"Begitulah kelakuan menantu zaman sekarang. Pada jago banget bersandiwara," imbuh Bu Iyet geram, yang diamini oleh Bu Mirna dan Bu Wisni. Mereka lega sekali karena baru selesai menumpahkan unek-unek yang selama ini tertahan.
Namun di antara riuhnya obrolan, Bu Tiur hanya diam. Ia memang menyimak dan mendengarkan, tapi tidak ikut menyumbangkan cerita. Hal itu membuat ketiga temannya merasa heran.
"Kalau kelakuan menantumu yang sebenarnya, bagaimana, Ti?" tanya Bu Mirna. Bu Iyet dan Bu Wisni ikut memfokuskan pandangan pada Bu Tiur. Mereka penasaran dengan jawaban temannya ini.
Bu Tiur memutar gelasnya perlahan, berpikir sejenak akan memberikan jawaban seperti apa. Akhirnya, ia mendongak, tatapannya tajam namun tak menghakimi.
"Si Lasma itu orang yang sangat sabar. Terlalu sabar malah," tuturnya santai.
Tiga pasang mata langsung menoleh padanya. Suasana mendadak senyap, hanya terdengar detik jam dinding yang seolah menanti kelanjutan kalimat itu.
"Dia bekerja di rumah sakit dari pagi sampai sore. Setelah pulang pun, ia masih sempat memasak satu dua macam lauk favorit suami dan anak-anaknya. Malamnya membantu anak-anaknya mengerjakan PR, membereskan rumah, dan membacakan dongeng sebelum tidur."
Hening. Bu Mirna, Bu Iyet, dan Bu Wisni tidak tahu harus menanggapi cerita Bu Tiur yang berbeda ini seperti apa.
"Sementara si Daniel—anakku—tidak pernah membantu sama sekali. Aku selalu menasihati Daniel agar ia bergantian dengan si Lasma mengasuh anak. Karena istrinya itu manusia, bukan robot. Jadi, ia juga bisa lelah."
Bu Iyet melirik Bu Mirna dan Bu Wisni.
"Kamu ini aneh, Tiur. Kamu kok ya membela menantu daripada anakmu sendiri?" Bu Mirna mendecakkan lidah.
"Iya. Kamu nggak usah pura-pura sok bijak deh. Akui saja kalau menantumu juga menyebalkan. Tidak usah gengsi. Toh kami semua juga sudah membuka rahasia," pungkas Iyet, yang diamini oleh Bu Wisni.
Bu Tiur menatap mereka satu per satu. "Aku bukan sok bijak. Aku cuma mau bersikap jujur dan adil. Akuilah, sebenarnya kadang, yang perlu dikritik itu bukan menantu kita, melainkan anak kita sendiri. Betul tidak?" tegas Bu Tiur.
Hening.
"Kalau kalian merasa menantu kalian tidak sempurna, coba renungkan, sudah sesempurna apa anak-anak kalian memperlakukan istri-istri mereka? Ingat, sebelum jadi mertua, kita semua pernah menjadi menantu, bukan?"
Ucapan Bu Tiur menyentuh titik rawan. Ketiganya terdiam. Mereka sadar kalau Bu Tiur tidak sepaham dengan mereka.
"Ya sudahlah. Kita semua berkumpul itu untuk bersenang-senang. Jangan membahas hal-hal yang membuat kita pusing. Oh ya, katanya kamu sekarang menjual berlian ya, Ti?" Bu Iyet mengubah topik pembicaraan.
"Iya. Berlian-berlian Medanku berkualitas bagus tapi harganya miring." Bu Tiur mengacungkan jempolnya.
"Wah, aku tidak sabar melihatnya. Ayo pamerkan semuanya pada kami." Bu Mirna menggosok-gosokkan tangannya. Melihat-lihat perhiasan selalu membuatnya bersemangat.
"Tenang. Aku membawa berbagai jenis berlian dengan harga dan kualitas yang berbeda. Sesuai sloganku: 'Ada rupa, ada harga'." Bu Tiur pun membuka tas tangannya. Waktunya untuk berdagang. Dalam sekejap, para ibu-ibu itu sudah asyik memilih-milih berlian yang akan mereka beli.
Sementara itu di dapur, Uma menyeka sudut matanya sambil mengaduk air cucian. Ia tak bisa mendengar seluruh percakapan di ruang tamu. Tapi ia mendengar jelas paparan kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Bu Tiur. Mendengar pembelaan Bu Tiur akan menantunya membuat hatinya lega. Walaupun Bu Tiur tidak terang-terangan membelanya, ia merasa... seperti ada seseorang yang diam-diam berdiri di sisinya. Baginya, hal kecil itu saja sudah cukup menghiburnya.
***
Uma menarik napas lega ketika akhirnya mendengar napas kecil Vivi teratur, tenggelam dalam lelapnya. Ia melirik jam dinding—13.05. Dengan cekatan, ia bangkit dari pinggir ranjang, menyambar daster dan menggantinya dengan jeans, blus lengan panjang krem, dan jilbab berwarna senada.
Ponselnya masih tergenggam. Pesan dari ibunya baru saja masuk:
"Ayahmu drop lagi, Ma. Kalau bisa, sempatkan datang sebentar, ya. Ayahmu terus menanyakanmu."
Uma menelepon Arya. Ia ingin meminta izin untuk menjenguk ayahnya. Sayangnya, hingga panggilan berakhir, Arya tidak juga mengangkat telepon.
Mungkin Arya sedang meeting, pikirnya. Ia pun mengirim pesan pada Arya untuk meminta izin. Untungnya, Arya langsung membalas dan memberi izin dengan beberapa persyaratan.
Uma buru-buru menuju ruang tamu, dan di sana... ibu mertuanya sedang duduk anggun di sofa, memandangi jemarinya yang berkilau oleh cincin berlian baru. Bu Mirna memang baru membeli dua cincin berlian dari Bu Tiur.
"Bu..." Uma membuka suara hati-hati. "Saya mau ke rumah orang tua saya sebentar. Ayah sakit lagi."
Bu Mirna menoleh tanpa ekspresi. “Sudah minta izin ke Arya?”
“Sudah. Kata Arya boleh, tapi tidak boleh membawa Vivi dan maksimal dua jam."
"Hm." Bu Mirna menurunkan tangannya pelan, menatap Uma dari kepala hingga kaki. “Lho? Kenapa tidak berdandan? Pakaianmu juga... kayak orang susah saja. Pakai gaun-gaun yang biasa. Pilih yang sama sekali belum pernah kamu pakai ke sana."
Uma menelan ludah. “Saya takut Vivi keburu bangun kalau kelamaan siap-siap, Bu. Lagi pula, ini juga cukup rapi, kok.”
Bu Mirna menyandarkan tubuh, menyilangkan kaki. “Uma, berapa kali Ibu bilang? Setiap kali kamu pulang ke rumah orang tuamu, kamu harus tampil meyakinkan. Supaya mereka tahu kalau kamu diperlakukan baik oleh Arya. Itu harga diri suamimu.”
“Tapi, Bu…”
“Kalau kamu tidak berdandan dan berpakaian yang pantas, ya sudah, kamu tidak usah pergi saja,” potong Bu Mirna dingin.
Uma mengangguk perlahan, menahan gelombang kecewa yang kembali menyeruak di d**a. Ia berbalik dan berjalan menuju ruangan belakang—ruang di mana ibu mertua dan adik iparnya menyimpan gaun-gaun lama mereka. Ia kemudian mengganti pakaian dengan cepat: gaun satin dan jilbab biru tua yang mengilap, heels kecil, dan tas tangan swarovski. Ia kemudian kembali ke kamar. Berhias cepat dan memulas lipstik merah cerah di bibirnya. Seketika wajahnya tampak lebih segar, walau matanya jelas kelelahan.
Ketika kembali ke ruang tamu, ia mendapati satu set perhiasan tersusun rapi di atas meja.
"Pakailah ini," ujar Bu Mirna santai. “Jangan lupa mobil dan sopir, biar tetangga-tetanggamu makin percaya kamu bahagia di sini.”
Uma terdiam, hanya mengangguk. Tangannya gemetar saat mengenakan gelang dan kalung berat itu. Setiap kali momen seperti ini terjadi, rasanya seperti ia mengenakan rantai emas yang indah tapi membelenggu.
Di mata dunia, ia terlihat seperti menantu kesayangan: naik mobil mewah, berdandan menawan, berhiaskan emas berlian. Tapi hanya ia yang tahu—begitu kembali, semua kemewahan itu akan ditanggalkan dan dikembalikan. Ia kembali menjadi upik abu di dalam istana megah.
Sebelum melangkah ke pintu, ia menoleh sekali lagi pada Bu Mirna.
“Saya jalan dulu, Bu,” ucapnya datar.
Bu Mirna tersenyum tipis. “Jangan lupa kalau kamu cuma punya waktu dua jam. Kalau Vivi terbangun, aku tidak bisa menjaganya.”
“Baik, Bu,” jawab Uma singkat. Ia kemudian melangkah keluar dengan kepala tegak. Tapi di dalam mobil mewah nan harum, hanya satu hal yang ingin ia lakukan—menangis dalam diam.