“Untuk apa kita ke sini?” tanya Aluna saat mobil yang ia tumpangi berhenti di depan pusat perbelanjaan. Padahal sudah hampir jam 9 malam, sebentar lagi tempat itu akan tutup.
Kaivan hanya diam dan menyuruh Aluna segera turun. Tak punya pilihan, Aluna turun dari mobil dan mengikuti Kaivan yang mengajaknya masuk ke dalam gedung.
Kaivan berjalan menuju toko ponsel. Sesampainya di sana, ia menyuruh Aluna memilih ponsel mana yang ia inginkan. Bukannya memilih dan melihat banyaknya merek ponsel mahal di depannya, Aluna justru menatap Kaivan dengan penuh tanya.
“Untuk apa?” tanya Aluna.
“Kau membutuhkannya,” jawab Kaivan. “anggap saja ini hadiah pernikahan,” imbuhnya.
Aluna hanya diam lalu melihat banyaknya ponsel di depan mata, ponsel-ponsel seharga motor yang tampak menyilaukan mata.
Aluna teringat ponselnya yang ia lupa di mana keberadaannya sekarang. Setelah apa yang terjadi hari itu, ia melupakan benda pentingnya itu. Entah tertinggal di rumah sebelum ia ke rumah Aldo atau berada di rumah Aldo atau mungkin juga tertinggal di hotel. Dirinya benar-benar lupa.
“Aku mau yang biasa saja,” kata Aluna seraya menoleh pada Kaivan.
“Kau yakin? Aku tidak akan melarangmu memilih meski itu yang paling mahal di sini,” ujar Kaivan.
“Bukankah fungsinya sama saja? Mau yang mahal atau yang biasa, yang penting bisa digunakan berkomunikasi,” kata Aluna. “selain itu, untuk apa aku memiliki benda ini? Mau berkomunikasi dengan siapa? Tidak ada yang peduli padaku,” imbuhnya sambil tersenyum kecut.
“Siapa bilang aku membelikanmu untuk berkomunikasi dengan orang lain? Aku memberimu ini hanya untuk kau gunakan berkomunikasi denganku.”
Aluna menatap Kaivan dengan pandangan tak terbaca dan senyum miris nan samar tercipta.
Tak lama Kaivan dan Aluna telah dalam perjalanan pulang. Setelah menempuh perjalan lebih dari setengah jam, akhirnya keduanya sampai di rumah.
“Ini.” Kaivan memberikan ponsel baru Aluna setelah memasukkan nomor ponselnya. Meski Aluna meminta ponsel biasa, tapi Kaivan memberinya ponsel seharga motor.
Aluna menatap ponselnya di tangan Kaivan sebelum akhirnya menerimanya dan melihat layar di mana tertulis nomor Kaivan yang diberi nama kontak, ‘Suamiku’.
Tanpa sadar sudut bibir Aluna sedikit terangkat. Ia hanya merasa … sedikit aneh. Kaivan seperti es batu yang begitu dingin, tapi bisa berpikir memberi nama kontak seperti itu.
“Aku memberi pengecualian. Kau bisa memasukkan nomor salah satu temanmu,” ucap Kaivan.
Aluna seketika menatap Kaivan sejenak lalu kembali menatap layar ponselnya dan mengatakan, “Tidak ada. Semua temanku menjauhiku karena Flora. Dia tidak membiarkan aku hidup dengan tenang bahkan di tempat kerjaku sekalipun.”
“Dan kau hanya diam saja. Itu artinya, kau yang bodoh,” sahut Kaivan segera. Ia hanya ingin memotivasi Aluna agar dirinya lebih berani melawan adik juga ibu tirinya bahkan melawan Aldo.
Aluna hanya diam. Padahal ia sudah mengatakan pada Kaivan kenapa dirinya tak bisa menawan Flora dan ibunya.
“Sudah malam, ayo tidur.”
Keesokan harinya, Kaivan bangun cukup pagi dan telah bersiap berangkat. Namun, sebelum itu ia telah lebih dulu membuat sarapan untuk Aluna. Semalam dirinya menahan diri tak menyentuh Aluna sebab, ia merasa kasihan sudah memonopolinya kemarin malam hingga pagi tadi. Meski rasanya tersiksa, tapi akhirnya dirinya berhasil tidur sampai pagi meski tidak nyenyak.
Di kamar, Aluna baru saja membuka mata di mana ia tetap dalam posisinya, berbaring menghadap langit-langit kamar. Ia pikir, Kaivan akan menyentuhnya tadi malam, tapi ternyata tidak.
Tiba-tiba Aluna mencium aroma sedap yang membuatnya bangun. Di saat bersamamu, Kaivan membuka pintu membuat pandangan mereka bertemu.
“Aku sudah buat sarapan,” kata Kaivan seraya berjalan menghampiri Aluna. Setelah berdiri di depan istrinya itu, ia mengulurkan tangan. Aluna sempat menatap tangan Kaivan yang menggantung sebelum akhirnya menerimanya. Keduanya pun berjalan menuju ruang makan yang menyatu di dapur.
Sesampainya di dapur, aroma sedap kian tercium. Perhatian Aluna lun seketika jatuh pada sepiring nasi goreng plus telur mata sapi di atas meja.
Sret!
Derit kursi terdengar saat Kaivan menarik kursi menyuruh Aluna duduk. Aluna pun duduk dengan tenang menghadap sarapannya.
Aluna menatap sarapannya cukup lama dan tiba-tiba saja matanya sedikit basah. Kaivan yang duduk di depannya pun melihatnya cukup jelas.
“Aku memasaknya untuk kau makan, bukan hanya kau lihat,” kata Kaivan.
Aluna mengangguk pelan dan mengusap setitik air mata di ujung matanya.
“Terima kasih,” ucap Aluna tiba-tiba. Biasanya ia yang selalu menyiapkan sarapan dan makan untuk ibu dan adik tirinya, tapi sekarang seseorang menyiapkan makanan untuknya.
Aluna berdoa sebelum akhirnya menyentuh makanannya. Dan saat satu suapan telah masuk dalam mulut, dirinya tak bisa menahan air mata.
“Ini … enak sekali,” kata Aluna di sela tangis kecilnya. Ia menangis bukan karena merasakan lezatnya masakan Kaivan, tapi terharu seseorang menyiapkan dan membuat makanan selezat itu untuknya.
Kaivan hanya diam, membiarkan Aluna dengan apa yang ia rasakan sambil berpikir, mungkin mulai besok dirinya akan belajar memasak makanan lain yang lebih spesial.
Tak lama, piring Aluna telah bersih bahkan tak tersisa satu butir nasi pun. Ia pun berdiri dari duduknya, mengambil piring Kaivan dan menumpuk di atas piringnya untuk ia bawa ke wastafel cuci piring.
“Taruh saja. Biar aku yang cuci,” kata Kaivan saat Aluna baru saja meletakkan piring.
“Tidak apa-apa. Biar aku saja,” kata Aluna. Itu sebagai tanda terima kasihnya pada Kaivan karena sudah membuat makanan yang lezat untuknya. Awalnya Aluna kira, dirinya akan berada seperti di neraka. Akan tetapi, perlahan pikiran itu memudar. Kaivan tak sedingin saat pertama kali mereka bertemu. Bahkan semakin bertambahnya waktunya bersama Kaivan, ia menunjukkan perhatiannya.
Aluna tersentak saat merasakan keberadaan Kaivan di belakangnya lalu memeluknya. Jantungnya pun berdebar-debar.
Kaivan memeluk Aluna sambil menghirup aroma manis dari rambut Aluna meski istrinya itu belum mandi. Ia lalu menelusupkan wajahnya di ceruk leher Aluna membuatnya terganggu.
“Aku sedang–”
“Sudah kubilang, biar aku saja,” kata Kaivan yang tangannya telah mengambil alih spons dan piring dari tangan Aluna tanpa beranjak dari posisi, tetap berdiri di belakang Aluna dengan tubuh depan menempel tubuh belakang Aluna.
Tubuh Aluna menegang saat merasakan tekanan pada b****g atasnya. Sesuatu yang keras, bagian dari tubuh Kaivan. Melihat dua tangan yang tampak begitu kokoh mengapit di sisi kanan dan kiri tubuhnya juga membuatnya seperti berada dalam kurungan singa.
Tubuh Kaivan yang lebih tinggi dari Aluna membuatnya tak kesulitan mencuci piring dengan posisinya. Ia justru menikmatinya.
Kaivan sengaja menekan tubuhnya, bahkan sengaja menggesek bagian tubuhnya yang telah mengeras. Setelah semalaman berhasil menahan diri, pagi ini ia tak bisa menahannya lagi.
Aluna tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia ingin mendorong Kaivan dan memaki perbuatan ca bulnya. Tapi, ia teringat Kaivan adalah suaminya, dan sampai detik ini tak melakukan sesuatu yang menyakitinya.
Aluna meremas tepian wastafel saat Kaivan semakin menekan tubuhnya dengan sesuatu yang seakan siap menghujam. Dan saat Kaivan berbisik di telinganya, sekujur tubuhnya kian meremang.
“Dia juga butuh sarapan,” bisik Kaivan dan entah bagaimana, sesuatu yang terbungkus celana telah berada di luar.