6.Ancaman

1267 Kata
Maya menepuk tangan di meja, mencoba meredakan suasana. “Sudah, jangan bertengkar lagi. Ayo sarapan, nanti dingin makanannya.” Bima menghela napas panjang, lalu menatap ibunya. “Mah... aku rasa Vera harus dibatasi kalau soal pacaran. Aku nggak mau terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.” Talia menunduk sedikit, tersenyum tipis. “Bagus, Mas... kalau perlu jauhkan mereka sekalian. Aldi itu bukan orang baik.” Vera langsung menoleh, wajahnya memerah. “Mas, aku dan Mas Aldi nggak pernah melebihi batas kok! Jangan percaya sama tuduhan Kak Talia.” Talia menatap tajam ke arah Aldi. “Kalau begitu, Aldi... boleh kan kamu yang ngurus dokumen pernikahan kalian? KTP, KK, semua kasih ke sini. Biar jelas.” Aldi tersenyum tipis, tapi matanya terlihat gelisah. “Menurut saya, dokumen pribadi lebih baik diurus sendiri-sendiri, Bu. Lebih tertib... lebih aman.” Talia mengetuk sendok ke piring, nada suaranya penuh sindiran. “Kenapa? Takut ketahuan kalau ternyata kamu sudah menikah duluan, mungkin?” “Talia!” Maya meninggikan suara, menegur. Namun Vera langsung memotong dengan nada tinggi. “Udah deh, Kak! Mas Aldi itu yang terbaik buat aku! Jangan terus-terusan menjelek-jelekkan dia. Ayo, Mas... kita berangkat ke kantor sekarang!” Vera berdiri dengan kesal, menarik tangan Aldi untuk ikut keluar. Aldi hanya menunduk, menahan diri, lalu mengikuti. Keheningan menyelimuti meja makan beberapa detik. Maya menoleh pada Talia. “Talia... kamu jangan terlalu keras sama Aldi. Dia anak yang baik, kok.” Talia menegakkan tubuhnya, suaranya tegas. “Mah, aku cuma merasa... kita perlu ngecek seluk-beluk Aldi demi kebaikan Vera. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti nyesel.” Bima meraih tangan Talia, mengusap pelan. “Mas paham maksud kamu, Sayang. Tenang aja... mas yang akan cek. Supaya kamu nggak kepikiran lagi.” Talia menatap Bima, sedikit lega. “Makasih, Mas...” Maya berdeham, lalu kembali ke makanannya. “Ayo, lanjut sarapan. Jangan sampai dingin.” Ia menggigit roti bakarnya perlahan. Talia pun ikut mengunyah roti di piringnya, meski pikirannya masih gelisah. Di seberang, Bima menatap istrinya lama. “Talia sekarang berbeda... dulu dia cuek dengan keluarga. Tapi sejak kecelakaan, dia jadi lebih peduli. Semoga Talia yang sekarang bisa berhenti selingkuh... dan benar-benar melupakan Erwin.” Begitu keluar dari rumah Bima, Vera langsung menghentakkan langkah menuju mobil. Ia membuka pintu dengan kasar lalu masuk, wajahnya masih masam. Aldi duduk di kursi pengemudi, melirik sekilas. “Aku sebel banget sama Kak Talia, Mas,” keluh Vera sambil menyilangkan tangan di d**a. “Sekarang ribet banget, sok peduli urusan orang lain. Padahal biasanya dia nggak pernah ikut campur… palingan cuma mikirin belanja dan gaya hidup.” Aldi menyalakan mesin mobil, suaranya tenang. “Udahlah, Sayang. Kamu cuekin aja. Mungkin itu efek kecelakaan kemarin... ditambah lagi dia keguguran. Jadi emosinya labil, gampang nyalahin keadaan.” Vera menghela napas, menatap ke luar jendela. “Iya sih, Mas… aku juga mikir gitu. Tapi tetep aja... cara bicaranya bikin aku sakit hati.” Aldi menepuk tangan Vera di pangkuannya, menatap dengan lembut. “Makanya aku bilang… lebih baik kamu jauhi dia dulu. Aku khawatir kalau kalian sering ketemu, malah makin banyak masalah.” Vera menoleh, menatap Aldi. “Hmm… iya, aku paham. Tapi tetap aja dia itu kakakku, Mas. Aku nggak bisa benar-benar jauhin dia.” Aldi tersenyum tipis, lalu mendekat sedikit sambil berbisik. “Kalau gitu… jauhin secukupnya aja. Biar aku yang jagain kamu. Ngerti, kan, Sayang?” Wajah Vera mulai melunak. Ia mengangguk kecil. “Iya… aku ngerti, Mas. Untung ada kamu.” Aldi mengerling nakal, suaranya menurun penuh godaan. “Kalau gitu… sekarang kita ke apartemenku yuk. Lanjutin yang semalam belum kelar.” Vera menatapnya, sempat terdiam, lalu tersenyum genit. “Hmm… boleh juga. Mood-ku sempat rusak gara-gara Kak Talia pagi-pagi. Untung ada kamu yang bisa bikin aku lupa semuanya.” Aldi tertawa kecil, lalu menginjak pedal gas. Mobil pun meluncur keluar halaman rumah besar itu. Di dalam hati Aldi berkata, “Vera ini gampang banget dibutakan oleh rayuan. Semakin dia lengket sama aku, semakin gampang aku kuasai semuanya. Talia boleh curiga, tapi aku nggak akan kalah begitu saja.” Mobil hitam itu melaju meninggalkan rumah, menuju apartemen Aldi dengan rencana baru di kepalanya. Selesai sarapan, Bima keluar ke taman belakang rumah. Udara pagi masih segar, tapi wajahnya serius. Ia duduk di kursi rotan, mengeluarkan ponsel, lalu menekan sebuah nomor. “Hallo, Jefri.” Suaranya rendah dan dingin. “Bagaimana, kemarin tugas kamu berjalan lancar?” Suara Jefri terdengar dari seberang. “Lancar, Tuan. Mobil yang dikendarai Ibu Talia bersama selingkuhannya berhasil kami buat kecelakaan. Anak mereka keguguran, persis rencana Tuan.” Bima menatap jauh ke kolam kecil di hadapannya, bibirnya terangkat tipis. “Bagus… sekarang istri saya seperti lupa ingatan. Anehnya, dia jauh lebih baik dari Talia yang dulu. Lebih penurut… lebih sayang sama saya.” “Kalau begitu, Tuan,” suara Jefri ragu sejenak, “apa saya perlu menghabisi sekalian Ibu Talia dan pria itu? Karena mereka masih hidup, bisa jadi masalah di kemudian hari.” Bima menghela napas, matanya tajam. “Tidak. Jangan gegabah. Awasi saja mereka.” Ia menunduk, berbisik penuh tekanan. “Dan satu lagi, Jefri… saya ingin kamu selidiki masa lalu Aldi. Saya tidak mau adik angkat saya menikah dengan pria yang salah.” “Baik, Tuan. Akan segera saya lakukan. Saya hubungi lagi kalau sudah dapat informasi.” “Bagus.” Bima langsung mematikan telepon, menyandarkan punggung ke kursi. Ia bergumam lirih, suaranya nyaris seperti ancaman. “Vera… meski kamu bukan adik kandungku, Mama terlalu sayang sama kamu. Senakal apa pun, Mama tetap membelamu.” Bima mengepalkan tangan di pangkuannya. “Tapi awas saja kalau aku menemukan kejanggalan. Firasat Talia—versi dirinya yang sekarang—sepertinya tidak meleset.” Matanya menyipit, penuh tekad. “Dan kali ini… aku yang akan buktikan siapa sebenarnya Aldi.” Talia masih duduk di meja makan, memainkan sendok di tangannya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Layar menampilkan nama yang membuat jantungnya berdegup kencang. “Kenapa dia nelpon aku? Gila! Kalau Mama Maya atau Mas Bima dengar, bisa habis aku…” Dengan panik, Talia berdiri, berjalan cepat ke ujung ruangan, lalu mengangkat telepon dengan suara berbisik. “Hallo? Ngapain kamu telepon aku, hah? Kita kan sudah putus! Kamu lupa?” Suara berat Erwin terdengar dari seberang. “Putus? Hah… sampai kapan pun aku nggak akan pernah memutuskan kamu, Lia. Kamu milik aku.” Talia menggigit bibirnya, suaranya bergetar tapi tegas. “Tidak! Aku mau putus, Win. Aku mau memperbaiki pernikahan aku dengan Bima. Jadi, tolong… jauhi aku!” Erwin tertawa kecil, dingin. “Semudah itu? Kamu pikir kamu bisa kabur gitu aja dari aku, Lia? Kamu lupa… alasan awal kenapa kamu menerima perjodohan dengan Bima?” Talia terdiam sejenak, menggenggam erat ponselnya. “Iya… aku ingat. Tapi aku nggak boleh goyah…” Dengan napas berat, ia menjawab, “Aku memang nggak lupa, Win. Tapi sekarang aku sadar… Bima jauh lebih baik daripada kamu. Dia laki-laki yang benar-benar tulus. Kamu? Cuma mimpi buruk!” Suara Erwin meninggi. “Berani sekali kamu ngomong gitu ke aku! Kalau begitu, siap-siap saja, Lia. Aku akan kasih tahu semua rahasia kotor kamu ke suami kamu. Tentang kita… tentang anak itu. Percaya deh, Bima nggak akan pernah memaafkan kamu!” Talia mengepalkan tangan, mencoba menahan gemetar. “Aku nggak takut, Erwin. Silakan lakukan apa pun yang kamu mau!” Tanpa menunggu balasan, Talia menekan tombol “end call”. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, napasnya memburu. “Gak… gak boleh! Mas Bima nggak boleh tahu… kalau anak yang dulu aku kandung sebenarnya bukan anak dia. Kalau semua rencana busuk Talia terbongkar… habis aku!” Talia mondar-mandir di ruang makan, wajahnya pucat pasi. “Ya Tuhan… apa yang harus aku lakukan sekarang? ”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN