Bab 3

1340 Kata
"Pagi, Kak," sapa Tio, adik Listya satu-satunya. Listya menoleh sejenak, memperhatikan penampilan Tio. "Tumben jam segini udah rapi." "Mau upacara, Kak. Menghargai perjuangan para pahlawan di masa kini, salah satunya menjadi siswa teladan yang semangat mengikuti upacara." Listya yang hampir menyendokkan nasi kini kembali beralih menatap adik laki-lakinya itu. "Kamu kerasukan? Itu kalimat dapet nyolong dari mana? Oh Kakak tahu, pasti dari Google, ya?" "Kok kakak gitu, sih? Bukannya bersyukur, malah negative thinking terus. Pantas aja jomlo," ejek Tio. "Lagian menurut aku, Kakak itu nggak jelek-jelek amat, kok. Standar wajah Kakak ini aku rasa bisa dapat pacar. Saking aja Kakaknya terlalu galak," lanjut Tio yang berhasil membuat mata Listya melotot. Tangan Listya seolah berbicara, 'Mau tampol bagian mana dulu, nih?' "Tio...." Ratih berusaha memberi peringatan sebelum Listya naik pitam. "Makan jangan sambil ngomong. Nanti tersedak, Nak." "Iya, Ma." Tio terkekeh sejenak. "Ampun, Kak. Bercanda." Tanpa menjawab, Listya kini sibuk dengan makanannya. Entah kenapa hanya ucapan 'jomlo' saja mampu memberikan efek buruk pada nafsu makannya. "Ma...." Tio tiba-tiba memanggil Ratih. "Iya, kenapa?" "Aku sih cuma ngomong sama Mama ya, semoga nggak ada pihak yang tersulut emosi apalagi sampai ngamuk-ngamuk. Mama tinggal dengerin aja, nggak harus jawab soalnya Mama masih makan," ucap Tio, kebetulan ia sudah selesai makan jadi sudah diperbolehkan berbicara. "Ngomong apa sih, Yo? Langsung aja, pagi-pagi dilarang bikin Mama pusing." "Jadi gini, Ma...." Tio sengaja menggantung kalimatnya. Listya yang ada di situ dengan refleks bersiap mendengarkan adiknya berbicara. "Dengar-dengar, jomlo itu kalau makan, nasinya dibuang terus piringnya dimakan. Terus ... kalau pakai sepatu, sepatunya di dalam tapi kaus kakinya di luar. Haha," kekeh Tio. Ratih pun seperti menahan tawa. Listya yang sedang memegang sendok langsung menaruhnya dengan keras ke piring. Bisa dibilang membanting, sih. "Maksudnya apa ngomong begitu?" "Kakak PeDe banget, aku cuma ngomong sama Mama." "Lo pikir gue nggak punya kuping, hah?!" Listya mulai emosi. Saat berbicara normal dengan Tio, biasanya Listya tak pernah menggunakan gue-lo. Kalau menggunakannya, berarti wanita itu sedang naik pitam. "Emangnya yang jomlo Kakak aja? Jangan baper gitu dong." "Udah-udah, anak dua aja ribut terus. Gimana kalau sepuluh ya, tolong jangan bikin Mama pusing pagi-pagi." Ratih berusaha melerai, ia sudah biasa mendengar cekcok antara dua kakak beradik itu. Kendati demikian, Ratih tahu mereka sebenarnya saling menyayangi. "Oh jangan bikin pusing pagi-pagi, berarti nanti malem boleh, ya?" jawab Tio, lalu menatap Listya. "Kak, lanjutin nanti malam aja debatnya." Ratih kemudian memijat dahinya. Ternyata anaknya mengikuti kalimat-kalimatnya. "Tio, kamu juga. Udah tahu Kakak kamu sensitif, malah dibercandain." Tio terkekeh, seolah ada kebahagiaan tersendiri membuat jomlo merasa kesal juga merasa jadi makhluk paling menderita. "Sori, Kak. Aku keceplosan." Listya memilih diam. Ia mulai berpikir, apa memang sudah saatnya mencari jodoh agar tidak menjadi bahan bully-an di mana-mana? Tio kemudian bangkit dari kursinya, membawa piring dan gelas kosong bekas makannya ke belakang, itu memang sudah kebiasaan keluarga ini kalau sudah makan cuci masing-masing sehingga tidak ada cucian piring yang menumpuk. Mereka membiasakan hidup mandiri. Sementara Listya dan Ratih masih belum selesai makan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Mereka berdua saling berpandangan, sampai pada akhirnya Listya berteriak memanggil Tio. "Tio, buka pintu dong. Kakak sama Mama masih makan, nih." Ya, meskipun mereka sering debat, adu mulut atau bertengkar, tapi semua itu tidak bertahan lama karena setelahnya mereka kembali damai menjadi kakak dan adik yang rukun. Buktinya Listya sudah mengubah nada bicaranya menjadi lebih ramah, tidak galak seperti tadi saat tersulut emosi. Tidak ada jawaban, mungkin Tio masih sibuk dengan piring kotor dan air yang mengalir sehingga tidak mendengarnya. "Cuci piring sama gelas satu aja se-abad," gerutu Listya. Akhirnya ia bangkit dari kursi dan memutuskan dirinya lah yang membuka pintu. "Biar aku aja, Ma." Ratih pun mengangguk. Lagi pula, Listya akan merasa menjadi anak durhaka jika Mamanya yang membuka pintu. Meski mereka sama-sama sedang makan, tetap saja Listya merasa dirinya yang wajib mengalah. Listya pun membuka pintu. "Cari siapa, ya?" tanya Listya sambil memperhatikan seorang gadis yang memakai seragam SMA. Penampilan gadis itu terlihat mencolok dengan berbagai aksesori seperti gelang, anting berukuran besar, bando bulu berbentuk telinga kelinci yang menghias rambut pendeknya. Dan yang paling membuat mencolok adalah semuanya berwarna pink. "Halo, Kak. Perkenalkan aku Jesica Iska Nandar biasa dipanggil Jesica. Aku anak bungsu dari Bapak Nandar. Lahir di Jakarta, tanggal 14 Februari," ucap gadis itu yang berhasil membuat Listya melongo. Gaya bicara Jesica masuk ke dalam kategori genit. "Aku itu kelas 3 SMA, warna kesukaan adalah pink, aku lebih suka pelajaran olahraga dari pada matematika. Pernah sekali aku pergi dari Jakarta ke Surabaya untuk menengok Nenek di sana mengendarai kereta malam. Ah, maaf maksudnya pernah sekali aku mendapat nilai 9. Aku ingat banget Bunda langsung ngajak aku liburan ke New York." Listya makin melongo mendengar penjelasan gadis di hadapannya. Mimpi apa ia semalam bertemu gadis semacam Jesica? Fix gadis di hadapannya ini sangat aneh! "Makanan kesukaanku adalah yang manis-manis. Tapi bukan janji manis mantan ya, bayangin aja nih Kak, dari 47 mantan aku ... semuanya doyan ngasih janji manis. Untung aku nggak diabetes." Ya Tuhan, bolehkan Listya pingsan? 47 mantan? Sementara Listya yang usianya menginjak 25 tahun saja, mantannya gaib. Oh my God! "Oh iya, cita-cita mau jadi polwan, rambut aku juga udah niat banget nih dipotong pendek ala-ala polisi wanita. Udah sih, gitu aja penjelasan tentang diri aku. Kakak ada pertanyaan?” "Kamu ke sini cari siapa?" "Mencari cinta sejati tak kutemukan, darimu aku bisa merasakan, kesungguhan hati, kamu yang sejati. Kamu ... dikirim Tuhan untuk melengkap...." "Stop!" Listya berhasil memotong ucapan Jesica, lebih tepatnya nyanyian. "Kamu salah rumah kayaknya. Sebenarnya cari siapa, sih?" "Aku mau ke Tante Ratih." Listya mengernyit. "Ada perlu apa?" "Ambil cake pesenanku, Kak." "Jangan bilang anniversary cake? Ya ampun, sekadar informasi ya, anniversary itu dirayain setahun sekali. Bukan sebulan sekali." "Kakak, aku itu mau ngambil birthday cake, kok. Lagian nih kalo anniversary itu tergantung selera. Kalau ada yang mau tiap jam atau lima menit sekali juga boleh. Hidup itu masing-masing ya, nggak boleh sirik. Toh, nggak ada yang dirugikan, kan? Tukang bolu malah untung. Hm, katanya yang sirik itu biasanya jones." Listya harus sabar dan selalu ingat rumus dari Mamanya yaitu pembeli adalah raja atau ratu. Setelah mempersilakan Jesica masuk dan duduk, Listya bermaksud memanggil Mamanya. Namun, belum sempat memanggil, Ratih sudah lebih dulu datang. Ratih memang sudah selesai makan. "Eh, ada Nak Jesica," sapa Ratih dengan sangat ramah, wajahnya berseri seperti sangat bahagia melihat kedatangan gadis yang menurut Listya sangat aneh. Oke, Listya harus ingat kalau Jesica adalah pembeli sehingga wajar jika Mamanya bersikap sangat ramah bahkan jauh lebih ramah daripada berbicara pada dirinya. Listya cemburu? Tidak, ia hanya merasa aneh. "Selamat pagi, Tante," jawab Jesica. Nada bicaranya memang terkesan lebay, antara manja dan genit juga. "Nak Jesica pasti mau ambil bolu, Tante udah siapin. Tunggu sebentar." Sebelum melangkah mengambil bolu pesanan Jesica, Ratih menghampiri Listya. "Ambilkan minum gih, buat tamu kita," ucap Ratih kemudian. Lalu wanita itu sudah pergi bahkan sebelum Listya mengiyakan atau menolaknya. Mau tidak mau, Listya mengambilkan minuman untuk Jesica. Sekilas, Listya menatap Jesica yang sedang memainkan kuku bercat pink. Sesampai di dapur, Listya mendapati Tio yang sedang mengelap tangan. "Dipanggil suruh buka pintu nggak jawab, kamu nyuci piring segitu aja lama banget." "Kan harus bersih, Kak." Listya kemudian menuangkan air panas pada gelas yang sebelumnya sudah diisi teh dan gula. "Tumben minum itu juga." "Bukan buat Kakak, ada tamunya Mama tuh." "Jesica bukan?" "Iya, mau ambil pesanan. Eh, kamu kenal?" "Ya kenal, kan teman sekolah." "Kalau begitu kamu yang bawa minumnya ke depan, ya. Kakak belum selesai makan, tahu." "Oke, Kak," jawab Tio. Baru saja adiknya berjalan beberapa langkah, Listya memanggil sehingga Tio menghentikan langkahnya. "Apa lagi, Kak?" "Jangan bilang kalian pacaran," selidik Listya, ia merasa ngeri jika Tio berpacaran dengan Jesica. "Menurut kakak, Jesica itu gimana?" Tio malah berbalik menghampiri Listya kembali. "Dia itu aneh, masa tadi...." Listya tak bisa melanjutkan ucapannya karena Tio sudah memotongnya. "Aku mendeteksi adanya tindakan iri," ucap Tio. "Mungkin karena Kakak jomlo." Sumpah demi apa pun, Listya ingin berkata kasar. Namun, tidak bisa. Terlebih Tio sudah bergegas meninggalkannya. Apa-apaan ini? Kenapa jomlo selalu dipermasalahkan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN