Aluna mencoba membuka mata yang terasa berat seberat rasa pening kepala yang ia rasakan. Dan saat matanya terbuka, samar-samar ia melihat sosok pria berwajah tampan, tengah duduk bersandar kepala ranjang sambil membaca sebuah buku di tangan.
“Di mana ini? Apakah … aku sedang bermimpi?” batin Aluna sambil berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
Tiba-tiba mata Aluna melebar saat mulai mengingat semuanya. Bayangan apa yang Flora, Aldo dan Desi lakukan berputar dalam kepala.
Aluna meringis sambil memegangi kepala saat berusaha menegakkan punggungnya. Dan apa yang dilakukannya berhasil menarik perhatian pria yang berada satu ranjang dengannya.
Pria itu menutup buku di tangannya melihat Aluna bangun, memandangnya tanpa mengucap sepatah kata.
“Di- di mana ini? Kau … siapa?” Aluna bertanya sambil menatap pria itu, berusaha melihat lebih jelas wajah pria tampan yang terus menatapnya dalam diam. Pandangannya masih sedikit kabur, seperti baru terbangun setelah tidur seribu tahun.
“Di hotel. Dan aku, orang yang sudah membelimu.”
Deg!
Mata Aluna melebar. Pandangannya seketika menjadi jelas sekarang. “Me- membeli?” gumam Aluna dengan suara bergetar. Seketika pikiran buruk berkecamuk dalam kepala. Ia ingat bahwa Flora menyuntikkan sesuatu padanya, apakah setelah itu Flora menjualnya?
Pria itu mengangguk. “Kau tahu berapa harga yang harus aku bayar?”
Aluna hanya diam. Ia tak ingin tahu berapa Flora menjualnya, yang ada dipikirannya hanyalah, Flora benar-benar keterlaluan. Selain itu, apakah Aldo juga terlibat? Mengingat semalam ketiga orang itu seperti telah bekerjasama.
Pria itu meletakkan bukunya ke atas nakas samping ranjang kemudian mendekati Aluna. Dan entah bagaimana, dengan gerak cepat pria itu telah menindih Aluna dengan menyatukan kedua tangan di atas kepala.
Mata Aluna melebar menatap pria tampan di atasnya yang hanya memakai celana untuk menutupi tubuhnya, sementara tubuh atasnya terekspos memperlihatkan bagian d**a dan perutnya yang sempurna. Rasanya dirinya belum sempat berkedip, tapi entah bagaimana pria itu begitu cepat membuatnya berada dalam posisi seperti ini seakan-akan dia begitu ahli.
Wajah pria itu berada tepat di atas wajah Aluna, menatap kedua netra coklat gelap Aluna dengan onyxnya yang dingin. “Namaku Kaivandra. Mulai detik ini kau adalah milikku. Semua yang aku katakan, perintahkan, adalah hal mutlak yang harus kau patuhi. Sebagai gantinya, aku akan memberimu satu permintaan sebagai bentuk belas kasihku sebagai tuanmu.”
Kedua netra Aluna terpaku, seakan-akan terhisap ke dalam jelaga sekelam malam milik pria bernama Kaivandra itu. Kata-kata yang pria itu ucapkan, pun seperti mantra yang merasuk membuatnya seakan tak bisa menawar atau mengatakan tidak. Tiba-tiba ingatan yang terjadi semalam berputar dalam kepala, bagai kaset CD yang terus berputar memperlihatkan bagaimana Aldo mengkhianatinya, bagaimana Flora menyakitinya, dan bagaimana kejahatan Desi yang ia terima setelah ayahnya tiada. Tiga orang itu bahkan tega menjualnya. Kiranya, balasan apa yang pantas mereka dapatkan?
“Satu permintaan.”
Aluna terhenyak saat dua kata yang terucap dari mulut Kaivandra kembali terngiang di kepala. Satu permintaan, bisakah ia meminta menghancurkan ketiga orang yang sudah menghancurkannya?
Setetes air mata jatuh dari ujung mata Aluna, mengalir membasahi telinga saat ia memutuskan mengucapkan satu permintaannya.
“Hancurkan. Hancurkan mereka yang sudah menghancurkan aku. Aku ingin pria b******k itu dan adik tiriku menyesal seumur hidup. Dan aku ingin ibu tiriku menderita hingga akhir hidup.”
Pria itu hanya diam dan tak mengubah ekspresi wajahnya sedikitpun meski melihat dengan jelas emosi yang tersimpan dalam setiap kata yang baru saja Aluna ucapkan.
Tiba-tiba Kaivandra bangkit dari atas tubuh Aluna kemudian duduk di tepi ranjang sambil memakai kemejanya yang tersampir di sudut ranjang. Ia lalu setengah menoleh ke belakang pada Aluna yang masih dalam posisi, dengan pandangan kosong menatap langit kamar.
“Kalau begitu, bangun dan ikut denganku.”
***
Aluna pikir, pria itu akan melakukan sesuatu padanya, mengingat ia mengatakan telah membelinya. Pria itu juga telah setengah telanjang dan membuatnya berpikir yang tidak-tidak saat mereka berada dalam posisi intim sebelumnya. Tapi, pria itu justru membawanya pergi dari hotel dan sekarang dalam perjalanan ke tempat yang tidak ia ketahui.
Aluna menunduk menatap tangannya di atas pangkuan. Menatap jari manisnya yang sekarang telah bersih dari cincin pertunangan yang ia buang. Setelah ini, apa yang akan terjadi padanya? Pria di sampingnya yang saat ini tengah fokus pada kemudi begitu penuh misteri, mengklaim dirinya adalah miliknya, tapi sama sekali tak menyentuhnya seperti cerita dalam drama yang kerap ia lihat.
Aluna melirik pria yang lebih sering dipanggil Kaivan itu saat pria itu bicara dengan seseorang lewat sambungan telepon.
“Ya. Siapkan semuanya. Aku akan segera sampai.”
Aluna mengalihkan lirikan saat Kaivan meliriknya lewat ekor mata. Jantungnya berdebar, berpikir Kaivan menuduhnya menguping.
Kaivan mengakhiri panggilan dan kembali pada konsentrasinya mengemudi dengan kecepatan sedang. Meski tahu Aluna mendengarkan pembicaraannya, ia memilih diam.
Di lain sisi, Flora terus saja tertawa puas sambil sesekali menikmati anggur merah seharga jutaan yang baru saja ia beli dengan uang hasil menukar kakaknya.
“Saat ini dia pasti sedang menangis meraung. Hua … ayah, tolong, tolong aku. Tolong aku.” Flora menangis merengek seperti anak kecil, memperagakan Aluna dalam bayangannya. Ia lalu kembali tertawa, seakan melihat langsung apa yang terjadi dengan Aluna.
“Benar sekali. Dia pasti cuma bisa menangis. Kuharap dia hamil, lalu gila karena mengandung anak kakek tua bangkotan,” sahut Desi yang ikut tertawa setelahnya. “iuh, pasti anaknya nanti jelek sekali. Hahaha ….” kelakar tawa Desi membahana, memenuhi salah satu ruangan di kediamannya. Kediaman yang harusnya menjadi hak Aluna, tapi telah dikuasai olehnya.
Tiba-tiba perhatian Flora jatuh pada Aldo yang tak ikut tertawa bersamanya dan sang ibu. “Sayang, ada apa denganmu? Kenapa kau hanya diam?” tanya Flora.
Aldo yang duduk di samping Flora, menunjuk jidatnya yang sebelumnya menjadi korban lemparan Aluna. “Kau tak lihat ini? Jidatku masih biru. Aku masih kesal, harusnya aku membalasnya sebelum meninggalkannya di hotel.”
Flora memangkas jaraknya dan Aldo, menyentuh jidat Aldo yang memar lalu meniupnya dan berakhir dengan memberinya kecupan. “Ayolah, Sayang. Biarkan saja. Lagipula, dia sudah dapat bayaran setimpal. Dia akan ditiduri kakek-kakek bangkotan, kau kira wanita mana yang rela tubuhnya dijamah kakek tua? Tidak ada. Apalagi, kakak masih pera–”
Flora menutup mulutnya saat ia hampir keceplosan.
Alis Aldo berkerut tajam. “Apa?” tanyanya.
“Ah, tidak-tidak. Maksudku, kakek itu pasti sangat marah dan akan merusak Aluna karena sudah tidak perawan,” ujar Flora dengan sedikit gugup. Ia sudah membohongi Aldo, mengatakan kakaknya sudah tidak perawan yang membuat Aldo kecewa. Flora sengaja ingin menghancurkan hubungan Aluna dan Aldo.
“Tidak, kau mengatakan Aluna masih perawan? Tapi kau mengatakan padaku dia sudah tidak perawan setelah lulus kuliah. Itu yang membuatku kecewa padanya dan memilihmu, tapi apa yang baru saja kau katakan?”
Flora mulai semakin gugup dan berusaha berkilah.
“Al, sudah lah, kenapa kau masih mempermasalahkannya? Lagipula, kau sudah menukarnya dengan uang. Dan sekarang, dia juga sudah rusak.”
“Jadi kalian berdua menipuku?!” teriak Aldo seraya bangkit dari duduknya. “kalian membuat Aluna menjadi buruk di mataku dan kau.” Menunjuk Flora. “menggodaku hingga aku berpaling dari Aluna dan memilihmu. Jadi kalian sengaja melakukan semua ini?!”
Flora berdiri berusaha meyakinkan Aldo bahwa tuduhannya itu tidak benar. Tapi, Aldo sudah terlanjur tahu kebusukannya.
“Al, dengar dulu penjelasanku. Aku tidak–”
“Agh!” Aldo berteriak lalu mendorong Flora hingga terduduk keras di sofa. “kalian berdua benar-benar iblis!” teriaknya sebelum akhirnya pergi dengan emosi meluap.
“Aldo! Al!” Flora berteriak berusaha menahan Aldo pergi tapi percuma, Aldo sama sekali tak peduli. “Aldo! Aldo!” Flora berteriak histeris sebelum akhirnya menangis. Tawa yang beberapa waktu membahana, kini digantikan dengan deru tangis keras.
Desi segera memeluk Flora, berusaha menghentikan tangisan anak kesayangannya. “Flo, sudah.”
“Tapi, Bu. Aldo, bagaimana kalau Aldo kembali pada Aluna?” ucap Flora di sela tangisannya.
“Stt … itu pasti tidak mungkin. Lagipula dia sudah terlambat, Aluna sekarang sudah rusak di tangan kakek bangkotan. Daripada memikirkan itu, lebih baik memikirkan cara agar Aldo tetap di sisimu,” tutur Desi sambil mengusap air mata yang membasahi wajah sang putri.
Flora berusaha meredam tangisnya. Ibunya benar. Aldo pasti tak akan sudi kembali pada Aluna, dan Aluna sendiri pasti tak akan memaafkan Aldo. Jika sampai Aluna dan Aldo kembali bersama, dirinya bisa memisahkan mereka kembali sama seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Flora mengusap jejak air mata dan raut wajah penuh kesombongan kini terpancar. Dirinya tak akan terpuruk hanya karena masalah ini. Terbiasa mendapatkan apa saja yang ia mau dengan cara apapun, ia percaya diri bisa membuat Aldo kembali bertekuk lutut padanya dan menyesal sudah berbuat kasar padanya tadi.
Aldo mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi saat meninggalkan rumah Flora. Namun, saat mobilnya telah cukup jauh, ia mengurangi kecepatan, mobilnya pun melaju sedang.
Raut wajah penuh emosi yang sebelumnya Aldo tunjukkan pada Flora dan Desi kini lenyap, bahkan telah lenyap setelah ia keluar dari rumah. Tiba-tiba satu tangan Aldo terangkat menutupi sebagian wajah setelah ia menepikan mobilnya. Seringai bengis pun perlahan terukir diikuti kelakar tawa setelahnya.
Kembali pada Aluna, dirinya dibuat mematung setelah Kaivan menuntunnya ke sebuah tempat di mana terdapat beberapa orang pria yang saat ini menatap lurus ke arahnya.