"Uma! Kamu mau ke mana lagi sih? Cepat ke sini. Bantu Ibu menata kue-kue!" Bu Rahayu meneriaki putri bungsunya.
"Sebentar, Bu. Uma pakai jilbab dulu." Uma balas berteriak dari dalam kamar. Tangan mungilnya dengan cepat mengikat ujung jilbabnya.
"Lha, ngapain kamu dandan segala? Yang mau dipilih oleh Arya itu, kakak-kakakmu. Bukan anak piyik sepertimu," omel Bu Rahayu seraya menyusun hidangan.
"Iya, Uma tahu kok, Bu. Uma memakai jilbab bukan karena ingin dilihat Mas Arya, tapi Uma sedang menunggu paket. Keterangannya paket Uma sedang diantar ke alamat tujuan." Uma yang sudah keluar dari kamar dan berjilbab rapi memberi alasan pada sang ibu.
"Oh, ya sudah. Susun kue-kue ini dengan wadah-wadah yang cantik. Kita harus membuat keluarga Tjokro terkesan. Ibu mau melihat persiapan kakak-kakakmu dulu. Mereka harus tampil secantik mungkin." Bu Rahayu bergegas naik ke lantai dua. Ia harus menunjukkan kecantikan kedua putrinya yang paripurna. Acara perjodohan ini sudah mereka persiapkan sejak lama. Tepatnya sejak suaminya dan almarhum Pak Tjokro muda.
Dengan cekatan Uma menyusun kue-kue kering ke dalam toples-toples kaca kesayangan ibunya. Sambil bekerja matanya terus melirik pintu pagar. Ia sedang menunggu kedatangan Pak Kus— kurir pengantar paket di wilayahnya. Ia memesan buku-buku online untuk keperluan studinya. Buku-buku yang ia pesan adalah buku-buku UTBK yang berisi contoh-contoh soal untuk Persiapan masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Dari kejauhan, suara knalpot motor tua yang khas mulai terdengar. Senyum Uma merekah. Apa yang ia tunggu-tunggu sudah datang!
“Pak Kus!” seru Uma senang. Ia buru-buru meletakkan toples dan berlari kecil ke arah pagar.
Pak Kus melambai, senyumnya mengembang.
“Rahuma Kinanti!" Pak Kus mengeja nama penerima di paket. Uma tertawa. Pak Kus memang selalu memanggil nama lengkapnya.
“Pak Kus kok selalu memanggil nama lengkap saya sih?” ujar Uma sembari menerima paket.
"Soalnya nama kamu itu bagus sekali. Rahuma Kinanti. Artinya, kasih sayang yang abadi. Orang tuamu pintar sekali memberimu nama.” Pak Kus mengacungkan jempolnya.
Uma tertawa. Sembari mengucapkan terima kasih, ia menyelipkan selembar uang sepuluh ribuan ke tangan Pak Kus. Pak Kus gantian mengucapkan terima kasih dengan mata berbinar. Doa tulus ia panjatkan dalam hati. Semoga gadis remaja ini sukses menggapai cita-cintanya.
Tepat setelah Pak Kus berlalu, sebuah mobil mewah berwarna hitam, berhenti di depan pagar.
“Uma, buka pagar! Keluarga Tjokro datang!” teriak ibunya dari teras.
Uma mengepit paket di ketiak, lalu membuka pagar lebar-lebar. Mobil hitam mengilat perlahan memasuki halaman rumah yang sempit. Dari balik kaca gelap, terlihat tiga orang duduk di dalam mobil.
Setelah menutup pagar, Uma buru-buru masuk dan langsung ke kamarnya. Dengan tidak sabar ia membuka bungkus paket dan duduk di meja belajar. Sejurus kemudian ia sudah menekuni soal-soal tryout UTBK. Riuh suara tamu di ruang tamu tak dihiraukannya.
Namun, kesibukannya terusik saat terdengar suara ibunya memanggil.
“Uma, sini sebentar, Nak.”
Uma menutup bukunya dan berjalan menuju ruang tamu dengan langkah ragu. Begitu sampai, ia langsung merasa aura yang tidak enak.
Di hadapannya, duduk Bu Mirna Hadi Tjokro—sosok yang tampak seperti ibu-ibu orang kaya di sinetron-sinetron: berkebaya anggun dengan kipas berayun di tangan kiri, dan tas bermerek tersampir angkuh di siku. Ia melirik Uma sekilas, seperti menilai harga barang di etalase.
Di sebelahnya, Arya Hadi Tjokro— putranya duduk dengan raut wajah bosan sambil bermain ponsel. Walau tampan rupawan, Arya tampak tidak sopan dan menyebalkan. Sementara Aryani, sang kakak, duduk anggun namun angkuh, persis sikap sang ibu versi muda.
Bu Rahayu tersenyum kikuk. “Ini Uma, anak bungsu saya.”
Uma tersenyum sopan dan membungkuk, hendak menyalami tangan Bu Mirna.
Namun, wanita itu menarik tangannya dan terus mengipasi wajahnya. Uma tertegun, lalu pelan-pelan menarik tangannya kembali.
Hening sejenak, hingga akhirnya Arya membuka suara. Santai, tapi cukup keras untuk semua mendengar.
“Aku pilih dia saja, Bu," kata Arya sambil menunjuk Uma.
Suasana ruang tamu seketika membeku.
Uma membelalak. “Maaf, apa… maksudnya?” Uma mundur satu langkah.
Arya menatap sang ibu. Ia ingin ibunya saja yang menjelaskan. Ia malas terlibat dalam drama-drama seperti ini.
“Ayahmu dulu bilang bahwa semua anaknya boleh dipilih. Kamu juga anaknya bukan?" Bu Mirna akhirnya bicara, suaranya datar namun mengintimidasi.
“Tapi saya masih SMA. Saya baru lulus sekolah dan ingin kuliah. Saya tidak berpikir soal pernikahan," ucap Uma ngeri.
“Iya, Bu Mirna. Rahuma baru berusia 18 tahun. Masih kecil. Rauda dan Raima lebih siap. Mereka sudah dewasa. Rauda sudah berusia 25 tahun dan berprofesi sebagai seorang perawat. Sementara Raima 24 tahun dan saat ini bekerja di perusahaan asing. Mereka berdua lebih cocok menjadi pendamping Arya," Bu Rahayu menyela, suaranya penuh harap.
“Yang mau menikah itu Arya bukan aku,” potong Bu Mirna dingin. “Dan dia sudah memilih.”
Bu Mirna kemudian meletakkan kipas di pangkuan dan menatap langsung ke arah Bu Rahayu.
“Kalau Uma bersedia menikah, kami akan menanggung seluruh biaya operasi by pass suamimu—Anwar. Kami beri waktu tiga hari untuk berpikir. Jika kalian setuju, pernikahan bisa dilangsungkan sebulan kemudian. Semakin cepat kalian membuat keputusan, semakin cepat operasi dilakukan. Jadi Anwar tidak harus berlama-lama menahan sakitnya."
Uma menunduk. Matanya berkaca-kaca. Pilihan di hadapannya sangat sulit—antara menyelamatkan ayah atau masa depannya sendiri.
Bu Mirna berdiri. “Aku pribadi sebenarnya tidak terlalu peduli dengan perjodohan ini. Tapi karena almarhum suamiku pernah menceritakan soal masalah ini—maka sebagai seorang istri, aku menjalankan wasiatnya."
Tanpa menunggu jawaban, keluarga Tjokro pun berpamitan. Deru mesin mobil memudar, meninggalkan keheningan menusuk.
Setelah mobil keluarga Tjokro meninggalkan halaman rumah, suasana di ruang tamu berubah muram. Uma berdiri di tengah ruangan dengan wajah pucat. Ia tidak menyangka kalau ia akan terjebak dalam situasi sulit ini.
“Uma tidak mau menikah dengan Arya atau siapa pun, Bu!” serunya, memecah keheningan. “Uma mau kuliah dan menjadi wanita karir yang sukses. Ibu tahu kan cita-cita Uma ini dari dulu?" Uma kemudian melirik kedua kakaknya.
"Bukankah tadinya Mbak Uda dan Mbak Ima yang dijodohkan? Kenapa sekarang jadi Uma?" Rahuma menatap bingung pada kedua kakaknya.
"Karena yang dia mau itu kamu. Bukan kami," sahut Rauda gusar. Sebenarnya dirinyalah yang paling kecewa di sini. Demi suksesnya perjodohan ini, ia rela memutuskan pacarnya—Anton. Kalau Raima— ia memang baru putus dari Thoriq karena merasa tidak cocok. Tiada yang ia korbankan di sini.
“Tapi Uma tidak mau! Uma ingin kuliah!" Uma tetap dengan pendiriannya.
Tiba-tiba Bu Rahayu mendekat, mengelus rambut Uma dengan tangan yang bergetar. “Nak… Ayahmu… kondisinya makin buruk di rumah sakit. Kamu tahu, kan, biaya pengobatannya besar…”
Air mata mengalir di pipi Bu Rahayu. Suaranya pelan, tapi seperti sembilu bagi Uma. “Kalau… kalau ini memang takdir, Nak, bisakah kamu berkorban demi Ayah?” bujuk Bu Rahayu sedih.
Uma tidak menjawab. Ia hanya mulai menangis setelah tadi menolak dengan keras. Mendengar permohonan sang ibu, ia tidak punya pilihan sekarang.
Melihat sikap pasrah Uma, Bu Rahayu memeluk putri bungsunya erat. “Ibu mengerti, Nak… Ibu tahu kamu ingin menjadi orang sukses… Tapi menolong orang tua itu adalah perbuatan yang sangat mulia. Ibu janji, nanti Ibu akan bicara pada Arya, agar memperbolehkanmu tetap kuliah. Tapi sebelumnya kamu menikah dulu ya dengan Arya, demi Ayahmu.”
