7.Obat perangsang

1363 Kata
Bima baru saja kembali dari taman belakang. Begitu masuk ke ruang makan, ia mendapati Talia berdiri gelisah di sudut ruangan, ponsel masih di tangannya. “Lia?” Bima mengernyit. “Kamu ngapain di situ? Wajah kamu pucat banget.” Talia buru-buru menyembunyikan ponsel di belakang tubuhnya. “Nggak, Mas… aku… aku lagi—” “Lagi apa?” Bima mendekat, menatap curiga. “Kamu kelihatan panik. Ada yang nelpon kamu ya?” Talia menunduk, mencoba menenangkan suaranya. “Cuma… telepon salah sambung, Mas. Aku kaget aja.” Bima menyipitkan mata, nadanya lembut tapi penuh tekanan. “Salah sambung kok sampai kamu pucat begini? Jangan bohong, Sayang.” Talia buru-buru tersenyum hambar, menepuk dadanya sendiri. “Tadi… aku kira kabar buruk, Mas. Jadi refleks panik. Maaf kalau bikin Mas khawatir.” Bima menghela napas, tangannya meraih pundak Talia. “Kamu jangan bikin aku khawatir lagi, ya. Kamu baru sembuh. Jangan mikirin hal-hal yang aneh.” Talia mengangguk pelan, meski dalam hatinya berkecamuk. “Ya Tuhan… semoga Mas Bima nggak curiga. Kalau dia sampai tahu yang sebenarnya, habis aku…” Bima menatap istrinya lebih lama, lalu tersenyum tipis. “Sudah, yuk kita ke kamar. Kamu butuh istirahat, bukan berdiri gelisah di sini.” Talia hanya bisa mengikuti, meski tangannya masih gemetar menggenggam ponsel. “Aku harus cari cara biar Erwin diam. Sebelum semuanya terbongkar…” Bima menggendong Talia dengan hati-hati menaiki tangga. Sesampainya di kamar, ia merebahkan istrinya perlahan di ranjang. “Suster sebentar lagi datang, Sayang. Kamu istirahat dulu ya.” Bima menunduk, mengecup kening Talia penuh kelembutan. “Iya, Mas…” jawab Talia lirih, lalu pura-pura memejamkan mata. Begitu Talia tampak tertidur, Bima bangkit perlahan. Ia melirik ponsel di meja samping ranjang, lalu meraihnya. “Aku harus pastikan firasatku benar.” Bima keluar kamar, duduk di sofa ruang keluarga. Ia membuka log panggilan, tapi layar ponsel kosong. “Dihapus semua? Kosong begini?” gumamnya rendah, matanya menyipit. “Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, Lia?” Tiba-tiba, ponsel bergetar. Sebuah pesan masuk. Nama pengirimnya membuat d**a Bima mengeras. —Erwin. Pesan itu terbuka otomatis. “Aku nggak terima kamu putusin aku, Lia. Awas aja… suami kamu akan tahu kebenarannya. Janin kamu yang keguguran itu anakku!” Bima terdiam sejenak. Ujung bibirnya terangkat sinis. Ia berbisik, seolah menjawab langsung ke layar. “Tidak perlu mengancam, Erwin… aku sudah tahu semuanya. Kalian kira aku bodoh, hah?” Tangannya meraih kotak rokok di meja. Dengan gerakan tenang, ia menyalakan sebatang, menghisap dalam-dalam. Asap mengepul di udara. “Pernikahan ini baru dua bulan…” ucapnya pelan. “Malam pertama… Talia memberiku obat perangsang. Itu jelas- jelas ,jebakan agar aku tidak curiga jika kamu sudah hamil duluan. Dan kalian pikir aku nggak sadar?” Bima menunduk, matanya tajam menatap abu rokok yang jatuh ke asbak. “Tapi… kenapa sekarang Talia berubah 180 derajat? Lebih lembut, lebih perhatian… bahkan terlihat tulus.” Ia menghela napas berat, lalu mendongak. “Menurut hasil rontgen, otaknya baik-baik saja. Tidak ada kelainan. Jadi apa yang sebenarnya terjadi di kecelakaan itu?” Bima mengepalkan tangannya. “Aku harus waspada. Jangan-jangan… ini hanya siasat baru. Karena aku tahu… Talia itu wanita ular berbisa yang sangat licik.” Asap rokok terakhir ia hembuskan, sebelum matanya kembali menatap layar ponsel dengan dingin. Langkah kaki terdengar di tangga. Suster Mila muncul di lantai dua, senyum ramahnya mengembang. “Selamat pagi, Pak Bima.” Bima menoleh, ekspresinya serius. “Pagi, Suster. Tolong ya, awasi istri saya baik-baik. Apa pun yang dia lakukan, siapa pun yang dia temui, segera laporkan ke saya.” Mila mengangguk cepat. “Baik, Pak. Saya akan jagain Bu Talia.” Bima menatap ponsel di tangannya, lalu menyerahkannya ke Mila. “Ini… tolong di-charger juga. Pastikan jangan sampai lepas dari pengawasan kamu.” “Siap, Pak.” Mila menerima ponsel itu dengan kedua tangan, sedikit gugup melihat tatapan tajam Bima. Bima menarik napas, lalu meraih jasnya di kursi. “Kalau ada apa-apa, langsung telepon saya. Jangan tunggu.” “Baik, Pak.” Tanpa banyak basa-basi, Bima turun ke lantai bawah. Suara langkah sepatunya terdengar mantap. Ia meraih kunci Ferrari di meja konsol dekat pintu. Mesin supercar itu meraung saat dinyalakan, lalu melesat keluar dari garasi, meninggalkan rumah dengan suara knalpot yang menggetarkan kaca jendela. Mila menatap ke arah kamar Talia sambil menggenggam ponsel erat-erat. “Hmm… sepertinya Pak Bima benar-benar menyimpan kekhawatiran. Ada sesuatu di balik semua ini.” Suara deru mesin Ferrari memecah keheningan pagi. Bima turun dengan jas rapi, wajah dingin namun berwibawa. Begitu melangkah masuk lobby, semua karyawan berdiri serentak. “Selamat pagi, Pak!” seru mereka hampir bersamaan. “Pagi,” jawab Bima singkat, langkahnya tegap menuju lift. Sesampainya di lantai 60, lift terbuka. Lily, sekretaris pribadinya, sudah menunggu dengan tablet di tangan. “Selamat pagi, Pak Bima.” “Pagi, Lily. Apa saja agenda saya?” Bima meliriknya sebentar sambil berjalan cepat ke arah ruang CEO. “Pagi ini Bapak ada meeting dengan Pak Dean jam sepuluh. Siang ada pertemuan dengan tim investor Singapura. Lalu sore presentasi internal. Dan malam jam tujuh, jangan lupa jadwal lari bersama di GBK.” Lily menyebutkan detail dengan cepat. Bima mengangguk tipis. “Baik. Pastikan semua rapat sudah dipersiapkan.” “Sudah, Pak. Oh iya, berkas laporan dan dokumen yang perlu ditandatangani ada di meja Bapak.” “Terima kasih.” Bima melangkah masuk ke ruang CEO yang luas dengan pemandangan kota Jakarta. Ia duduk tenang, membuka map laporan keuangan triwulan. Alisnya mengerut, jemarinya mengetuk meja. “Hmm… angka ini… tidak konsisten.” Suaranya datar, tapi penuh tekanan. Ia membolak-balik halaman, lalu menutup map perlahan. “Selisih biaya operasional terlalu besar, sementara laporan aset tidak seimbang. Ini tidak bisa dibiarkan.” Bima menekan tombol interkom. “Halo, Divisi Audit Internal? Tolong segera siapkan hasil audit pendahuluan atas laporan keuangan minggu ini. Sertakan juga rekaman log sistem dari Divisi Keuangan. Saya ingin memverifikasi beberapa transaksi.” “Ba—baik, Pak. Akan segera kami proses,” jawab suara di seberang, terdengar gugup. Bima bersandar ke kursinya, menatap keluar jendela tinggi gedung kantor pusat. “Kalau ada yang berani bermain dengan angka di perusahaan sebesar ini…” ia bergumam dingin, “maka konsekuensinya tidak akan ringan.” Tak lama, tim Audit Internal dan IT masuk membawa flashdisk dan beberapa dokumen tambahan. Kepala divisi IT menyerahkan laporan. “Pak, ini data yang Bapak minta. Rekaman aktivitas sistem keuangan dan transaksi minggu ini sudah lengkap.” “Taruh di meja,” ujar Bima singkat. “Mulai sekarang, data ini bersifat confidential. Tidak ada satu pun keluar dari ruangan sebelum saya selesai memeriksa.” “Siap, Pak,” jawab mereka serempak. Bima menyalakan laptop, membuka file demi file. Ruangan hening, hanya suara klik mouse terdengar. Beberapa menit kemudian, wajahnya menegang. “…Aldi? Dan Vera?” Ia memperbesar layar, menatap bukti aktivitas login dan rekaman CCTV. “Mereka menyetujui transaksi di luar prosedur?” Suasana ruangan makin kaku. Kepala Audit Internal mencoba bicara, tapi Bima mengangkat tangan. “Saya tidak butuh opini sekarang. Saya butuh data lengkap. Buat laporan investigasi resmi. Audit semua transaksi yang mereka otorisasi, termasuk siapa vendor dan pihak penerima dana. Saya ingin laporan itu di meja saya sebelum jam makan siang.” “Baik, Pak,” jawab tim dengan tegas. Bima menyandarkan tubuh ke kursinya, wajahnya dingin tanpa ekspresi. “Kalau benar ada penyalahgunaan wewenang di level direktur, maka kasus ini langsung naik ke Komite Audit dan Dewan Komisaris. Tidak ada kompromi.” Beberapa jam kemudian, rapat direksi darurat digelar. Ruangan terasa tegang, semua mata tertuju pada CEO. “Saudara-saudara,” suara Bima berat dan tenang, “ada indikasi serius manipulasi laporan keuangan oleh pejabat kunci kita. Aldi dan Vera tidak hadir tanpa keterangan sejak pagi. Lily, tolong koordinasikan untuk segera menghubungi mereka. Bila perlu, libatkan Legal dan HR. Saya ingin kejelasan status mereka sebelum hari ini berakhir.” Lily mengangguk cepat. “Baik, Pak. Akan segera saya tindak lanjuti.” Bima menatap seluruh jajaran direksi. “Saya tidak main-main. Perusahaan sebesar ini tidak boleh tercoreng karena permainan individu. Kita akan jalankan compliance procedure sepenuhnya. Jika ada yang terbukti bersalah, sanksinya jelas: pemecatan, penggantian kerugian, dan proses hukum.” Keheningan menyelimuti ruang rapat. Semua menyadari, saat Bima sudah bicara dengan nada seperti itu, tidak ada ruang untuk negosiasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN