Jangan tanya bagaimana mewahnya pernikahan Kalila dan Dias saat ini. Ballroom sebuah hotel mewah dengan kapasitas ribuan tamu disewa Regan untuk menggelar acara resepsi pernikahan Kalila dan Dias.
Kalila mengenakan gaun berwarna putih yang begitu sangat cantik membalut tubuhnya terlihat sangat sempurna. Begitu juga dengan Dias, lelaki itu tidak kalah tampannya.
“Nggak sabar pengen lihat anak-anak kalian,” ucap Dita yang juga ikut hadir sebagai salah satu tamu undangan. Kalila mengundang mereka, begitu juga dengan Randeas.
“Tampan dan cantik, gimana anak kalian nanti? Pasti sempurna sekali.” Akhirnya Dita bisa kembali bertatap muka dengan Kalila, sorot matanya menggambarkan kerinduan hingga membuatnya berkaca-kaca.
“Selamat Nak, akhirnya kamu menemukan cinta sejati dalam hidupmu.” Dita memeluk Kalila dengan erat. “Tante selalu mendoakan kebahagiaan untukmu, Sayang.” Suara Dita bergetar menahan tangis.
“Terima kasih, Tante. Kal senang kalian datang.”
“Tentu, kami akan menyempatkan datang untuk menghadiri acara bahagia kamu. Meski ayah kamu masih saja terlihat galak,” Dita terkekeh.
“Abaikan saja, Papi emang lagi tantrum dari kemarin.” Dita dan Kalila tertawa bersama.
“Kamu Dias?” Kali ini Dita menghampiri Dias yang berdiri tepat di samping Kalila.
“Jaga anak Tante baik-baik, kalau sampai macam-macam bukan hanya Ayahnya aja yang akan murka, tapi Tante juga. Ingat, jaga Kalila baik-baik, ya?”
Dias menganggukan kepalanya. “Baik, Tante.” Balasnya dengan senyum. Usai kepergian Tante Dita dan suaminya kini giliran Randi, sang cinta pertama.
Lama tidak bertemu lelaki itu terlihat semakin dewasa saja. Penampilan dan wajahnya semakin terlihat menawan.
“Selamat, Kal.” Randi mengulurkan tangannya dan disambut hangat oleh Kalila. “Lama nggak ketemu tahu-tahu nikah aja.”
“Kak Randi kapan nyusul?” Canda Kalila.
“Nggak tahu nih, calonnya udah keburu ditikung orang.” Randi tersenyum sambil menoleh ke arah Dias yang juga sedang menatapnya.
“Selamat menempuh hidup baru, Kal. Kalau nggak bahagia, aku masih ada ko.” Randi mengedipkan satu matanya, menggoda Kalila dan Dias. Kalila tahu, Randi tidak bersungguh-sungguh mengatakannya, tapi ucapan Randi berhasil membuat raut wajah Dias berubah.
“Mantan pacar?” Tanya Dias setengah berbisik.
“Bukan. Tetanggaku dulu, yang rumahnya di sebelah rumah Papih.”
Dias menganggukan kepalanya.
“Kak Randi cuman bercanda.” Ucap Kalila lagi.
Tapi entah mengapa Dias merasa lelaki itu justru sebaliknya, ia terlihat sungguh-sungguh.
Resepsi acara pernikahan Kalila berlangsung sampai pukul sebelas malam. Tamu undangan dari kedua belah pihak sangat banyak hingga membuat Kalila merasa lelah dengan kedua kaki pegal akibat terlalu lama berdiri.
“Kal,” panggil Regan saat acara selesai dan hanya pihak keluarga saya yang masih tersisa. Regan juga menyewa beberapa kamar di hotel tersebut untuk mereka gunakan beristirahat setelah acara selesai.
“Iya.” Kalila menoleh dan mendapati Regan menghampirinya.
“Kamu bisa tidur di kamar Bubu, kalau mau.” Ucapnya yang membuat Kalila dan Venus saling menatap satu sama lain.
“Pi, Kalila udah milik Dias. Kenapa Papi nyuruh tidur bareng aku?” Venus tersenyum jahil.
“Mungkin malam ini mereka mau melakukan sesuatu, kita jangan ikut campur. Lebih baik kita istirahat, Bubu capek banget.” Ajak Venus sambil menarik tangan suaminya.
“Tapi, Bu.” Regan hendak menolak, tapi Venus sudah terlebih dulu menarinya menjauh dari Kalila.
“Papi sangat mengkhawatirkan kamu, Kal. Padahal belum tentu kita ngapa-ngapain malam ini,”
Dias tersenyum samar.
“Kenapa?” Seketika Kalila pun langsung menutup bibirnya dengan tangan. Tidak seharusnya ia bertanya seperti itu!
“Kamu pasti lelah, aku nggak mau bikin kamu makin capek!” Senyum Dias berhasil membuat wajah Kalila memanas.
Pendekatan yang terbilang cukup singkat membuat Kalila dan Dias tidak banyak melakukan kontak fisik, seperti ciuman. Kalau sekedar kecupan singkat pernah beberapa kali, itu pun sudah membuat Kalila hampir kehilangan nafas akibat terlalu gugup. Apalagi malam ini, setelah keduanya resmi menikah. Kalila dilanda gugup yang begitu hebat.
“Sudah mandi?” Tanya Dias saat ia baru saja kembali dari luar.
Tiba-tiba saja ada panggilan mendadak sesaat setelah mereka berdua sampai di kamar. Kalila memutuskan untuk membersihkan diri dan sampai ia selesai Dias belum juga kembali. Baru setelah Kalila hendak tidur, lelaki itu datang.
“Sudah.” Balas Kalila. “Mau mandi juga?”
Dias mengangguk dan dengan perlahan membuka pakaian yang menutupi tubuhnya. Kalila bersembunyi di dalam selimut, pemandangan yang masih asing dimatanya itu kembali membuat Kalila berada dalam keadaan malu.
“Kamu harus mulai terbiasa melihatnya,” Dias terkekeh, lantas segera menuju kamar mandi.
Ya ampun! Perasaan macam apa ini? Kenapa Kalila begitu gugup. Apakah setiap pengantin baru merasakan hal yang sama?
Lebih baik pura-pura tidur saja, agar malam ini Kalila bisa lolos dari kegiatan anu, yang sering dibicarakan orang-orang sakit jika melakukannya untuk yang pertama kali. Membayangkannya saja sudah membuat Kalila takut, sekaligus penasaran.
“Sudah tidur?” Kalila terkejut saat merasakan kasur bergoyang dan selimut yang menutupi tubuhnya terbuka. Tapi tidak lama karena setelahnya Dias ikut bergabung bersamanya di dalam satu selimut yang sama. Rasanya sangat malu.
“Iya.”
“Kamu pasti lelah, tidurlah.” Dias mengusap lembut kening Kalila dan mencium singkat. Rasanya masih seperti mimpi saat melihat Dias dari jarak yang sangat dekat. Senyum lembutnya membuat Kalila ragu, apakah lelaki itu benar-benar tiga puluh tahun?
Wajahnya terlihat jauh lebih muda dari usianya saat ini.
Dia menempelkan tangannya yang masih berbau harum dari sabun mandi yang dikenakannya.
“Selamat malam istriku,”
Kalila terpaku, menatap senyum manis yang begitu menghipnotisnya. Perlahan Kalila menarik turun tangan Dias dari wajahnya. Lelaki itu selalu saja berhasil membuat pipinya memanas.
Lebih baik menenggelamkan wajah dalam pelukan lelaki itu agar dia tidak menyadari semu merah di pipinya.
Pelukan hangat mengiringi tidur Kalila malam ini. Bahkan mungkin mulai malam ini ia tidak akan lagi tidur sendirian, akan ada seseorang yang menemaninya setiap malam. Kehidupan baru akan segera dimulai. Babak baru dalam sebuah ikatan yang dinamakan pernikahan. Kalila tidak tahu seperti apa rumah tangganya kelak, tapi saat ini ia merasa yakin bahwa Dias adalah lelaki yang tepat untuknya.
Besok paginya mereka bangun sekitar pukul sembilan. Kalila memeriksa ponsel dan mendapat pesan dari Ibunya bahwa mereka akan pulang lebih pagi. Mereka pamit melalui pesan singkat karena tidak mau mengganggu Kalila dan Dias. Kalila tersenyum saja saat melihat pesan singkat dari ibunya, yang memberitahukan bahwa semalaman Ayahnya tidak tidur karena memikirkan Kalila. Padahal Kalila dan Dias tidak melakukan apapun. Keduanya terlalu lelah, hingga memutuskan untuk tidur. Setidaknya malam tadi berlalu begitu saja, tapi tidak menutup kemungkinan malam berikutnya akan ada hal baru yang dirasakan Kalila untuk pertama kalinya.
“Ayo sarapan,” ajak Dias sambil meraih tangan Kalila, membawanya turun ke lobi hotel.