6. Karena Cinta

1148 Kata
Aluna memejamkan mata sejenak, terpikirkan apa yang telah Kaivan katakan sebelumnya. Pria itu mengatakan, dia melakukan semua ini karena cinta, karena telah mencintainya sejak lama. Tentu saja itu mengejutkan. Seingatnya, ia tak pernah mengenal Kaivan, dan saat ia bertanya bagaimana bisa Kaivan mencintainya, pria itu tak mengatakan apapun. Aluna turun dari ranjang lalu berjalan ke arah jendela besar kamar itu. Ia berdiri di depan jendela, menyibak gorden untuk melihat pemandangan di luar. Untuk saat ini, ia benar-benar merasa berada di dalam sangkar emas. Di lain sisi, Kaivan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia hendak menemui seseorang untuk membantunya menyelesaikan masalah Aluna dengan ibu dan adik tirinya. Tak lama kemudian, ia pun sampai di tempat yang sudah ditentukan. Turun dari mobil, Kaivan berjalan memasuki kafe di depannya. “Maaf membuatmu menunggu,” ucap Kaivan setelah ia berdiri di depan meja nomor 10. Ia menarik kursi di depan orang yang ia temui, kemudian duduk. Kini mereka telah duduk berhadapan dibatasi meja berbentuk lingkaran. “Jadi, ada maksud dan tujuan apa anda membuat janji denganku? Masalah apa yang ingin anda selesaikan?” tanya orang itu yang tak lain adalah, pengacara Desi. Kaivan sengaja menemuinya untuk mencari tahu mengenai warisan Aluna. “Tidak ada masalah,” kata Kaivan yang membuat pria di depannya mengernyitkan alis. “aku hanya ingin bertanya, apakah aku bisa merebut semua aset milik klienmu.” “Ah, maaf, apa maksud anda?” tanya pengacara bernama Gigih Perkasa tersebut. “Aku ingin merebut aset berharga klienmu tanpa membelinya,” jawab Kaivan dengan wajah yang tetap tenang. Namun, tampak dingin di mata Gigih. “Maaf, Tuan, aku tidak tahu apa yang anda bicarakan. Dan jangan membuatku tertawa, mana mungkin anda bisa memikirkan aset orang lain tanpa membelinya?” Kaivan hanya diam. Namun, sorot matanya menyiratkan sebuah makna. “Tidak bisa?” kata Kaivan di mana suaranya terdengar lebih dingin dari raut wajahnya. Gigih mencebik samar melihat bagaimana cara Kaivan menatapnya. “Begini saja, semua bisa dibicarakan. Aku tidak bisa sembarang bicara pada orang yang bukan klienku,” kata Gigih. Kaivan tak memberi tanggapan, tapi mendengar bahasa Gigih, dirinya sudah bisa menebak berapa liciknya pria itu. *** “Mau apa kau ke sini?” Aldo menatap Flora datar saat bertatap muka dengannya. Ia baru saja pulang, baru saja akan istirahat sampai mendengar suara bel dan menemukan Flora saat ia membuka pintu. “Sayang, kau masih marah?” tanya Flora dengan nada dibuat-buat, seperti seorang anak yang merengek. “lagipula, kenapa sih marah, toh Aluna sekarang juga sudah rusak. Buat apa menyesal? Kau kan sudah punya aku. Kita juga sudah melakukannya, kenapa masih memikirkan Aluna?” Aldo hanya diam dan membuang muka. Dalam hati ia berkata, bujuklah aku, rayulah aku. Flora merangkul tangan Aldo dan merayunya dengan manja. “Aku ada kabar baik, kau tahu? Ibu berhasil merebut semua aset Aluna. Semua harta atas nama Aluna telah berpindah tangan padaku dan ibu.” Tanpa Flora sadari, seringai tipis muncul di bibir Aldo. “Sungguh? Bagaimana kalian melakukannya?” tanya Aldo berpura-pura tak peduli tapi ingin mengetahuinya. “Sayang, apa kau lupa? Aku kan sudah memberitahumu.” Aldo yang sebelumnya menatap Flora, kembali membuang muka. “Eh, untuk merayakan keberhasilanku, bagaimana kalau kita pergi liburan? Kau mau ke mana? Kita akan pergi ke manapun kau mau,” ucap Flora. Aldo hanya diam. Namun, ia tampak berpikir lalu menatap Flora. “Kau yang akan menanggung semuanya?” “Ya, tentu saja. Tapi, kau memaafkan aku, kan?” Aldo tersenyum tipis. Ia menyelipkan anak rambut Flora ke telinga dan mengatakan, “Tentu saja. Sebenarnya aku pura-pura marah untuk melihat reaksimu. Aku pikir kau sengaja memanfaatkan aku untuk menyingkirkan Aluna, tapi sepertinya aku salah. Maaf.” Flora tertegun sejenak, matanya perlahan mulai basah. “Dasar, jadi kau hanya bersandiwara?” ucapnya sambil memukul pelan d**a Aldo, berpura-pura marah telah dipermainkannya. Aldo mendekap Flora, menghentikan kelakuan Flora yang merajuk seperti anak-anak. “Maaf, Sayang. Sekarang aku tahu kau tidak hanya ingin memanfaatkan aku.” “Tentu saja tidak. Kau pikir aku begitu? Aku ini mencintaimu. Jika tidak, untuk apa aku ke sini dan meminta maaf juga mengemis padamu?” “Aish, iya-iya, maafkan aku. Jadi, kapan kita akan pergi? Aku tak sabar ingin liburan bersamamu,” kata Aldo kemudian mendekatkan wajahnya, menciumi pipi Flora dengan manja. “Ah, Sayang. Kita di luar, bagaimana kalau ada yang lihat?” Flora mendorong wajah Aldo, melarang Aldo menciuminya meski sebenarnya ia senang. Ia senang karena hubungannya dengan Aldo kembali membaik. Ia tak sadar jika Aldo sudah merencanakan ini semua, menyusun rencana dengan matang. Dengan berpura-pura mengatakan bahwa kemarahannya kemarin hanya sandiwara, Flora tak akan sadar ia luluh karena bujukan liburan gratis. Selain itu Aldo juga sengaja ingin mengetes apakah ia bisa mudah membuat Flora memberikan miliknya atau tidak. “Sayang, aku menemukan apartemen yang bagus. Tapi uangku tak cukup untuk membelinya, padahal aku berpikir kita bisa menempati apartemen itu setelah menikah,” kata Aldo dengan memasang wajah putus asa. “Sayang, apa uang yang kakek itu berikan tidak cukup?” tanya Flora seraya mengusap pipi Aldo. “Tentu saja tidak. Lagipula uangnya juga sudah kuberikan padamu juga, kan.” “Oh, ya ampun, maafkan aku. Ya sudah, berapa harga apartemennya? Aku akan memikirkannya, lagipula itu untuk tempat tinggal kita nantinya, bukan?” Senyuman tipis Aldo terukir samar. Ia segera memeluk Flora lalu mengangkat tubuhnya membawanya masuk ke dalam rumah. Aldo mendudukkan Flora di sofa ruang tamu kemudian membuka celananya di mana ia berdiri tepat di depan Flora. “Sayang, apa yang kau lakukan?” Flora membuang muka dengan wajah memerah, menyingkirkan pandangannya dari aset Aldo yang berada di depan wajahnya. Aldo membungkuk, kedua tangannya berada di sisi kanan dan kiri Flora menakan sofa. Posisi Aldo itu pun membuat Flora menyandarkan punggungnya ke sofa. “Anggap saja sebagai hadiah karena kau sudah menuruti keinginanku,” kata Aldo. Flora menyentil aset Aldo membuat Ado meringis. “Aku bilang akan memikirkannya. Tapi … baiklah. Aku terima hadiahnya.” Geraman tertahan terdengar dari Aldo. Dirinya benar-benar seperti julukan yang sekarang berkembang yakni mokondo. Cukup lama kemudian, Flora telah berada di atas tubuh Aldo. Tubuhnya naik turun seirama dengan d**a Aldo yang baik turun karena mengambil napas serakah setelah permainan mereka yang melelahkan tapi terasa nikmat. Flora menyeka keringatnya kemudian mengangkat kepala menatap Aldo dari posisinya. “Aku hampir lupa,” tanya Flora dengan napas masih sedikit terengah. “menurutmu, di mana Aluna sekarang? Karena sama sekarang dia tidak pulang ke rumah. Bagaimana … bagaimana jika dia lapor polisi?” Aldo terdiam, bukan sekedar mengumpulkan kembali tenaga yang terkuras, tapi juga teringat yang terjadi sebelumnya. Sebelumnya ia pergi ke hotel tempatnya meninggalkan Aluna, dan anehnya saat ia bertanya pada resepsionis, resepsionis itu mengatakan tak ada pria tua yang datang malam itu. Ia pun penasaran, dan meminta untuk melihat pantauan cctv. Sayangnya, pihak hotel tak memberinya izin. “Aku merasa … ada yang mencurigakan.” Flora menatap Aldo dengan dahi berkerut. “Mencurigakan? Apa maksudmu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN