustasi akan sikap Sintha. Dan ini adalah pertama kalinya Xavier menunjukkan ekspresi selain datar, dingin dan marah setelah sekian lama.
“Apa tidak ada sesuatu selain hal m***m di otakmu itu?”
Sintha merengut dengan jemari saling meremas seperti anak kecil yang merajuk. “Kita masih dalam masa bulan madu tapi aku belum mendapatkan jatah malam pertama. Jadi wajar jika aku ingin melakukan hal m***m denganmu.”
Jawaban Sintha yang blak-blakan membuat wajah Xavier memerah dan hasrat dalam dirinya terbangun. Bagaimanapun Xavier adalah seorang lelaki. Berhadapan dengan wanita yang seolah menyodorkan dirinya, tentu membangkitkan jiwa kelelakiannya.
“Berbicara denganmu membuatku sakit kepala. Cepat keluar dan panggil pelayanku!” Xavier kembali memberi perintah entah untuk yang keberapa kalinya.
“Aku tidak akan beranjak sebelum kau berkata iya.” Sintha melipat lengan di depan d**a dengan keras kepala.
“Iya, apa?” tanya Xavier semakin salah tingkah.
“Iya, aku boleh membantumu mandi.”
“Aku tidak semenyedihkan itu hingga tidak sanggup mandi sendiri.”
“Lalu untuk apa meminta bantuan pelayan?”
“Hanya untuk membantuku pindah ke kursi di kamar mandi. Kau pikir pelayanku yang menyabuni seluruh tubuhku?” tanya Xavier ketus.
Sintha nyengir tanpa membantah menunjukkan bahwa dugaan Xavier benar. “Sekarang aku tahu gunanya kursi di kamar mandi itu.”
“Isi otakmu benar-benar menyeramkan.” Komentar Xavier.
“Tapi kan, aku tidak berpikir kalian melakukan sesuatu di kamar mandi.” Sintha masih membela diri.
“Heh! Kenapa bicaramu semakin melantur?” nada suara Xavier meninggi. “Keluar sekarang juga atau aku akan menggigit bibirmu!”
Sintha menyeringai. Xavier pasti tidak sadar dengan kalimatnya. “Karena aku tidak mau keluar, silahkan gigit bibirku.”
Xavier tersentak. Seketika wajahnya memerah karena menyadari kesalahannya. Maksudnya dia ingin membungkam mulut cerewet Sintha. Tapi mengapa dia harus memilih mengatakan itu?
“Sintha, cepat keluar!” sekarang Xavier berteriak di hadapan Sintha. Bukan karena marah. Melainkan karena malu.
Buru-buru Sintha turun dari ranjang lalu bergegas ke pintu dengan senyum tertahan. Dia menarik nafas panjang untuk meredakan tawanya yang ingin meledak kemudian keluar kamar lalu menutup pintu kembali. Ketika membalikkan badan, Sintha terpaku melihat banyak orang di depan kamar.
“Ada apa ini?” tanya Sintha bingung.
Kelis yang berada di sebelah Ruby mendekati Sintha. “Apa yang terjadi di dalam? Kenapa Xavier kedengarannya berteriak?”
Astaga, apa yang mereka dengar?
Sintha menyembunyikan kekagetannya dengan mencuri pandang ke arah pelayan dan Vero yang juga ada di sana, seolah dia tidak berani mengatakan apapun di hadapan kedua orang itu.
Kelis mengerti arti pandangan Sintha. Segera dia menyuruh pelayan masuk membantu Xavier mandi. Kemudian Kelis beralih pada Vero. “Ver, mulai sekarang, biar Sintha yang membantu Xavier minum obat.” Ujar Kelis.
Vero terdiam selama beberapa saat memperhatikan Sintha, kemudian mengangguk seraya menyerahkan nampan berisi segelas air dan obat-obatan untuk Xavier kepada Sintha. Setelahnya tanpa kata dia pergi meninggalkan Kelis, Ruby dan Sintha di depan kamar Xavier.
“Apa itu? Apa dia berpikir aku akan menukar obat Xavier dengan racun?” tanya Sintha kesal dengan mata masih memandang ke arah Vero pergi.
“Sudahlah, lupakan saja. Vero memang seperti itu. Dia sangat sulit mempercayai orang asing.” Ruby menjelaskan.
Sintha mengangguk paham.
“Jadi, apa yang terjadi di dalam?” tanya Kelis tidak sabar. “Ini pertama kalinya Xavier telat bangun dan kudengar dia berteriak.”
“Kalian hanya mendengar teriakannya?” tanya Sintha memastikan.
“Iya. Ucapannya tidak jelas.” Kelis kembali menjelaskan.
Sintha mendesah. “Seandainya kalian dengar apa ucapannya. Dia sangat jago berkata kasar. Kalau bukan demi keluargaku, aku akan memilih menyerah saja.” Sintha mengusap dadanya. “Aku bahkan tidak yakin hati dan telingaku sanggup mendengar caci dan makiannya lebih lama.”
“Memangnya apa yang kau lakukan hingga Xavier begitu marah?” Ruby ingin tahu.
“Dia marah karena mendapatiku tidur di sebelahnya di atas ranjang. Coba bayangkan saja. Walau aku sudah melapisi lantai dengan selimut tebal, tapi rasa dinginnya tetap menusuk daging. Akhirnya aku naik ke atas ranjang begitu dia terlelap. Lagipula, kalau bukan karena terpaksa, aku juga tidak mungkin mau tidur di sampingnya.” Bibir Sintha menipis marah.
“Ah, iya. Aku lupa menanyakan apakah Xavier mengizinkanmu tidur di ranjang atau tidak.” sahut Ruby dengan bersalah.
Sintha masih menunjukkan wajah kesal. “Kalau di kamar ini ada sofa, aku tidak akan merangkak ke ranjangnya.”
“Sebelum Xavier kecelakaan, kamarnya ada di lantai dua. Sedangkan kamar ini dulu adalah ruang kerjanya. Tapi karena kondisi fisiknya tidak lagi memungkinkan untuk naik turun tangga, maka kamar Xavier dipindah ke sini.” Jelas Kelis. “Kamarnya yang lama lebih luas dan ada sofanya juga.”
“Oh, begitu.”
“Kau tidak boleh menyerah sekarang. Baru dua hari kalian menikah kau sudah seperti ini. Kami sudah di sini selama bertahun-tahun tapi masih sanggup. Lalu mengapa kau tidak?” Ruby berusaha membangkitkan semangat Sintha.
“Yah, kalian tidak harus terkurung satu ruangan dengannya.” Sindir Sintha.
“Berhenti mengeluh.” Jelas Kelis kesal. “Kalau kita berhasil, kau juga akan mendapat keuntungan. Pikirkan saja mengenai itu.”
Belum sempat Sintha menjawab, pelayan Xavier sudah keluar dari kamar.
“Tuan Xavier meminta Tuan Vero untuk ke kamarnya.” Pelayan itu menjelaskan.
“Baiklah, kau boleh pergi.” Kelis mengusir. Setelah pelayan pergi, dia beralih pada Sintha. “Sekarang berikan obat itu padanya. Sebenci apapun dirimu, perlakukan dia dengan baik. Jangan tunjukkan kebencianmu.”
Sintha mendesah sebal tapi dia mengangguk lalu masuk ke kamar kembali. Setelah mengunci pintu, Sintha bergegas mendekati Xavier yang tampak membaca lembaran kertas di meja kerja.
Xavier mendongak ketika Sintha meletakkan nampan di atas meja kerjanya. “Kenapa kau tersenyum seperti itu?”
Sintha terdiam. Dirinya bahkan tidak sadar telah tersenyum. Memang Sintha sangat ingin tersenyum setelah pembicaraannya dengan Kelis dan Ruby. Tapi dia menahan diri. Mungkin karena kini dia berada di hadapan Xavier, senyum yang ditahannya muncul begitu saja karena tidak harus berpura-pura lagi.
“Aku tersenyum melihat suamiku yang sudah tampan dan wangi.” Akhirnya Sintha memilih jawaban itu. Lalu dengan nakal ia mendekatkan wajah untuk mencium Xavier.
Melihat niat Sintha, Xavier mengambil buku lalu menempelkannya di wajah Sintha. “Dasar m***m! Dimana Vero?”
Sintha mengambil buku di depan wajahnya dengan bibir merengut. “Pasti hari ini akan menjadi hari yang buruk karena aku sama sekali tidak mendapat jatah ciuman.” Desah Sintha dengan gaya dramatis.
Xavier tidak mengerti perasaan aneh yang timbul di hatinya. Dia berusaha mengabaikan keanehan itu lalu berdecak sebal. “Berhenti berbicara omong kosong. Katakan padaku dimana Vero!”
