3.Ciuman

1995 Kata
Aldi berdiri dari kursi tunggu dengan wajah tenang, pura-pura. Ia menepuk bahu Bima. “Pak, saya permisi ke toilet sebentar.” Bima mengangguk, meski wajahnya letih. “Iya, silakan, Pak Aldi.” Aldi melangkah keluar, menyusuri lorong rumah sakit. Namun bukan toilet yang ia tuju, melainkan koridor menuju ruang jenazah. Bau formalin menusuk, hawa dingin membuat langkahnya terasa berat. Seorang suster melewati meja administrasi. Aldi menghampiri. “Sus... jenazah pasien yang tadi meninggal saat kecelakaan, namanya Berlian Aurora... yang keguguran juga, ada di mana ya?” Suster membuka map catatan, lalu menatap Aldi dengan sopan. “Oh, jenazahnya sudah dibawa pulang oleh mertuanya, Ibu Yati. Maaf, bapak ini siapa ya, kalau boleh tahu, hubungannya dengan almarhumah?” Aldi menahan napas, lalu tersenyum tipis. “Saya tetangganya...” ia berbohong. Tak mungkin ia mengaku kalau Berlian adalah istrinya. “Baik, Pak. Sama-sama,” jawab suster itu singkat, kembali sibuk dengan berkas. Aldi berbalik. Ia benar-benar menuju toilet pria, menutup pintu dan bersandar di baliknya. Tangannya gemetar saat mengambil ponsel. Nomor Yati—ibunya—langsung ia tekan. “Hallo, Mah...” suaranya bergetar. Dari seberang terdengar suara Yati yang tegas. “Hallo. Jenazahnya Berlian sudah Mama bawa pulang. Sekarang Mama mau urus pemakaman.” Aldi menutup mata rapat. “Oke, Mah...” Suara ibunya mendadak meninggi. “Kenapa kamu sedih nangisin dia, ha?” Aldi terdiam sejenak, lalu menjawab pelan. “Mah... tapi apa kita sudah kelewatan. Gimana kalau polisi nyelidikin ini? Bagaimanapun juga... Berlian itu istriku. Dan dia... dia sedang mengandung anakku, Mah...” Yati mendengus kasar. “Kamu pilih mana, harta dan jabatan atau cinta? Kita udah di tengah jalan, Aldi. Ibarat kata, kita udah hampir sampai puncak. Masa kamu mau nyerah sekarang? Aneh!” Aldi menggigit bibir, kepalanya tertunduk. “Tapi aku kepikiran, Mah... sumpah, aku kepikiran.” “Udah diem!” suara Yati tegas dan dingin. “Itu urusan Mama. Yang penting kamu bayar orang suruhan Mama. Semua sudah beres. Jejak kita nggak akan tertinggal, polisi tidak akan curiga dia kan yatim piatu. Paham?” Telepon langsung dimatikan sepihak. Aldi tertegun menatap layar ponselnya yang gelap. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu bergumam lirih. “Gak usah dipikirin... Gak usah dipikirin... Aku dan Vera sebentar lagi menikah. Kami bakal punya anak. Kematian Berlian... itu takdir. Takdir yang aku sendiri rencanakan...” Suara tawanya terdengar hambar, teredam isakan yang ia tekan dalam-dalam. Aldi menatap pantulan wajahnya di kaca toilet. Mata merahnya cepat-cepat ia siram dengan air dingin. Ia tarik napas panjang, mengatur ekspresi seakan tak ada yang terjadi. “Tenang, Al... kamu nggak boleh kelihatan sedih,” gumamnya lirih sebelum melangkah keluar. Koridor rumah sakit masih ramai. Perawat lalu-lalang, suara roda brankar berdecit, tangisan samar dari keluarga pasien terdengar di sudut lain. Aldi berjalan santai, seolah benar-benar habis dari toilet. Begitu sampai di ruang tunggu, Vera langsung menoleh. “Mas, lama banget... kenapa?” Aldi tersenyum tipis. “Antri, Sayang. Toiletnya penuh.” Bima yang duduk sambil menunduk, baru saja menenggak segelas air mineral. Ia menatap Aldi. “Pak Aldi... terima kasih udah nemenin Vera. Maaf kalau keluarga kami ngerepotin.” “Ah, nggak apa-apa, Pak Bima. kita akan menjadi keluarga sidah sepatutnya saya menemani Vera. Saya kaget tadi begitu Vera cerita...” Aldi menjawab dengan nada datar, matanya sekilas melirik ke pintu IGD. Vera memegang tangan Bima. “Mas, aku boleh masuk lihat Talia sekarang? Kasihan dia sendirian di dalam.” Bima menggeleng. “Belum bisa, Ver. Dokter sedang memeriksa tunggu doker keluar dulu.” Vera menghela napas. “Ya sudah, aku tunggu.” Mama mereka yang duduk di samping ikut bicara, suaranya masih bergetar. “Bima, kalau Talia sudah agak baikan, kasih tahu Mama, ya. Mama mau masuk juga. Dia pasti butuh penguatan.” “Iya, Ma.” Bima menunduk lagi, wajahnya lelah. Aldi merogoh saku celana, pura-pura memainkan ponselnya untuk menutupi kegelisahan. Dalam hati, pikirannya masih penuh suara ibunya. Jejak kita nggak akan tertinggal... Berlian sudah dikubur... selesai... Namun setiap kali ia menoleh ke arah Vera, rasa bersalah itu seperti menampar. Kalau dia tahu semua... habis aku. “Mas,” suara Vera memecah lamunannya. “Hm?” Aldi menoleh cepat. “Kalau Talia sadar, aku yang pertama harus masuk. Dia pasti butuh aku, biar ada perempuan yang dampingi. Mas jangan protes, ya.” Aldi tersenyum tipis, menutupi getaran dalam suaranya. “Iya, Sayang. Kamu yang paling ngerti dia kok.” Bima hanya mengangguk setuju. “Aku juga berharap gitu, Ver. Semoga kehadiranmu bisa bikin dia lebih tenang.” Aldi menahan napas, mencoba terus terlihat tenang di antara mereka. Sementara dalam hatinya, bayangan Berlian—istrinya sendiri yang sudah dikubur dengan penuh rahasia—tak berhenti menghantui. Pintu IGD terbuka perlahan. Seorang dokter muda dengan jas putih masuk, ditemani seorang perawat yang membawa map rekam medis. Ia mendekat ke ranjang Talia yang masih tampak pucat. “Selamat siang, Bu Talia,” sapa dokter itu ramah, berusaha menenangkan. Talia yang sedang berbaring langsung menoleh. “Siang, Dok... Badan saya rasanya pegel-pegel semuanya dok...oh ya bagaimana kondisi kandungan saya? tolong dicek.” Dokter menatapnya sejenak, lalu menarik napas panjang. “Maaf, Bu... saya harus jujur. Ibu mengalami keguguran.” Talia membeku. Matanya melebar, lalu berkaca-kaca. “Apa...? Keguguran? Tapi... suami saya bilang... janin saya masih selamat, Dok. Katanya anak saya baik-baik saja!” Dokter menunduk sedikit, nada suaranya penuh empati. “Saya mengerti ini berat sekali untuk Ibu. Tapi hasil pemeriksaan kami jelas... detak jantung janin sudah tidak ada sejak kecelakaan tadi. Kami sudah berusaha, tapi memang tidak bisa diselamatkan.” Air mata mulai jatuh dari pelupuk Talia. Ia menggenggam perutnya dengan gemetar. “Tidak... tidak mungkin... ini kesempatan keduaku... kesempatan terakhirku punya anak...” suaranya pecah. Dalam hati ia berteriak, Kenapa semua harus hilang? Kenapa Tuhan ambil lagi dariku? Perawat berusaha menenangkan dengan mengelus bahu Talia. “Ibu tenang dulu ya, jangan terlalu banyak bergerak. Kondisi Ibu juga masih lemah, harus jaga tenaga.” Talia menggeleng, suaranya serak. “Kenapa... kenapa nggak ada yang jujur sama aku? Kenapa semua orang sembunyiin ini dari aku? Aku punya hak tahu...” Dokter mencoba menatap matanya dengan penuh pengertian. “Kami tidak bermaksud menyembunyikan, Bu. Suami Ibu mungkin hanya ingin melindungi perasaan Ibu. Yang terpenting sekarang, Ibu harus fokus pada pemulihan. Masih ada kesempatan lain nanti, kalau kondisi Ibu benar-benar sehat.” Talia menatap kosong ke langit-langit. Air mata mengalir deras di pipinya. “Kesempatan lain...?” ia tertawa lirih, getir. “Kesempatan pertamaku aja udah direbut. Sekarang yang kedua juga hilang. Kalian gampang bilang aku masih punya kesempatan, tapi kalian nggak tahu rasanya jadi aku...” Dokter hanya bisa menunduk, memberi isyarat pada perawat untuk menenangkan pasien. “Kami akan beri Ibu obat penenang ringan. Tolong jangan terlalu stres dulu. Pikiran yang tenang akan bantu pemulihan lebih cepat.” Talia memejamkan mata, tangannya terus menggenggam perut kosongnya. Anakku... maafkan Mama... Dokter menutup map catatan medisnya, lalu menoleh pada suster. “Panggilkan suami pasien,” ucapnya tegas. “Baik, Dok.” Suster segera melangkah keluar. Tak lama, pintu kembali terbuka. “Permisi... suami Ibu Talia, dokter ingin bertemu,” kata suster sambil melirik ke arah Bima. “Saya, Sus.” Bima segera berdiri dan masuk ke dalam. Ia menghampiri ranjang Talia dengan wajah cemas. “Ada apa, Dok?” Dokter menatap Bima, lalu menjelaskan dengan hati-hati. “Istri Anda mengalami syok setelah tahu janinnya keguguran. Kami mohon agar Anda bisa mendampinginya, beri dia ketenangan.” Bima mengangguk, lalu duduk di sisi ranjang. Ia menggenggam tangan Talia. “Sayang...” suaranya lirih, penuh kasih. “Nanti kan kamu masih bisa hamil lagi.” Air mata Talia jatuh deras. “Tapi Mas...” ia terisak. Bima menarik tubuhnya ke dalam pelukan, mengusap punggungnya lembut. Ia mengecup kening istrinya. “Nanti kita bisa coba lagi, jangan sedih. Aku janji, kamu nggak sendirian.” Namun tubuh Talia justru merinding. Dalam hatinya ia berteriak, Masa iya aku harus berhubungan dengan suami orang lain? Dokter kembali menambahkan. “Rahim Ibu masih sehat dan subur. Jadi peluang hamil dalam waktu dekat tetap ada. Tetap semangat ya, Pak, Bu. Saya permisi. Jangan lupa obatnya diminum.” Suster mengangguk pada keduanya sebelum keluar bersama dokter. Ruangan hening. Talia menatap Bima dengan mata berkaca-kaca. “Mas... pikiran kamu m***m banget, ya?” Bima tersenyum nakal. “Aku m***m cuma sama istriku sendiri. Nggak masalah dong?” “Ih... dasar gombal banget!” Talia memalingkan wajah, tapi pipinya memerah. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. “Tok tok.” “Permisi, ini bubur dan obatnya ya, Bu. Semoga cepat sembuh.” Suster meletakkan nampan di meja, lalu keluar. Bima mengambil bubur itu. “Ayo, makan dulu, Sayang. Mas suapin, ya.” Talia mengerucutkan bibir. “Pahit lidahnya, Mas...” “Harus dipaksain dong, supaya cepat sembuh.” Bima menyendok bubur dan menyuapkannya dengan telaten. Talia menelan perlahan. Jantungnya berdetak kencang. Dalam hati ia berbisik, Ganteng banget Mas Bima... Talia beruntung punya suami seperti dia. Setelah bubur habis, Bima mengambil gelas air putih. “Sekarang minum dulu, habis itu minum obatnya.” Talia menggeleng. “Nggak mau... pahit.” Tapi akhirnya ia meneguk air, lalu meletakkan gelas. Bima mengambil obat di meja, pura-pura meminumnya. Namun justru memasukkannya ke mulutnya sendiri. “Mas...?” Talia menoleh heran. Tanpa jawaban, Bima tiba-tiba mendekat dan mencium bibir Talia. Gerakan itu lembut tapi dalam, membuat Talia terkejut. Ia sempat ingin menolak, tapi kemudian pasrah. Bibir mereka melebur, dan secara perlahan Bima mendorong obat itu masuk hingga Talia menelannya. " Mmmmhhh." Ciuman itu semakin dalam, lidah mereka bertaut, saling menjelajahi. Talia tanpa sadar melingkarkan tangan di leher Bima, menekan tengkuknya agar tak melepas ciuman. Hingga akhirnya Talia kehabisan napas. Mereka terpaksa melepaskan diri, terengah. “Maaf, Baby... Mas kebablasan,” bisik Bima dengan suara rendah. Pipi Talia memerah seperti tomat ranum. Ia menunduk, menutup wajah dengan selimut, sementara senyum tipis tak bisa ia sembunyikan. Pintu ruang rawat perlahan terbuka. Mama Maya melangkah masuk lebih dulu, langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Maaf ya, Mama ganggu...” ucapnya lirih. Bima yang duduk di kursi samping ranjang langsung berdiri. “Nggak, Ma. Masuk aja. Silakan duduk di sini.” Ia menarik kursinya, memberi tempat untuk ibunya. Maya menatap Talia dengan mata berkaca-kaca. “Mama sedih sekali dengar kamu kecelakaan, Nak.” Belum sempat Talia menjawab, Vera sudah buru-buru mendekat dan langsung meraih tubuhnya. “Apalagi aku, Kak. Aku kaget banget... syukurlah kamu selamat.” Talia terdiam kaku dalam pelukan itu. Jadi... Mas Bima ini kakaknya selingkuhannya Mas Aldi? Berarti... bosnya Mas Aldi sendiri? Kenapa kebetulan sekali? pikirnya dalam hati. Tatapannya dingin, jelas tak suka dipeluk Vera. Vera merasakan kekakuan itu. Ia melepaskan pelukannya, lalu menatap Talia heran. “Kak... kamu kenapa? Biasanya kita sering pelukan.” “Lagi nggak mood,” jawab Talia singkat, dingin. Suasana mendadak hening. Untuk memecah, Vera tersenyum lebar. “Oh iya, Kak... kenalin. Ini cowok yang sering aku ceritain. Mas Aldi. Pacar aku. Aku sama dia rencananya mau langsung nikah.” Aldi melangkah ke depan, senyumnya dibuat ramah, sopan. “Saya Aldi, Bu. Manager keuangan di kantor. Senang bertemu.” Talia menatapnya tajam. Ada rasa ingin menertawakan kebohongan yang nyaris sempurna itu. Ia menarik napas, lalu bicara pelan tapi menusuk. “Kamu beneran mau nikah sama dia, Ver? Yakin? Kenapa nggak selidiki dulu... latar belakangnya?” Aldi spontan menoleh, pura-pura tersinggung. “Maksudnya apa ya, Bu? Apa karena saya terlihat sederhana? Atau karena saya nggak sekaya keluarga ibu Talia?” Bima buru-buru menengahi, tersenyum tipis. “Istriku tidak bermaksud buruk. Dia hanya belum mengenal kamu saja. Aldi ini orangnya rajin, jujur,cekatan, dan pekerjaannya juga bagus. Dia merintis dari nol, Sayang. Aku sendiri menilai dia punya masa depan cerah.” Talia menghela napas, matanya masih menatap Aldi penuh selidik. “Bukan itu maksudku. Tapi... misalnya saja... bagaimana kalau dia ternyata sudah punya istri?” Suasana menegang. Vera terperanjat, Aldi menahan diri agar wajahnya tidak berubah. “Istri?” Aldi tertawa kecil, meski suaranya terdengar kaku. “Saya single, Bu. Belum pernah menikah.” Talia hanya diam, menatapnya dengan pandangan penuh curiga, seolah bisa membaca gelagat kebohongannya yang membuatnya jijik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN