Seminggu kemudian ....
Sejak Arimbi tinggal bersama Arga dan Keyara, hari-hari mendadak berubah asing, seperti tak mengenal rutinitas yang biasa. Ada yang berbeda dari interaksi Arga dan Keyara. Mereka berpura-pura harmonis, benar-benar mencerminkan suami istri yang rukun, sekalipun tidak di depan Arimbi. Mereka tidur sekamar, meski tidak saling menyentuh, tapi keduanya mulai belajar untuk membiasakan diri berbincang sebelum tidur.
Terkadang masih ada nada ketus, sikap datar, raut wajah yang dingin, nada yang tinggi, dan kebencian yang masih terselip kala Arga terngiang kembali akan masa lalu yang pahit. Namun, semua sedikit teredam setelah mendengar penuturan Keyara tentang dirinya, apa yang ia rasakan, dan rasa bersalah yang membuatnya takut menghadapi hari depan. Kondisi psikis yang terlalu kompleks menurut penilaian Arga. Laki-laki itu jarang berbicara. Ia lebih banyak mendengar.
"Aku kadang merasa takut berteman. Aku takut menyakiti teman-temanku. Aku hanya berteman sewajarnya dan aku tak punya teman dekat. Aku tak pernah curhat tentang masalah pribadiku. Keceriaan anak-anak di sekolah menjadi hiburan tersendiri untukku. Aku merasa hidupku lebih berarti ketika mereka nyaman berada di dekatku. Aku senang saat mendengar celotehan mereka yang sudah bisa gosok gigi sendiri atau bisa mandi sendiri. Aku juga senang melihat senyum mereka kala dijemput orang tua. Aku berharap, mereka memiliki waktu lebih lama untuk menghabiskan waktu bersama orang tua mereka." Keyara meremas jari-jari tangannya. Ia duduk berselonjor di ranjang. Sedangkan Arga terbaring di sebelahnya, dibatasi celah kosong. Mereka tetap menjaga jarak.
Arga mendengarkan, tapi tak menanggapi. Itu sudah cukup bagi Keyara. Sejujurnya, Keyara masih merasa gugup setiap kali memulai pembicaraan. Ia kadang merasa seperti tengah berbicara sendiri karena Arga tak merespons ucapannya. Namun, ia tetap bicara semata agar Arga sedikit mengenalnya. Ia ingin suaminya sedikit membuka hati dan pikiran, bahwa Keyara yang sekarang tak lagi sama dengan Keyara di masa lalu.
"Sekarang gantian Mas Arga bicara. Aku ingin tahu aktivitas Mas Arga di luar rumah." Keyara melirik Arga yang berbaring menatap langit-langit.
Arga diam terbaring dengan mata menengadah ke atas. Hatinya masih bergemuruh rasa yang tak terdefinisikan. Sebut saja hatinya mulai melunak meski masih penuh rutukan. Kebencian yang terlanjur mengakar tak semudah itu luntur dalam sandiwara palsu.
"Aku ngantuk, Key, lain kali saja aku bicara soal aktivitasku." Arga menjawab tanpa menoleh ke arah istrinya. Ia tak tahu, betapa wanita itu berharap Arga mau sedikit terbuka.
Keyara menahan kekecewaan. Asa yang sebelumnya melambung kini terpelanting. Ia sadar, akan sulit menormalkan hubungan mereka yang sedari awal sudah sangat buruk. Arga baginya tetaplah seperti bintang yang jauh, yang bisa ia lihat, tapi sulit untuk diraih. Atau dia seperti fatamorgana, semakin dikejar semakin mengabur.
Pernikahan yang ia jalani sudah begitu toxic dan mungkin tak bisa lagi diselamatkan. Berpura-pura sebagai benar-benar suami istri juga tak mudah untuk dijalankan.
Arga memiringkan badannya. Lagi-lagi mereka tidur saling memunggungi. Keyara terdiam. Helaan napasnya seperti terselip keputusasaan. Terkadang ada keinginan untuk terus berjuang, merajut kembali mimpi yang pernah terkubur. Namun, di sisi lain ia pun tahu, pernikahannya akan berakhir atau sejatinya memang telah berakhir. Tak ada lagi yang bisa direkatkan karena sejak awal, hati keduanya sudah retak. Keyara yang berusaha menambal lubang itu sepanjang waktu, sedangkan Arga yang membiarkannya patah, tak ada keinginan untuk mencoba menyambung segala yang sudah tercerai-berai.
******
Pagi menyingsing. Seperti biasa, Keyara cekatan mengerjakan semua. Ia menyiapkan pakaian kerja untuk Arga. Dan sejak kesepakatan itu, Arga tak lagi mengabaikan. Ia mengenakan pakaian pilihan Keyara, bahkan ia biarkan wanita itu membantunya memasang dasi.
Arga mematung layaknya patung di taman kota. Matanya menelisik ke arah Keyara yang tengah memasang dasi. Dalam beberapa hari ini, Arga mulai terbiasa akan jarak yang kian terpangkas kala mereka berinteraksi seperti ini. Mata itu masih sendu, tapi tak lagi sembab seperti biasanya. Tatapannya terhenti pada bibir Keyara yang ia lihat lain dari biasanya. Arga tahu, Keyara menyapu bibirnya dengan lipstik warna pink lembut yang membuat wajah itu lebih segar.
Keyara mengenakan dress rumahan, yang tidak lagi tampak kebesaran. Dress motif bunga-bunga kecil yang baru pertama kali Arga lihat. Rambut Keyara tergerai tanpa tatanan khusus. Namun, rambut itu terlihat rapi dengan warna hitam legam yang menambah kesan manis. Arga akui, wajah Keyara tidak bisa dikatakan pas-pasan. Dulu ia pun tahu, ada beberapa mahasiswa yang mengejarnya. Namun, perempuan itu terlalu angkuh, yang bahkan berani menolak dengan kata-kata kasar dibumbui nada merendahkan jika Sang Pria tidak cukup menarik di matanya. Satu dari sekian banyak alasan yang memicu julukan "arogan" tersemat di balik perangai Keyara yang bagi sebagian besar mahasiswa, memang begitu arogan dan menyebalkan.
Keyara merapikan kerah kemeja Arga. Jari-jarinya menurun dan menemukan ada satu kancing yang belum terpasang. Keyara memasang satu kancing itu, sementara netra Arga masih awas mengawasi.
Keyara bisa merasakan degup jantung Arga yang terdengar beraturan. Sesaat ia jejakkan telapak tangannya di d**a bidang itu. Matanya menilik ke atas dan bertabrakan dengan netra Arga yang juga mengarah padanya. Mereka saling menatap sekian detik hingga panggilan Arimbi membangunkan keduanya dari atmosfer yang hampir saja melenakan, kala masing-masing menyadari akan indahnya rupa yang terpajang.
Keduanya sarapan bersama Arimbi dengan senyum yang mengembang sempurna. Wanita paruh baya itu tersenyum bahagia melihat putra dan menantunya begitu harmonis. Ia tak pernah tahu, bagaimana Arga dan Keyara bersusah payah membangun kesan positif tentang hubungan mereka.
Ketika Arga selesai sarapan dan berpamitan, Keyara meraih tangan suaminya untuk ia jabat dan ia cium. Arimbi mengamati keduanya.
"Arga, ayahmu selalu mencium Bunda ketika hendak bepergian. Kenapa kamu tidak melakukan hal yang sama pada istrimu?"
Arga terhenyak. Bibirnya sedikit menganga. Ia dan Keyara saling berpandangan, salah tingkah. Demi menyenangkan hati Arimbi, Arga mendaratkan kecupan di pipi Keyara. Untuk sesaat Keyara membeku. Kecupan pertama dari Arga di pipinya dan ini membuat d**a Keyara berdebar tak karuan.
Arimbi tersenyum menatap pasangan itu malu-malu layaknya baru pertama kali jatuh cinta.
"Bun, Arga berangkat dulu, ya."
"Hati-hati, Arga."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Keyara mengantar Arga hingga pria itu masuk ke dalam mobil.
"Hati-hati, Mas." Senyum terukir lembut.
Arga tak menoleh juga tak menanggapi. Ia lajukan mobilnya tanpa peduli akan perasaan Keyara yang kembali terluka setelah sebelumnya menghangat karena kecupan Arga.
******
Terik matahari terasa semakin panas di siang yang cerah ini. Arga janjian makan siang bersama Andra. Kedua sahabat itu memang kerap menyempatkan waktu untuk bertemu kendati kesibukan mengikis waktu luang.
Andra terkejut mendengar penuturan Arga yang mengatakan ia dan Keyara tengah berpura-pura untuk menjalankan peran sebagai suami istri sungguhan di depan Arimbi.
"Keyara bilang, ia ingin menciptakan kenangan yang manis sebelum kami benar-benar berpisah. Ini terdengar lucu, 'kan? Sepanjang malam aku akan mendengarnya bicara dan satu per satu ranah privasiku sepertinya telah terjamah olehnya. Bahkan kemeja yang aku pakai juga dipilih olehnya." Arga menggeleng. Ia tak suka berpura-pura memainkan peran sebagai suami yang baik. Namun, ia harus menuruti kesepakatan itu.
Andra menghela napas. Ia tatap Arga tajam.
"Di tempat lain ada banyak laki-laki yang berharap memiliki istri cekatan seperti Keyara. Bukankah itu menyenangkan? Setiap hari ada yang menyiapkan makananmu, merapikan bajumu, menyiapkan segala keperluanmu, dan menyambutmu pulang. Ada banyak yang beristri, tapi tidak merasa punya istri karena istrinya terlalu sibuk. Harusnya kamu bersyukur."
Arga tersenyum sinis. "Bersyukur? Dari awal kamu tahu, aku tidak mencintai Keyara dan kami menikah karena dijodohkan."
"Kamu tidak mencintai Keyara atau kamu memang tidak mau jatuh padanya? Apa tidak ada sedikit pun rasa mengingat kalian tinggal seatap? Apa kamu tidak tersentuh dengan kebaikannya?"
Arga menatap Andra tajam dengan kernyitan di dahi yang melukiskan rasa heran.
"Apa rasa itu bisa datang sementara kamu begitu membenci seseorang? Cinta tidak bisa dipaksakan."
Andra meneguk teh manis di hadapannya lalu kembali memusatkan penglihatannya pada sahabat yang ia sebut tak tahu caranya bersyukur.
"Ya, cinta tidak bisa dipaksakan. Hanya saja aku heran, perempuan yang menurutku sangat amat baik seperti Keyara, dengan segala ketulusan dan baktinya sebagai istri, apa semua ini tidak cukup untuk membuatmu mau belajar menghargainya?"
Arga tertawa kecil. "Kamu tidak mengenalnya dengan baik, Andra. Kamu hanya melihat dia di cangkangnya. Dalamnya busuk dan aku tahu itu semua kamuflase."
"Kamu salah menilainya, Arga. Pertimbangkan matang-matang sebelum kamu menyesali keputusanmu!"
Arga menyeruput jus jambu yang ia pesan.
"Aku tidak akan menyesal. Aku sudah memikirkan baik-baik. Bahkan di sepanjang pernikahan kami, aku selalu memikirkan cara untuk berpisah dengannya tanpa menyakiti Ayah dan Bunda."
Andra menggeleng pelan. Arga begitu keras kepala dan tak pernah mau mendengar nasihatnya.
"Maaf kalau aku lancang. Jika kamu benar-benar ingin berpisah dengannya dan nanti perpisahan ini terwujud, apa aku boleh maju untuk mendekati Keyara?"
Arga tersedak. Ia terperangah mendengar kata-kata tajam Andra. Selama bersahabat dengan pria itu, baru kali ini Arga merasa, Andra benar-benar kurang ajar!