“Mulai sekarang aku yang akan membantumu minum obat.” Jelas Sintha.
Xavier menyipitkan matanya tidak suka. “Siapa yang memberimu kewenangan itu?”
“Aku istrimu.” Nada Sintha merengek.
“Kau ular pesuruh Kelis. Bagaimana kalau kau mengganti obatku dengan racun?”
“Aku tidak sebodoh itu. Kalau kau mati sekarang, aku tidak akan dapat apapun.”
Xavier menyeringai sinis. “Sudah kuduga kau pasti tahu tentang surat wasiat itu.”
“Tentu saja aku tahu. Aku dijanjikan mendapat bagian.” Ujar Sintha santai seraya menyerahkan obat.
Xavier langsung menerima obat itu tanpa ragu. “Kau tidak takut mengatakan hal itu padaku?”
Sintha berpikir sejenak karena tiba-tiba sebuah ide melintas di benaknya. “Tidak. Malah aku berpikir untuk menawarimu pilihan. Kesetiaanku bisa dibeli. Jika kau membayarku lebih mahal dari mereka, aku dengan senang hati mengkhianati mereka dan memihakmu.”
Xavier menelan obatnya lalu meminum air yang disodorkan Sintha. Setelah dia mengembalikan gelas kepada Sintha, Xavier berucap, “Dasar murahan.”
Sintha mengangkat bahu seraya menyingkirkan nampan ke samping. Sebenarnya ada sebuah kursi di seberang Xavier. Mungkin untuk tempat duduk Vero ketika mereka sedang membahas pekerjaan. Namun Sintha lebih memilih berdiri. “Seharusnya itu bukan masalah bagimu. Yang penting aku bisa menguntungkanmu.”
“Baiklah, berapa juta yang kau inginkan?”
“Hhmm, yang kuinginkan tidak bisa dinilai dengan uang.”
Xavier menatap Sintha malas lalu membaca dokumennya kembali. “Biar kutebak. Pasti keinginanmu berhubungan dengan hal m***m, kan?”
“Wah, suamiku mulai mengenalku rupanya.” Sintha memekik girang.
“Sudahlah, pergi saja.”
Sintha menatap Xavier jengkel. “Kau kan belum tahu apa keinginanku. Seharusnya kau senang karena aku tidak akan menggerogoti hartamu.”
“Nah, berarti aku tidak salah mengatakan dirimu murahan.” Xavier membalas tatapan Sintha.
“Aku tidak peduli sebutanmu untukku. Jadi, kau mau membeli kesetiaanku atau tidak?” tanya Sintha tidak sabar.
Xavier menatap Sintha lama kemudian mengangguk pelan. “Sebutkan keinginanmu!”
Senyum Sintha merekah. “Aku hanya menginginkan malam pertamaku.”
Xavier memang sudah menduga Sintha akan meminta hal itu. Tapi mendengar Sintha mengatakannya dengan jelas membuat sebersit rasa kecewa mencuat di hati Xavier. “Itu keinginan yang berat. Mungkin aku memang tidak bisa membeli kesetiaanmu.”
“Kenapa?”
“Lucu kau masih menanyakannya. Jangankan untuk b******a, bergeser saja aku kesakitan.”
Sintha tersenyum lalu meletakkan kedua telapak tangannya di meja kerja Xavier—seperti saat wanita itu mencium Xavier untuk pertama kalinya. Dia menunduk dan membuat wajah mereka hanya berjarak satu inchi.
“Karena itu kau harus sembuh agar bisa membeli kesetiaanku. Jangan khawatir. Aku sabar menunggu.” Lalu tanpa peringatan, Sintha mengecup kening Xavier dengan amat lembut dan lama. Setelahnya dia menjauhkan diri seraya membawa nampan keluar kamar.
Xavier tersentak begitu Sintha menutup pintu kamarnya kembali. Dia bahkan tidak sadar jika dirinya mematung sejak Sintha mengecup keningnya. Tangannya terangkat untuk meremas jantungnya yang berdebar sangat kencang.
Baru dua hari mereka menikah dan Sintha sudah berhasil membuat perasaan Xavier kacau balau seperti sekarang. Dia tidak bisa membayangkan jika pernikahan mereka sudah mencapai sebulan. Apakah mungkin wanita itu berhasil menempati hatinya yang kosong?
-----------------------
♥ Aya Emily ♥