Uma menggigil dalam pelukan ibunya. Di tengah keputusasaan dan impian yang belum sempat tumbuh, ia tahu—keputusan yang harus diambil bukan hanya tentang dirinya sendiri. Uma berdiri di ruang tamu yang terasa semakin sempit, diapit keraguan, ketakutan, dan cinta seorang anak pada ayahnya.
***
"Shhh… sayang… Ibu di sini,” bisik Uma seraya mengelus sayang rambut sang putri. Ingatannya akan masa lalu buyar seketika.
"Jangan nangis dong, Sayang. Ibu di sini kok. Tidak ke mana-mana. Ayo tidur lagi, Sayang." Uma menenangkan sang putri— Vivi yang menggeliat gelisah dalam tidurnya. Wajah mungilnya berkerut seperti menahan tangis dalam mimpi.
"Anak pintar," Uma memuji Vivi yang mulai tenang dan kembali tidur dalam pelukannya.
Uma menghela napas panjang. Benaknya telah kembali ke masa kini. Ya, dirinya sekarang sudah tiga tahun menjadi istri Arya. Mereka juga telah memiliki seorang putri yang bernama Vivi Arya Tjokro yang kini berusia dua tahun. Karena ia langsung hamil setelah dua bulan menikah. Setelah Vivi lahir, Arya langsung mengultimatum bahwa ia tidak mengizinkannya kuliah karena Vivi tidak ada yang menjaga. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan hanya tinggal mimpi.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang dibuka diikuti makian-makian kasar. Pasti itu suara Arya yang memarahi Pak Umar—satpam yang tengah berjaga malam ini. Uma memindai jam dinding—pukul dua dini hari. Ia menegakkan badan dan mendesah. Pasti Arya mabuk-mabukkan lagi. Setiap malam Minggu, Arya memang kerap mabuk-mabukan.
Tanpa suara, Uma bangkit dan menyiapkan keperluan Arya. Baskom besar berisi air hangat, handuk kecil dan juga piyama di atas. Kalau mabuk, biasanya Arya selalu muntah sembarangan. Sebagai seorang istri ia tetap melakukan kewajibannya dengan baik, walaupun Arya tidak pernah menghargai mengabdiannya. Uma tahu, Arya tidak mencintainya. Arya memilihnya hanya karena wasiat perjodohan almarhum ayahnya. Seperti inilah tiga tahun pernikahan mereka—dingin tanpa cinta.
Sejurus kemudian pintu terbuka. Arya masuk kamar dengan langkah sempoyongan dan aroma alkohol yang menguar dari sekujur tubuhnya.
“Umaaa…,” gumam Arya, sambil tertawa miring, “kamu tahu tidak... aku tadi bertemu orang yang sangat mirip dengan …” Arya tiba-tiba memegangi perutnya, wajahnya menegang seperti ingin memuntahkan sesuatu.
“Mas! Ayo kita ke kamar mandi!” Uma dengan sigap memapah Arya yang nyaris rubuh. Berat badan Arya membuatnya tertatih-tatih. Begitu sampai di kamar mandi, Arya muntah-muntah hebat. Setelah muntahan Arya tidak lagi mengeluarkan apa pun, Uma menopang tubuh Arya ke dinding, mengambil handuk, dan mulai membersihkan wajahnya yang lengket oleh muntah.
Arya hanya mengerang tak jelas. Kadang tertawa, kadang meringis dan kadang marah-marah. Uma tetap diam, wajahnya datar. Sudah terlalu biasa baginya mengurus Arya yang sedang teler.
Setelah semua bersih, ia memakaikan Arya piyama, lalu membantunya kembali ke ranjang. Saat Uma hendak menarik selimut, Arya tiba-tiba kembali meracau.
“Jangan berisik, Mas. Vivi sedang tidur,” bisik pelan. “Dia baru saja terbangun karena mimpi buruk.”
"Vivi? Mana Vivi? Aku sangat rindu padanya!" Arya tiba-tiba bangkit dari ranjang. Uma dengan cepat kembali merebahkannya.
"Jangan membangunkannya, Mas. Makanya, kalau Mas rindu, pulanglah lebih awal. Jadi Mas bisa bermain-main dengan Vivi," usul Uma.
"Kamu tidak tahu apa-apa, Uma. Tidak tahu apa-apa." Arya menggerutu dan tertidur setelahnya.
Uma memandangi wajah Arya. Lelaki angkuh yang tidak pernah menganggapnya ada. Selama tiga tahun pernikahan, Arya hanya menganggapnya sebagai pembantu pribadi dan pengasuh anak.
"Setidaknya penderitaanmu ini setara dengan hidupnya ayahmu sampai hari ini, Uma." Uma menghibur dirinya sendiri.
Ia kemudian merapatkan selimut pada tubuh Arya, lalu kembali ke sisi ranjang tempat Vivi tidur. Ia menarik napas panjang, memandangi wajah putrinya yang damai.
“Kamu alasan Ibu bertahan, Nak…” bisiknya lirih, sebelum akhirnya membaringkan diri kembali. Malam masih panjang. Dan esok, segalanya akan kembali sama.