Brian meraih kancing terakhir dan melepasnya dengan mudah. Tiffany menahan bajunya dengan putus asa, tapi saat melihat ekspresi Tiffany yang hampir menangis, Brian pun terkekeh. Dengan santai, ia melepaskan Tiffany, lalu berbalik melangkah ke meja kerjanya.
Ia menyandarkan tubuhnya di tepi meja, melipat tangan di d**a, lalu menatap Tiffany dengan tatapan yang dingin sekaligus mengintimidasi.
“Jika kamu terus mengulur waktumu, maka nyawa ayahmu pun semakin dekat ke ujung tombak. Ingat Tiffany, nyawa ayahmu ada di tanganmu sekarang. Lakukan perintahku dan pergi membawa uang yang kamu butuhkan, atau tetap diam hingga kamu mendengar kabar jika nyawa ayahmu sudah melayang.”
Tiffany menatapnya dengan penuh kebencian. Pria itu… pria yang terkenal kejam, dingin, suka berganti pasangan, dan tak pernah mengampuni musuhnya. Pria yang memiliki kesempurnaan paras dan kekayaan, tapi selalu menggunakan kekuasaan untuk mendapatkan apa pun yang ia inginkan.
Dan dengan sorot mata yang tajam menatap Brian, Tiffany akhirnya menanggalkan blusnya tanpa mengalihkan pandangannya. Tubuh putih mulus itu terlihat sempurna, membuat Brian menelan salivanya.
Tiffany terus melanjutkan, hingga akhirnya tinggal pakaian dalam yang tersisa di tubuhnya. Dan di saat itulah ia merasa harga dirinya benar-benar telah hilang. Tiffani terdiam, tangannya penuh keraguan untuk melanjutkan.
“Lanjutkan.”
Suara Brian kembali membuat tangan Tiffany bergerak, ia hendak melepas pengait bra-nya. Namun tiba-tiba…
Suara ketukan pintu membuat Tiffany berhenti. Jantungnya serasa melompat ke tenggorokan. Panik, ia menoleh ke arah Brian. Tatapan matanya seakan bertanya, Apakah dia akan membiarkan seseorang masuk, saat aku dalam keadaan seperti ini?
Brian sempat terdiam, tapi kemudian — seolah masih menyisakan hati nurani, ia melepas jas yang dikenakannya, lalu melangkah mendekat. Tanpa berkata apa-apa, pria itu menyampirkan jas tersebut di tubuh Tiffany yang kini hanya tersisa pakaian dalam.
Tiffany membeku. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya, tapi yang jelas ada kelegaan di hatinya saat jas Brian mendarat di tubuhnya. Setidaknya tidak ada orang lain lagi selain Brian, yang melihat tubuhnya.
Brian berjalan ke arah pintu dan membukanya. “Ada apa?” tanyanya dingin.
Devon, asisten pribadi Brian, berdiri di ambang pintu. Ia sempat melirik sekilas ke dalam ruangan, dan pandangannya langsung jatuh pada pakaian Tiffany yang berserakan di lantai. Tatapan matanya berubah paham, meski ia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi terkejut.
“Saya sudah membebaskannya, sesuai perintah Anda, Tuan,” ucap Devon tenang.
“Kamu sudah mengatakan apa yang aku mau?”
Brian mengangguk kecil. “Sudah, Tuan.”
“Bagus. Kau boleh pergi.”
Devon segera menunduk hormat, lalu menutup pintu rapat-rapat. Kini hanya ada mereka berdua lagi di ruangan itu.
Brian berbalik, melangkah kembali mendekati Tiffany. Dengan kasar, ia menarik jas yang tadi dipakaikan pada gadis itu, hingga Tiffany tersentak kaget.
“Ayahmu sudah bebas. Jadi, kamu tidak perlu memikirkannya lagi,” ucap Brian datar.
“Benarkah?”
Brian berdiri di hadapan Tiffany, tatapannya menusuk. Tangannya terulur, membelai d**a Tiffany perlahan, membuat gadis itu mundur beberapa langkah untuk menghindar.
“Aku sudah membebaskan ayahmu dari rentenir itu. Aku sudah menepati janjiku. Sekarang tinggal kau yang harus menyelesaikan tugasmu… untuk menunjukkan seluruh tubuhmu padaku.”
Tiffany menggeleng cepat. “Lalu bagaimana… jika aku tidak mau melakukannya?”
Brian menyunggingkan senyum tipis yang membuat bulu kuduk Tiffany meremang. Ia tiba-tiba menarik pinggang Tiffany, hingga tubuh ramping itu langsung jatuh ke dalam pelukannya.
“Kalau kamu tidak mau… maka aku sendiri yang akan memaksamu. Kamu seharusnya tahu jika aku tidak akan membuang uang secara percuma,” jawab Brian tegas.
Tangannya sempat menurunkan tali penutup d**a Tiffany, membuat gadis itu terperanjat.
Namun, tak lama kemudian, Brian justru melepaskannya kembali, lalu mendorong tubuh Tiffany dengan ringan.
“Kenakan kembali pakaianmu. Tapi ingat… besok kamu harus bersiap sebelum Devon menjemputmu untuk menemuiku di apartemenku.”
“Untuk apa?’
“Jangan banyak tanya! Segeralah pergi dari sini, sebelum aku berubah pikiran dan benar-benar menikmati tubuhmu itu!” sentak Brian dingin.
Tiffany sontak terperanjat. Dengan wajah pucat, ia segera menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu memakainya dengan cepat. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah cepat menuju pintu.
“Tunggu.”
Suara Brian kembali menghentikan langkahnya.
“Jika sampai kau tidak ikut Devon besok, maka aku pastikan kamu dan ayahmu akan menyesal seumur hidup,” ucap Brian tegas, dengan tatapan yang membuat Tiffany membeku sejenak.
Tiffany hanya menoleh sekilas, menahan rasa kesal di dadanya, lalu kembali melangkah keluar. Saat pintu hampir tertutup, matanya sempat menangkap sosok Devon yang berdiri tak jauh dari ruangan. Lelaki itu menunduk, seolah sengaja menghindari tatapan Tiffany.
Tiffany mengalihkan pandangannya dari pria yang mengantarnya masuk ke ruangan Brian, sore tadi. Ia hanya menarik napas panjang, menahan perasaan campur aduk dalam dadanya, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu dengan langkah tergesa.
Sementara itu, di dalam ruangan, Brian menyandarkan tubuhnya ke kursi. Rahangnya mengeras, kedua matanya menyipit tajam. “Sial, tubuh gadis itu… benar-benar membuatku kesal. Bagaimana bisa seorang gadis kampungan sepertinya, bisa mengusikku?” geramnya dalam hati.
Brian berusaha menenangkan juniornya, yang sempat menegang saat melihat d**a Tiffany yang menonjol.
Tak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar. “Tuan, apa saya mengganggu?” Devon melangkah masuk setelah mendapat izin.
“Katakan apa yang perlu kau katakan,” balas Brian.
“Sesuai permintaan Anda, saya sudah mendapatkan data tentang gadis itu. Reputasinya sangat baik. Dia bekerja keras menghidupi ayahnya sejak ibunya meninggal. Bahkan selama ini, dia hanya pernah sekali pacaran— itu pun jarang bertemu. Hubungan mereka putus karena Nona Tiffany menolak untuk tidur bersama,” Devon menyerahkan selembar berkas.
Brian menatap lembaran itu dengan penuh perhatian. Senyum miring kembali muncul di wajahnya. “Bagus. Siapkan berkas yang kubutuhkan, dan pastikan dia datang tepat waktu ke apartemenku besok.”
“Baik, Tuan.” Devon mengangguk lalu meninggalkan ruangan.
Sendirian, Brian menyeringai penuh rencana.
>>>>>>>>>>>>>
Di sisi lain, Tiffany yang baru tiba di rumah terperanjat melihat ayahnya sudah ada di ruang tamu. Sang ayah duduk santai di sofa, menghitung lembaran uang yang menumpuk di tangannya.
Tiffany melangkah cepat, lalu berhenti tak jauh dari ayahnya duduk. “Uang dari mana?!” tanyanya ketus.
“Aih, duduklah dulu, sayang. Kamu baru pulang, jangan langsung marah-marah begitu sama ayah. Dan uang ini…, ini rezeki kita.” Ayahnya tersenyum tenang, seakan tak ada beban.
Tiffany memutar bola matanya, lalu duduk di samping ayahnya dengan kesal. “Katakan, Ayah. Dari mana semua uang ini?”
Sang ayah menepuk-nepuk lembaran itu sambil terkekeh. “Ini dari pria yang menolong kita. Dia sudah menebus hutang Ayah kepada rentenir dan memastikan mereka tidak akan mengganggu lagi. Lalu, dia juga memberikan ini sebagai jaminan… asal kamu menemuinya besok.”
“Apa?! Ayah menerima uang ini agar aku mau menemuinya besok?!” suaranya meninggi. Tiffany kembali berdiri dan berkacak pinggang. “Ayah… jangan bilang kalau Ayah menjualku pada pria itu!”
Mata Bily melirik ke arah anaknya…