2

1880 Kata
Raka bangkit dengan mata yang sangat sulit untuk dibuka. Sebelum  membukakan pintu bagi tamunya ia sempat melirik ke arah jam dinding dan menemukan bahwa sekarang sudah tidak pagi lagi. “Ci?” Raka menemukan cewek yang tubuhnya tidak bisa dikatakan mungil itu sudah berada di depan pintunya pagi-pagi begini, ya walaupun sudah tidak terlalu pagi. “Ckck...  Pake baju lo!” ucap Uci sambil menabrak lengan Raka dan masuk ke dalam apartemen temannya itu sambil mengomel. Raka menutup pintu dan berniat kembali pada kasur dan gulingnya. Meskipun sekarang di dalam wilayahnya ada Uci yang itu, yang akan selalu ia buat berada di sekitarnya, ia tetap tidak akan mengabaikan rasa kantuk kesayangannya. “Ka?” panggil Uci pada pria yang kembali menutup matanya. “Satu jam lagi ya?” pinta Raka yang mengerti apa yang ingin Uci sampaikan. “Satu jam lagi Indah sama Reza bisa aja datang buat kasih lo kue tart dengan toping keju,” ucap Uci malas. “Jangan keju lagi ..  Ujung-ujungnya kalian bertiga yang makan kue gue. Lagian kalo mereka datang jangan dibukain pintu. Bisa perang nuklir gue sama Indah dan perang dingin sama Ejak. Lo tau sendiri kan? Indah pengennya lo end up sama Ejak?” ucap Raka dengan mata tertutup. “Pidato lo udah panjang gini lo pasti udah ga ngantuk kan?” “Hm...” Uci menggeplak kepala Raka bukanlah sesuatu yang baru. Tapi hari ini gadis itu tidak akan melakukannya, ini hari ulang tahun Raka yang ke dua tujuh. Sang mantan yang tidak pernah jauh dari Raka itu memperhatikan sekitar karena tidak mendapatkan perhatian dari sang pemilik ruangan. Uci duduk membelakangi Raka dengan punggung bersandar pada kaki ranjang.  Ia meraih headset dari tas kecilnya dan menyetel suara Adam, tak butuh waktu lama sampai Uci larut dalam kenangannya, ruangan itu kembali senyap. Inilah salah satu alasan yang membuat Uci diam-diam, di belakang indah dan Reza, senang mendatangi Raka,  karena Raka tidak pernah memaksanya untuk melupakan Adam-nya. >>>  Uci bagaikan alaram alami seorang Raka Aditya Orlando.  Jika tak ada si gadis disana maka sudah bisa dipastikan Raka akan menyambung mimpinya. Tidur dua puluh empat jam bagi Raka bukanlah sesuatu yang sulit.  Namun keberadaan Uci membuatnya bangun sekitar satu jam seperti yang ia minta tadi.  Menemukan Uci dengan telinga yang disumbat, pria itu merangsek mendekat kemudian menarik headset dari telinga kanan Uci, kemudian membenturkan kepalanya pada kepala sang mantan sambil berkata, “Ini hadiah gue tahun ini.”  Uci berniat protes tapi tidak sempat karena Raka segera meninggalkannya menuju kamar mandi.  Sembari menunggu birthday guy selesai bebersih Uci menyambar hape Raka, selalu merasa perlu untuk mengecek sampai mana kegilaan sang mantan. Uci kadang merasa ia menggantikan tugas Ibunya Raka,  ia harus mengontrol pergaulan Raka dengan cewek antah berantah koleksi Raka dan kadang terpaksa mendatangi cewek tersebut, melarangnya menggoda Raka karena pria itu harus bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya, ala-ala sinetron, yang tentu saja ditemani oleh si pembuat onar alias Raka. >>>  Raka menemukan Uci sedang menatap penuh minat pada kue miliknya. Bayangkan saja..  Yang ulang tahun Raka, yang beli kue juga dirinya. “Siapa yang suruh potong kue gue?” Uci menoleh dan mendapati Raka sudah rapi, ia tersenyum lebar dan meminta Raka untuk segera duduk di dekatnya karena ia sudah tergoda sejak tadi. Raka tertawa tapi ia tidak langsung menuruti permintaan Uci, ia meraih ponselnya yang tampaknya sudah diotak atik Uci saat ia mandi tadi kemudian menelfon Indah, mengucapkan terimakasih atas ucapan dan doa dari sahabatnya itu. Oh iya, mengenai Uci yang bisa mengakses ponselnya tentu bukan hal yang aneh jika kata sandi ponselnya saja Uci sendiri yang menentukan. “Hm..  Makasih bunda, tapi lo jangan datang dulu ya.” “....” “Gue lagi sama bini nih,” ucap Raka sambil melirik pada Uci dan ia menemukan Uci mencibir. “...” “Bini gue lagi rewel soalnya, masih mau dikelon,” setelahnya Raka memutuskan sambungan telfon kemudian menyeduh kopi instan kesukaannya tak peduli dengan Uci yang juga sudah tidak peduli padanya.  Uci sedang sibuk dengan kue yang sedari tadi ditatapnya dengan liur hampir  menetes. Ketika Raka meneguk kopinya, rupanya Uci juga sudah memotong kue dan melahapnya rakus. “Enak bangeeeet,” oceh Uci dengan mulut penuhnya.  “Baikan ya sama Ejak?” pinta Raka begitu ia mendudukkan diri di samping Uci. “Ga asik sih mantan gue..  Bad mood nih gue.” “Gara-gara lo, gue jadi canggung sama Ejak tau,” ucap Raka sambil menjelaskan bagaimana ia dan Reza seminggu ini. “Itusih urusan kalian.” >>>>  Naufal bertanya pada Om Reza, teman sang Bunda, apakah kali ini Bunda berbohong padanya. Ia tidak bisa percaya begitu saja dengan ajaran Bunda. Memasak sarden saja Bundanya tidak bisa mana mungkin ia menerima begitu saja apa yang Bundanya ajarkan. “Ini anak gue kok percaya banget sama lo ya, Jak?  Lo ajarin aja deh..  Biar gue telfon Raka dulu,” Reza manempatkan tubuh kecil Naufal dalam pangkuannya dan menjelaskan perbedaan huruf dan angka dengan sabar. Anak yang selalu berada dalam gendongannya, Raka dan Uci itupun mendengarkan perkataan Omnya dengan tenang. “Eh eh eh,  turun kamu dari Om Ejak! Baju Om jadi lecek kan..  Om harus gaet cewek cantik supaya ga kesepian terus.” “Anak lo baru enam tahun, Ndah.” “Main sama Ayah sana,” usir Indah pada anak yang tak pernah berpihak padanya sekalipun. Naufal baru akan nurut kalau bocah itu sudah  sakit. Sayangnya ia tidak pernah suka jika putranya itu sakit. “Apa kata Raka?” tanya Reza begitu Naufal menjauh dari mereka sambil mengomel. Memang anak itu turunan Indah sekali. “Nanti..  Dia lagi sama cewek barunya lagian Uci juga lagi ke rumah teman lamanya,” Reza menyerngit, dan kilasan dalam beberapa tahun ini tiba-tiba muncul dalam ingatannya. “Uci selalu ada kegiatan sendiri tiap Raka ulang tahun ya?” tanya nya, lebih pada diri sendiri. “Jangan curigaan dong, calon bini lo tuh. Lagian tadi Raka bilangnya dia lagi di atas kasur ngelonin cewek barunya. Uci mana boleh dikelon orang lain selain elo. Gue tetep dukung supaya elo yang jadi ipar gue kok.” “Lo berani taruhan? Kalo kita samperin Raka sekarang dan bukan Uci yang ada disana maka gue akan kasih keinginan lo baru-baru ini yang ga dikasih bang Edo,” ucap Reza yang merasa dugaannya sama sekali tidak salah. “Eh buset yakin bener lo, lagian lo ga akan bisa kasih apa yang gue mau karena gue mintanya anak baru. Bang Edo malah jitak kepala gue.” “Astaga Ndah..  Terserah deh..  Gaji gue bulan depan juga bakal gue kasih.” Saat keduanya bersiap untuk memenuhi taruhan konyol Reza yang Indah rasa sangat tidak mungkin sekali, Indah dibuat kaget dengan Adik iparnya yang sudah lama tidak pulang. “Bang Bima? Duh gimana ya Bang, di rumah lagi ga ada apa-apa yang bisa dimakan. Abang lapar? Duh maksud aku tuh Bbang kok-” pulang? Indah kelabakan sendiri mencari alasan agar sang Adik ipar segera menjauh dari jangkauan mata Uci. “Gue cuma mau ketemu Adik sama ponakan gue, lo ga usah rusuh,” ucap Bima kesal. Sekalipun wanita muda di depannya ini istri Abang tertua mereka bukan berarti  dia bisa ikut campur urusan persaudaraan mereka bukan? “Maaf Bang,  tapi nanti Uci..” “Uci sudah harus berhenti menolak fakta pacarnya udah ga ada. Dan buat lo, kalo memang ada niat sama Adek gue sebaiknya gerak cepat karena gue udah muak. Ngapain aja lo enam tahun ini?” sembur Bima dan meninggalkan sepasang sahabat tersebut, ia terlebih dahulu meletakkan barang-barangnya sebelum menuju rumah Mama dan Papanya.  Abang yang dengan ikhlas menjauh dari kehidupan sang Adik agar Adiknya tidak melulu menangis itu memasuki rumah orang tuanya dengan wajah lega. Akhirnya ia kembali, selain untuk membuat Uci menerima kenyataan, Bima juga ingin membicarakan mengenai rencana hidup kedepannya bersama kedua pasang orang tuanya. Yap, Bima kan memang punya dua pasang orang tua. >>>>  Raka mengusap mukanya malas mendengar wejangan Ibu tentang menikah dan cucu.  Juga Ibunya tidak percaya bahwa ia dan Uci tidak terlibat apa-apa malah beliau mengira Uci dan Raka pasti tinggal bersama, bahasa kampungnya Rasa sih kumpul kebo. “Bu.. Uci itu mantan Raka,” ucap Raka menatap tajam Uci, mantannya itulah yang salah disini karena dia menjawab telfon orang sembarangan. Percayalah, telfon dari orang tua perempuan akan kalian hindari saat umur kalian sudah lewat dua lima. Tolong ingat itu. “Ga ada mantan yang datang ke rumah mantannya cuma untuk ucapan selamat ulang tahun,” ucap sang Ibu keukeuh. “Iya sih.. Uci datang sama testpack dua garis,” seloroh Raka sambil menggaruk kepalanya dan tepat setelah itu Ibu melihat kepala anaknya ditimpuk dengan sendok logam. Berarti tadi Raka kurang lengkap meberikan nasehat pada para jomblo yang umurnya sudah lewat, jangan angkat telfon, voice call ataupun video call dari orang tua perempuan kalau kalian sudah waktunya menikah tapi masih belum punya jodoh. Karena saat ini Raka sedang video call dengan Ibunya. Raka mengaduh, “Ini yang Ibu bilang ga percaya? Cewek kejam begini siapa pula yang mau jadikan istri? Sudahlah.. Nanti Raka telfon lagi.” Ucapnya tanpa menunggu persetujuan Ibu kemudian menyusul Uci yang sudah lebih dulu keluar. “Buruan, ini kita jadi aborsi ga nih?” ejek Uci yang sudah berjalan menuju pintu. “Mantan ga berperikemanusiaan emang lo ya! Anak gue kan juga anak lo, bunuh aja gue sebelum lo abors-” ucapan Raka terputus. Saat ia mengomel sambil menutup pintu Uci memukul rusuknya tapi ia tetap dengan sandiwaranya, mereka memang sering melakonkan drama tanpa naskah untuk kesenangan semata. Uci dan Raka itu memang sudah memiliki bakat untuk bermain teater sejak dari lahir. “Gue kecewa sama kalian!” ucap Indah dengan wajah yang masih shock, ucap Indah dengan muka yang sudah sepenuhnya merah seolah ia berada di posisi ini: cewek yang mendapati pacarnya selingkuh, padahal kenyataannya ia hanya terlalu menghayati peran yang bukan miliknya. “Ayo, Jak, gue ga akan nuntut gaji lo bulan depan karena gue cuma mau lo cari calon istri yang lain,” tuturnya,  ia berjalan tergesa meninggalkan temannya yang membatu. Reza melihat wajah Uci dan Raka dengan tatapan datar sebelum menyusul Indah. “Apa baru kali ini kalian bergaul sama kami?” teriak Raka membuat Indah dan Reza berhenti. “Sudahlah Ka.. Emang ini alert banget sampe harus teriak segala? Malu kita!” ucap Uci. Ia memang merasakan perasaan aneh saat matanya bertemu dengan Reza, namun bukan hal yang perlu diambil pusing kok, sumpah. “Karena mereka berdua bertingkah seolah gue perusak persahabatan ini. Apa gue orang terakhir yang ikut sama kalian? Engga kan Ci?  Gue yang macarin elo, habis itu kita putus tapi kemana-mana masih berdua dan mereka tertarik sama kita,” ucap Raka emosi, ia mengambil tangan Uci dan menariknya berjalan ke arah Indah dan Reza. “Kalianlah orang yang pengen berteman dengan sepasang mantan yang aneh ini kan? Apa gue harus ambil Uci cuma buat gue aja mulai sekarang? Meskipun kami juga hanya akan menjadi mantan untuk selamanya?” Reza mengepalkan tangannya tapi masih diam, inilah yang membuat Raka kesal. Haruskah Indah ikut campur atas kecemburuan Reza? Karena Raka merasa mereka menjadi cowok pengecut yang berlindung di balik punggung seorang cewek. “Gue Kakak iparnya Uci, dan terlepas dari hubungan ga jelas kalian-” Uci menggenggam kembali tangan Raka, ia menuntun Raka menjauhi dua orang temannya itu. Sengaja sekali berjalan diantara mereka, menabrak bahu keduanya, “Sampai ketemu di rumah Kakak ipar,”  ucapnya sambil melambaikan tangan. “Pengen gue tonjok tuh cinta pertama lo,” tutur Raka ketika keduanya sudah berada di dalam kotak elevator yang sedang bergerak turun. “Biarin aja,” jawab Uci santai. “Biarin aja?  Itu artinya gue ga akan sama lagi ke mereka.” “Hm..  Memangnya sampe kapan lo akan bersikap seolah lo hanya mantan yang baik? Sampe semua orang ngejebak gue dalam pernikahan sama temen lo itu dan beranak-pinak? Kita masih sakit ka..  Gue belum akan move on  dan lo juga terjebak gagal move on.  Jadi ayo kita hidup dengan ketawa tanpa mikir yang berat-berat.” “Apa kita ambil S2 aja?” tanya Uci, mengutarakan ide cemerlangnya pada Raka. Ia pernah mendengarkan beasiswa S2 di luar negri dari Papa Erwin, jika ia dan Raka bisa hidup bebas di luar negri tanpa ada yang mencampuri urusan mereka mungkin bahagia bukan sekedar mimpi. “Ga mutu banget omelan lo,” ucap Raka. Melanjutkan pendidikan bukan apa yang Ibunya ingin. Ibu ingin anak menantu kemudian cucu pertama di susul oleh cucu kedua. Serumit itu keinginan ibunya, tidak sesimple melanjutkan pendidikan. Pendidikan S2 bisa di biayai oleh negara tetapi memberikan menantu dan cucu, negara tidak akan pernah mau menanggungnya. “Biarin aja!” “Oi mantan! Sampe kapan lo mau gandeng gue? Sampe gue nembak lo lagi?” ucap Raka sambil melihat tangan mereka yang terpaut satu sama lain ketika lift telah membawanya pada tempat tujuan. “Dan gue nolak lo?” tanya Uci sinis lalu membuang tangan Raka menjauh darinya.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN