Ia pun merasa terkejut hingga matanya langsung membulat tak percaya.
“Kamu memintaku untuk menjadi istrimu di atas kontrak?” ujarnya tercekat, lalu menatap tajam ke arah Brian.
“Tanda tangani saja. Kamu tak akan rugi.”
“Hah…? Untuk apa aku menandatangani kontrak konyol ini? Apa kamu pikir aku mau menjadi istrimu, meski hanya istri kontrak?! Apalagi kamu sudah seperti teh celup, amit-amit kalau aku sampai—”
BRAK!
Suara bentakan meja membuat Tiffany terdiam, tak melanjutkan ucapannya. Brian menghantam meja kaca dengan keras hingga tubuh Tiffany tersentak mundur saking kagetnya.
“Siapa kamu hingga berani bicara lancang seperti itu padaku?!” tatapan pria itu membara penuh amarah. Ia benar-benar murka dengan ucapan Tiffany yang menurutnya terlalu melampaui batas.
“Aku sudah membantu ayahmu! Bahkan memberikan uang kepadanya agar dia tidak menyusahkanmu lagi. Dan sekarang aku hanya memintamu menandatangani kontrak itu. Tapi kamu justru tak bisa menjaga mulutmu!”
Namun, Tiffany sama sekali tak gentar. Ia berdiri, lalu menatap balik Brian dengan mata yang berani.
“Biar aku bukan siapa-siapa, dan memang bukan orang kaya sepertimu, tapi bukan berarti kamu bisa mengaturku. Apalagi memutuskan sesuatu tanpa bertanya dulu padaku!” Tiffany menekankan setiap kata dengan suara bergetar, bukan karena takut, tapi karena emosi.
“Kamu—”
“Dan tentang uang yang kamu berikan pada Ayahku, itu kemauanmu sendiri. Bukan permintaanku! Lalu sekarang kenapa justru kamu memaksaku menandatangani sesuatu yang nggak jelas begini?”
Dengan geram, Tiffany melemparkan berkas itu kembali ke meja. Napasnya terengah karena menahan kesal.
Brian menggenggam tangannya erat, rahangnya mengeras. Sepanjang hidupnya, belum pernah ada satu pun orang yang berani menolak tawarannya. Apalagi seorang gadis biasa yang bahkan tidak sebanding dengannya. Baginya, ini adalah penghinaan besar.
“Aku tidak menerima penolakan, Tiffany!” Suaranya berat dan dingin.
“Aku tetap menolak.”
Rahang Brian semakin mengeras. “Tanda tangani! Atau aku pastikan, kamu dan ayahmu akan menyesal seumur hidup.”
Tiffany menghela napas, lalu memutar bola matanya, seolah lelah dengan sikap arogan pria itu.
“Dan aku juga sudah bilang, kekuasaanmu tidak berarti kamu bisa mengaturku! Kalau perlu, aku akan meminta Ayahku mengembalikan uangmu. Dan soal uang untuk menebus rentenir, sesuai perjanjian aku sudah menepatinya dengan melepaskan pakaianku di hadapanmu. Jadi jangan seenaknya memelintir keadaan. Aku yakin kamu bukan termasuk orang yang suka menjilat ludahmu sendiri. Iya kan, Tuan Brian Valtone!?”
Ia meraih tas kecilnya di sofa, lalu melangkah cepat menuju pintu.
Brian terperanjat dengan keberanian Tiffany. “Berhenti di sana! Atau kau tidak akan pernah keluar dari sini!” bentaknya.
Suara Brian menggema di seluruh ruangan, tapi Tiffany tidak peduli. Ia terus melangkah ke arah pintu, menggenggam erat gagang pintu dan berusaha membukanya. Anehnya, pintu itu terkunci rapat. Padahal tadi, wanita penghibur itu bisa dengan mudah keluar.
Jantung Tiffany berdegup panik. Ia mencoba lagi, menarik kuat-kuat gagang pintu, tapi tetap tak bergeming.
Perlahan ia menoleh. Brian sedang berdiri bersandar santai, dengan senyum miring di wajahnya. Di tangannya, tergenggam sebuah remote kecil berwarna hitam.
“Buka pintunya,” suara Tiffany terdengar lirih, tapi jelas menyimpan kekesalan.
Brian mengangkat remote itu, memperlihatkannya dengan sengaja. “Pintu di apartemen ini sudah modern. Tidak bisa dibuka dengan cara biasa. Hanya aku yang bisa mengendalikannya.”
Brian mendekat ke arah Tiffany dengan senyum simpul yang masih bertahan di bibirnya.
“Sudah kubilang, kalau kamu tidak menurut… maka aku bisa mengurungmu di sini selama aku mau. Seharusnya kamu menurut dan mempermudah hidupmu sendiri, Tiffany.”
Tiffany menatap Brian dengan penuh amarah. Hatinnya berteriak ingin sekali mencakar wajah pria itu hingga hancur. Tapi ia tahu, ia tidak punya kuasa. Posisinya saat ini terlalu rapuh untuk melawan.
“Kamu mau ini, Kan?”
Tiba-tiba Brian melempar kunci ke arah sofa. Bunyi kecil terdengar saat benda itu jatuh di atas permukaan empuk. Secepat kilat mata Tiffany mengejarnya. Itu satu-satunya harapan agar ia bisa keluar dari rumah neraka ini.
“Maka ambillah sendiri. Kalau memang kamu benar-benar ingin pergi.”
Jantung Tiffany berdebar kencang. Ia tahu jika mungkin itu hanyalah sebuah jebakan, tapi apa pilihannya selain mencoba? Dengan langkah hati-hati, ia bergerak mendekat.
Namun baru satu langkah… pinggangnya ditarik kuat, hingga tubuhnya terjerat dalam pelukan pria itu.
“Lepaskan aku!” ucap Tiffany sambil meronta. Dadanya sesak. Tangannya berusaha mendorong, tapi Brian seolah tak bergeming.
Semakin keras Tiffany menolak, semakin erat pula pelukan itu mengurungnya. brian mendekatkan wajahnya, hingga hembusan napas hangatnya menyapu kulit leher Tiffany, membuat bulu kuduk meremang. Lalu Brian pun berbisik,
“Bagaimana kalau aku tidak ingin melepaskanmu? Apa kamu tahu… aku sangat menyukai wanita yang menantang seperti dirimu. Kamu pasti sangat memuaskan dia atas ranjang.”
Perut Tiffany mual mendengarnya. ‘Ya Tuhan, kenapa aku harus terus terjebak bersama pria semacam ini?’ pikirnya.
Dengan segenap tenaga, Tiffany akhirnya berhasil mendorong tubuh pria itu. Napasnya terengah, tapi ia tak punya waktu. Matanya langsung mencari kunci yang tadi sempat ia lihat di sofa. Namun baru saja ia menjulurkan tangan, tubuhnya kembali ditarik kasar hingga terjerembap ke sofa empuk.
Remote kunci itu bahkan terlempar entah ke mana. Harapannya lenyap seketika.
“Apa yang mau kamu lakukan padaku?!” pekik Tiffany, suaranya bergetar antara marah dan takut.
Brian menatapnya dengan sorot mata dingin. Tidak ada jawaban, hanya senyum sinis yang membuat Tiffany semakin ngeri. Ia mengurung tubuh gadis itu dengan kedua lengannya, membuat Tiffany terkunci tanpa ruang untuk melarikan diri.
“Aku penasaran,” desis Brian, wajahnya semakin mendekat. “Bagaimana rasanya menikmati gadis kampung sepertimu? Gadis keras kepala yang pura-pura polos di hadapanku, padahal dia ahli dalam segala hal.”
“Aku tidak seperti yang kau pikirkan.”
“Hem, benarkah. Kalau begitu, buktikan,” sahut Brian yang semakin mendekatkan wajahnya.
Tiffany memejamkan mata rapat-rapat. ‘Jangan sentuh aku… jangan…!’ hatinya menjerit, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Nafasnya memburu, dadanya bergemuruh menahan teror.
Lalu… suara tawa kasar terdengar.
Tiffany spontan membuka mata. Brian menjauh sedikit sambil menatapnya penuh penghinaan.
“Kamu benar-benar bodoh. Apa kamu pikir aku sungguh-sungguh ingin menikmati tubuh gadis kampung seperti kamu? Tidak, Tiffany. Kamu sama sekali bukan levelku. Bahkan aku sama sekali tak berselera menyentuhmu.”
Kata-kata itu menampar Tiffany. Seketika darahnya mendidih. Ia berdiri dengan tangan mengepal, tatapannya tajam menusuk pria di hadapannya.
“Kalau begitu kenapa kamu memaksaku untuk menjadi istri kontrakmu?! Dan apa kamu lupa jika baru saja menyentuhku!” bentak Tiffany, suaranya pecah oleh emosi.
Brian terkekeh. “Karena kamu hanya gadis bodoh yang bisa aku kendalikan. Kamu tidak punya kemampuan apa pun, selain menurut padaku. Kamu terlalu bodoh, bahkan kontrak yang sudah aku sodorkan pun belum kamu baca. Aku sudah memberi kesempatan hidupmu, Tiffany. Tapi karena dasarnya kamu gadis desa yang dungu, kau tidak bisa memanfaatkannya.”
Tiffany terdiam. Urat di lehernya menegang, rahangnya terkunci. Hatinya berkecamuk antara marah, dan benci.
“Pikirkan baik-baik. Tanda tangani kontrak itu… atau hidupmu akan berakhir hari ini. Karena meskipun aku tidak berselera pada gadis sepertimu, tapi aku bisa memaksa diriku hanya untuk menghancurkanmu.”
Tiffany terdiam, lalu menatap map coklat yang belum bergeser dari tempatnya sedikitpun, setelah ia melemparnya.
‘Haruskah aku semakin jatuh ke jurang?’