15. Kecurigaan

1109 Kata
Mendekati acara anniversary Tante Dita, Kalila pun ikut serta mengurus dan menyiapkan segalanya. Tante Dita yang sudah dianggap ibu kedua untuknya, membuat Kalila ingin memberikan sedikit kejutan untuk wanita itu. Kalila merasa tidak memiliki masalah apapun dengan keluarga Randeas, kecuali Kania. Setelah gagalnya pertunangan waktu itu, Kalila semakin menyadari sifat Kania, ia memiliki jiwa pendendam yang cukup besar. Bahkan Kania sama halnya dengan Ayahanya yang tidak mau lagi mengenal keluarga Randi setelah insiden pertunangan hari itu. Seharusnya Kania tidak perlu bersikap seperti itu, sebab dirinyalah yang membuat keadaan semakin kacau. “Tolong buatkan strawberry cheese cake untuk acara kali ini. Tante Dita sangat suka kue itu,” Kalila sedang berada di dapur khusus yang ada di samping ruang kerjanya dan di dalam dapur khusus itu tidak hanya ada dirinya saja, tapi juga Irman dan Stevi. Irman chef yang serba bisa, tidak hanya membuat makanan lezat tapi Irman juga pandai membuat cake. Tali karena di restoran milik Kalila ini tidak terlalu mengutamakan dessert, jadi mereka hanya membuat beberapa macam dessert sebagai pendamping saja. Rencananya Kalila akan mencari seorang chef lagi yang dikhususkan untuk membuat dessert karena akhir-akhir ini banyak dessert viral yang mungkin saja bisa menaikan omset restoran. “Ukuran berapa?” Tanya Irman. “Medium saja.” Kalila dan Stevi tengah menyusun kartu nama yang akan ditata diatas meja sebagai tanda untuk tamu yang hadir malam nanti. “Dia orang tuanya Randeas, mantan adikmu Kania?” Tanya Irman lagi Hubungan Kalila dan Irman cukup dekat, selain bertukar pendapat perihal pekerjaan, keduanya pun pernah beberapa kali bicara masalah pribadi. Irman memang tidak banyak bicara, seperti yang pernah Stevi ucapkan beberapa waktu lalu. Lelaki itu terlalu datar, seperti triplek. memang benar, Irman tipe lelaki seperti itu tapi dibalik sikap dinginnya yang terkadang menyebalkan, Irman adalah pendengar dan pengamat yang baik. Irman sering memperhatikan ekspresi seseorang hanya dari tatapan dan senyuman. Terkadang Kalila berpikir lelaki itu memiliki indra ke enam yang bisa membaca pikiran seseorang karena saat Irman mengatakan seorang pengunjung akan kembali lagi dengan memesan menu yang sama, maka hal tersebut benar-benar akan terjadi beberapa hari kedepannya. “Benar.” Balas Kalila. “Aku nggak akan ikut serta memastikan semua ini berjalan sempurna kalau bukan tamu istimewa.” “Kamu nggak profesional, Kal.” Sindir Irman. “Hanya tamu-tamu spesial saja yang bisa dijamin sangat owner.” Lanjutnya. “Nggak gitu juga, untuk tamu lainnya aku tetap memperlakukan mereka dengan istimewa. Hanya saja untuk kali ini ada pengecualian karena Tante Dita sudah dianggap seperti Ibu kedua.” “Kalau saja jadi mertua, pasti lebih menyenangkan bukan?” Irman tersenyum jahil. “Tentu tidak,” Kalila langsung menyangkalnya. “Aku tidak mau terus menerus berseteru dengan adikku. Dia masih mencintai Randi sampai saat ini dan aku tidak mau melibatkan diri dalam hubungan rumit seperti itu. Semacam cinta segi tiga.” Kalila berdecak. Stevi memilih diam, diantar obrolan Irman dan Kalila. Wanita itu fokus pada pekerjaannya meski kedua telinganya bisa mendengar dengan jelas apa saja yang mereka bicarakan. .”Tapi jujur saja, aku merasa ragu dengan pernikahan kalian.” “Kenapa? Dias lelaki yang baik.” Jawab Steven dengan cepat yang membuat Kalila menoleh menatap Stevi tidak percaya. “Maksudku, kenapa kamu meragukan pernikahan Mbak Kalila, karena menurutku mA Dias lelaki yang baik, gerak cepat dan nggak jual mahal.” Sepertinya Kalila menangkap tujuan lain dari ucapan Stevi. Yakni menyindir Irman dengan menggunakan Dias. “Gerak cepat?” Irman membalas ucapan Stevi. “Apa kamu tidak merasakan ada yang aneh dengannya, hanya dengan perkenalan singkat lalu menikah?” “Nggak ada yang aneh. Memang seharusnya begitu kan, untuk apa pacaran lama-lama kalau pada akhirnya berpisah. Atau pacaran bertahun-tahun tapi tidak ada kejelasan.” Kali ini giliran Kalila diam, memperhatikan keduanya saling beradu argumen. “Pendekatan yang cukup cepat, itu saja terlihat sangat tidak masuk akal.” Irman kembali bicara. “Mas Dias dan Mbak Kal, sudah cukup matang dalam segala hal, tidak hanya usia tapi dari finansial yang semuanya sudah sangat memenuhi standar untuk menikah.” Lanjut Stevi. “Lagipula Mas Dias berhasil mencuri hati Mbak Kal dalam waktu dekat, kan? Itu saja sudah membuktikan bahwa Mbak Kal nyaman dengan sosok sat set seperti Mas Dias.” Kalila hanya tersenyum samar. “Kalian berdua kalau mau saling adu argumen jangan bawa-bawa aku dan Dias dong.” Kalila tertawa. “Ribet banget kalian ini, kalau saling suka kenapa pada jaim sih?!” “Siapa yang suka dia? Saya?” Stevi menunjuk ke arah dirinya sendiri. “Nggak lah, Mbak! Dia terlalu datar dan lelet untuk saya yang menyukai lelaki sat set!” Tatapan Stevi begitu tajam menatap ke arah Irman. “Saya rapikan meja yang di depan ya, Mbak.” Pamitnya dan langsung meninggalkan Kalila bersama Irman. “Kalian ini kenapa sih? Awas aja kalau ada salah satu dari kalian yang memutuskan resign hanya karena masalah cinta!” Ancam Kalila. “Nggak lah, Kal. Kami baik-baik aja, cuman dia gampang marah aja dan sering meledak-ledak kayak barusan contohnya.” Balas Irman. “Dasar!” “Tapi Kal, jujur saja aku memang mencurigai suamimu itu sejak awal. Aku merasa ada yang aneh.” Kalila sebenarnya tidak suka saat seseorang membicarakan tentang suaminya seolah mereka sudah mengenal Dias dengan baik, seperti yang dilakukan Randi beberapa hari lalu. Kalila memilih pergi karena ucapan Randi hanya akan membuatnya meragukan Dias. Tapi sekarang pun Kalila harus mendengar kalimat yang hampir sama dari orang berbeda, yaitu irman. “Meskipun di dunia ini banyak pasangan yang memilih pacaran sebentar dan langsung menikah, lalu mereka bisa hidup bahagia setelahnya tapi aku rasa Dias seolah tahu cara mencuri hatimu dengan cepat.” Irman menoleh ke arah Kalila. “Kal, kamu seharusnya curiga mungkin saja suamimu itu seorang pemain. Seorang lelaki dengan kehidupan dan wajah yang mendukung seperti Dias tidak akan mungkin secepat itu memberikan cintanya pada wanita yang sama sekali tidak pernah dikenalnya. Dia bahkan menyerahkan seluruh hidupnya bersamamu lewat pernikahan, apa itu masuk akal?” Hati Kalila kembali berdebar tidak karuan. Benarkah demikian? “Sampai saat ini aku tidak pernah menemukan keburukan dari suamiku, jadi aku tidak punya alasan untuk percaya ucapanmu dan kami baik-baik saja.” Kalila tersenyum dan mengusap pundak Irman. “Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.” Tidak seperti saat Randi mengatakannya, kali ini Kalila tidak marah saat Irman mengutarakan opininya tentang pernikahan Kalila dan sikap Dias. Tapi jauh di lubuk hati Kalila yang paling dalam mulai tumbuh sebuah kecurigaan yang membuatnya merasa tidak yakin. Mungkin benar, Kalila dan Dias terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan, tapi bukankah jenis hubungan seperti itu banyak di dunia ini. Saat seseorang memutuskan untuk menikah dengan seseorang yang baru dikenalnya dalam waktu dekat, bukankah hal seperti itu wajar? Tapi mengapa beberapa orang justru meragukannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN