4. MP

1212 Kata
Aluna hanya bisa pasrah saat Kaivan mendorongnya hingga ia terlentang. Ia juga tak bisa menolak saat Kaivan memposisikan diri di atasnya, memandangnya seperti singa kelaparan. Ia sudah membuat keputusan, dan ia tak bisa mundur. Kaivan tak berhenti menatap Aluna. Meski raut wajahnya tampak datar, sebenarnya ia tengah menahan diri. Melihat Aluna hanya pasrah, seperti menerima kehadirannya dengan sukarela membuat ingin memulai permainan mereka dengan segera. Tak lama, pakaian Kaivan dan Aluna telah teronggok di sisi ranjang, sementara keduanya tengah bertukar peluh di atas ranjang yang terus berderit. Kaivan tak berhenti memandangi wajah penuh peluh istrinya yang berada di bawah kukuhannya. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan dari apa yang ia dapatkan sekarang. Meski melihat Aluna meneteskan air mata, dirinya sama sekali tak merasa bersalah. Sebab ia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan pada Aluna, ia akan membayar air mata yang Aluna keluarkan baik dulu ataupun sekarang. Keesokan harinya, Aluna bangun sangat siang. Ia hampir tak tidur semalaman karena Kaivan tak membiarkannya. Kaivan seakan tak membiarkannya istirahat barang sejenak. “Akh!” Aluna meringis saat ia bangun dan duduk di tepi ranjang. Kakinya gemetar merasakan rasa perih di bawah sana juga merasakan sesuatu yang meleleh dari organ intimnya. Kriet …. Aluna tersentak mendengar suara pintu yang terbuka. Ia pun mengarah pandangan dan menemukan Kaivan berjalan ke arahnya. Aluna menelan ludah dan segera mengalihkan pandangan saat pandangannya dan Kaivan bertemu. Melihat Kaivan membuat ulu hatinya ngilu sebab teringat apa yang mereka lakukan semalam. Tidak ada yang salah, karena mereka memang sudah sah. Kaivan meminta haknya, dan ia melakukan kewajibannya. “Aku akan pergi,” ucap Kaivan yang membuat Aluna mendongak. Aluna menatap Kaivan dalam diam, di mana sorot matanya seperti mengatakan, ‘ke mana?’ “Kau akan sendiri di rumah,” ucap Kaivan kembali. Ia lalu berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, sebelum ia mencapai pintu, langkahnya terhenti, ia setengah berbalik dan mengatakan, “jika kau berani keluar dari rumah ini, kau akan tahu akibatnya.” Tubuh Aluna menegang mendengar dan melihat bagaimana Kaivan menatapnya. Ia pun tertunduk seperti peliharaan yang patuh. “Kau boleh melakukan apapun selama aku pergi. Tapi camkan kata-kataku tadi.” Setelah mengatakan itu, Kaivan melanjutkan langkahnya, meninggalkan Aluna di kamar besar bernuansa abu itu. Aluna seperti baru bisa bernapas setelah mendengar pintu kamar tertutup. Ia merasa seperti seorang sandera. Tangan kanan Aluna terangkat menutupi sebagian wajah. Desisan samar terdengar lolos dari mulutnya. Ancaman Kaivan bagai rantai yang membelenggu kakinya. Aluna berusaha mengenyahkan pikiran mengenai Kaivan dan ancamannya. Untuk sekarang yang lebih penting adalah, kamar mandi. Ia ingin buang air kecil yang rasanya sudah di ujung juga membersihkan diri. Tubuhnya terasa berat oleh keringatnya dan keringat Kaivan yang menyatu semalam. Aluna berusaha berdiri. Namun, ia kembali terduduk saat tak mampu menahan perih. Bagaimanapun ini yang pertama, dan Kaivan memperlakukannya seperti sudah punya jam terbang tinggi. Aluna mencoba berdiri sekali lagi. Ia berpegangan pada kepala ranjang dan akhirnya berhasil. Namun, cobaannya tak sampai di situ, sebab ia harus berjalan ke kamar mandi yang meski tampak dekat, terasa begitu jauh baginya. Setelah perjuangan yang cukup melelahkan, akhirnya Aluna sampai di kamar mandi. Saat membuka pintu ia dikejutkan dengan kamar mandi yang luas dan fasilitas lengkap. Tanpa sengaja perhatian Aluna tertuju pada bak mandi di tengah ruangan. Bak mandi berbentuk lingkaran seperti bak mandi seorang raja. Di lain sisi, Flora baru saja keluar dari kamar. Seperti biasa, ia selalu bangun siang. Flora berjalan ke dapur dengan mata masih malas terbuka. Ia sesekali menaikkan tali bahu piyamanya yang melorot sambil berjalan ke arah kulkas. Mengambil minuman dingin, ia lalu duduk di kursi meja makan. “Kak! Mana makanannya!” teriak Flora melihat meja makan masih kosong. “Kakak!” teriaknya kembali sambil membanting botol air yang baru saja ia minum. “Ish, ada apa, sih, Flo!” tegur Desi mendengar Flora berteriak. Sama seperti sang putri, ia pun baru bangun. “Kakak mana? Kenapa belum ada sarapan?!” ucap Flora bernada tinggi. Perhatian Desi tertuju pada meja makan yang kosong lalu ia mengatakan, “Apa maksudmu? Aluna tidak di rumah, apa kau lupa?” Flora terdiam. Dirinya lupa. Terbiasa disiapkan makanan oleh Aluna membuatnya sama sekali tak mengingatnya. “Oh, iya, ya, Bu,” ucap Flora sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Desi berdecak. “Haish, dasar. Aku yakin dia tak akan berani pulang, jadi kita harus segera cari pembantu.” “Memangnya kalau pulang, ibu akan membuka pintu untuknya?” “Tentu saja tidak. Ibu bahkan berharap dia mati saja.” Senyum tipis Flora terukir tiba-tiba di mana ia seperti tengah membayangkan sesuatu sambil memangku rahang. “Ibu, kira-kira apa yang dilakukan Aluna sekarang? Rasanya aku penasaran sekali. Apa dia langsung depresi karena dijamah kakek-kakek? Aih, rasanya aku ingin melihatnya sekarang.” “Kalau soal itu, kenapa tidak tanya pada Aldo? Kan dia yang punya relasi dengan kakek bangkotan itu.” Flora memutar bola mata malas. “Apa ibu lupa yang terjadi kemarin? Aldo sedang merajuk seperti bayi. Benar-benar menjengkelkan.” “Tapi itu salahmu juga. Kau keceplosan,” tegur Desi. “Perawan nggak perawan, harusnya Aldo tak bersikap seperti itu. Lagipula, dia sudah punya aku, untuk apa masih memikirkan Aluna? Apalagi dia pasti sudah rusak,” kata Flora kemudian bersedekah d**a dan memasang wajah masam teringat kejadian kemarin. “Hm, dipikir-pikir, benar juga. Untuk apa Aldo marah?” “Ah, sudah lah, Bu. Berhenti membicarakan ini. Aku lapar, buatkan aku sarapan.” “Ck, kau gila? Ibu mana mau masak. Ya udah, kita makan di luar.” Di tempat lain, Aldo tengah menata uang yang ia terima dari orang yang memesan Aluna. Dipandanginya uang yang telah tertata dalam koper dan tampak berpikir. “Masih kurang,” gumamnya. Ia lalu mengambil ponselnya dan melihat apakah Flora menghubunginya atau tidak. Sayangnya, tidak. “Sial. Ada apa dengannya?” gumam Aldo. Padahal ia ingin Flora mengemis maaf padanya, lalu ia akan memerasnya untuk mendapat lebih banyak uang. Ia tahu rencana Flora dan ibunya, mereka telah mengambil alih warisan Aluna dari ayahnya, membuat mereka berdua kaya raya. Jadi, ia ingin memanfaatkannya dengan merebut semua harta itu nantinya. Tapi ia tidak bodoh, meski ia ingin harta Flora, tapi ia tak mau menjadi kacung wanita itu. Akan ia buat Flora menjadi babunya dan berakhir menjadi peliharaan setelah merebut semua miliknya. Jahat memang, tapi tujuannya sejak awal memang lah uang. Melihat Aluna berpotensi kehilangan hartanya, ia memilih Flora sebagai target incarannya menggantikan Aluna. Tiba-tiba Aldo teringat Aluna. Ada sedikit rasa penyesalan karena ternyata Aluna masih perawan. Tahu begitu, ia mencicipi Aluna lebih dulu. Akan tetapi, ia pasti tak akan mendapat uang sebanyak di koper saat ini. Masih cukup memikirkan Aluna, Aldo mencoba menghubungi orang yang menikmatinya kemarin. Sayangnya, nomor orang itu tidak dapat dihubungi. Alis Aldo mengernyit. Entah kenapa ia menjadi curiga karenanya. Aldo menjatuhkan bokongnya di tepi ranjang sambil mengotak-atik layar ponselnya. Hanya karena tak bisa menghubungi nomor kakek-kakek itu membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Merasa penasaran, ia segera menyimpan koper uangnya lalu pergi ke suatu tempat untuk mencari tahu sesuatu. Kembali pada Aluna, ia masih berendam di dalam bathtub. Berendam air hangat untuk merilekskan tubuhnya yang telah bekerja semalaman. Meski Kaivan yang mendominasi, tetap saja tubuhnya serasa remuk semalam. Cklek! Aluna tersentak saat gagang pintu kamar mandi berbunyi. Ia tampak gugup dan cemas sebab, Kaivan mengatakan dia akan pergi. Lalu, siapa yang saat ini mencoba membuka pintu itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN