Tibalah saatnya matahari di atas kepala, Willis selesai dengan urusan di kampusnya. “Mau ke mana, Wil? Buru-buru amat.” Dia berpapasan dengan Leon, dan Willis abaikan. “Wahgelaseh! Lewat doang, njir,” decaknya lalu melenggang berlawanan dengan arah Willis. Tepat di koridor lantai dasar, Willis melihat Bian. Menilai penampilannya yang sudah tidak cupu, lebih manly tapi tetap ada manis-manisnya gitu. Yang konon katanya, Bian naksir Rahi—ralat, Eve maksudnya. Tiba-tiba saja tangan Willis mengepal, dia berdecak. Masih gantengan gue! Memang jodoh, Eve juga lewat. Senyum Willis hampir terkembang, tapi gagal. Dia melihat Eve yang berbincang dengan si Banyumas. Entah ngobrolin apa, Willis kesal lebih dulu. Alhasil dia memilih keluar menuju parkiran. 5 detik. Willis berdiri, bersandar di pin