Bab 1 Selingkuh

1641 Kata
Pukul 12 siang. Berliana Aurora, seorang ibu muda berwajah manis dengan rambut dikuncir dua, tersenyum sumringah sambil memeluk rantang makanan di pangkuannya. “Mas Aldi pasti senang banget kalau aku kasih kejutan. Akhirnya setelah dua tahun penantian, aku hamil juga…” ucapnya lirih dengan wajah bahagia, duduk di kursi taksi. Supir taksi melirik lewat kaca spion. “Wah, selamat ya Bu. Jadi ini mau kasih kabar bahagia ke suami?” “Iya, Pak. Aku mau kasih langsung ke Mas Aldi. Dia kerja di perusahaan ini. Selama dua tahun aku selalu ditanya mertua, kenapa belum hamil. Hari ini aku mau kasih kabar bahagia buat semuanya.” Tak lama, taksi berhenti di depan gedung tinggi. “Sudah sampai, Bu. Silakan.” “Terima kasih, Pak.” Berliana membayar ongkos lalu turun dengan semangat. Di dalam lobby, seorang security menghentikannya. “Permisi, Bu. Ibu ada janji sebelumnya? Ingin bertemu siapa?” “Saya mau ketemu suami saya, Mas Aldi Syahreza.” Security itu sempat bingung, lalu menatapnya ragu. “Suami? Maksud Ibu… Pak Aldi HRD kita?” Berliana mengangguk polos. “Iya, Mas Aldi. Dia suamiku.” Security langsung mengernyit. “Bu, jangan bercanda. Pak Aldi HRD kita masih bujangan. Belum menikah. Jangan ngaku-ngaku ya.” “Apa?!” Berliana tercengang. “Suamiku itu OB di sini, bukan HRD. Ini fotonya.” Ia buru-buru menunjukkan foto Aldi yang sederhana. Security menatap foto itu, lalu melotot. “Lho, ini… ini OB kita bener. Tapi Bu, gajinya aja tiga juta per bulan. Gimana bisa Ibu bilang dia HRD? Jangan bikin masalah deh.” “Saya nggak bohong, Pak. Saya cuma mau ketemu suami saya, kasih makan siang buat dia. Tolong percaya sama saya…” Berliana mulai gelisah, tangannya mengusap perutnya yang masih rata. Security menghela napas. “Begini aja Bu, nasinya biar saya yang kasih. Ibu pulang aja sekarang.” “Beneran Pak? Bapak janji?” matanya berkaca-kaca. “Iya Bu, saya janji. Masa saya bohong.” Berliana hendak berbalik pergi, tapi tiba-tiba matanya terpaku. Dari arah pintu, seorang pria keluar… Aldi. Namun tangannya menggandeng mesra seorang wanita cantik, seksi, dan modis. “Mas… Aldi…” suara Berliana bergetar, tubuhnya kaku. Wanita itu manja menggelendot di lengan Aldi. “Mas, mau makan apa? Aku pengen sushi deh.” “Apa aja, Baby.” Aldi tersenyum, mengelus tangan wanita itu. “Mas…” Berliana menitikkan air mata. “Kenapa Mas bisa kayak gini? Aku istri kamu, Mas! Aku rela hidup susah, dihina mertua, semua demi Mas. Tapi apa balasan Mas?” Aldi menegang, wajahnya kesal. “Ngapain kamu datang ke sini, Liana?” desisnya pelan. Wanita di sampingnya, Vera, menoleh curiga. “Mas, kamu kenal sama perempuan ini?” “Dia tetanggaku, Sayang.” Aldi cepat-cepat menjawab. Berliana terisak. “Mas, jangan bohong! Aku istri kamu. Aku bahkan lagi hamil, Mas!” Vera langsung menatap Aldi tajam. “Istri? Mas, apa maksudnya ini?” “Sayang, dia gila. Suaminya ninggalin dia, makanya dia halu. Dia sering ngaku-ngaku ke setiap laki-laki,” Aldi menggenggam tangan Vera, mencoba menenangkannya. “Mas, jangan kejam begitu! Aku nggak gila! Aku istri kamu, Mas. Aku hamil anakmu!” Berliana memohon sambil menangis. Vera mendorong Berliana kasar. “Mbak, jangan ganggu hubungan kami! Saya Vera, calon istri sah Mas Aldi. Jadi tolong jangan halu!” “Calon… istri?” Berliana terbelalak, suaranya tercekat. “Security! Usir perempuan ini sekarang!” Aldi berteriak. “Baik, Pak.” Security mendekati Berliana. “Mari Bu, jangan bikin keributan.” “Mas… tolong… jangan begini ke aku…” Berliana meronta, air matanya tak henti mengalir. Namun Aldi hanya menggandeng Vera ke parkiran dengan senyum tipis. “Sudahlah Sayang, ayo pergi. Jangan pedulikan orang gila itu.” Berliana terhuyung, diseret keluar gerbang. “Jangan pernah muncul lagi di sini!” hardik security sambil menutup pintu gerbang. Tangannya gemetar saat ia masuk ke taksi. Ia menyalakan ponsel, menelpon ibu mertuanya, Yati. “Bu… Mas Aldi selingkuh… sama perempuan lain…” Di seberang, suara dingin terdengar. “Ya biarin aja. Toh kamu juga belum hamil, kan?” Berliana tercekat. “Apa maksud Ibu? Aku sekarang hamil anak Mas Aldi, Bu! Tolong… suruh Mas jauhi perempuan itu…” “Ngapain? Vera itu anak direktur perusahaan. Gara-gara dia, Aldi bisa naik jabatan. Kalau kamu muncul terus, karier Aldi hancur. Jadi mending kamu ceraikan Aldi. Lagian… gugurkan aja kandunganmu itu.” “Apa?!” Berliana menangis keras. “Ibu tega bilang begitu? Ini cucu Ibu sendiri!” “Pokoknya terserah kamu. Tapi jangan ganggu Aldi lagi.” Telpon dimatikan begitu saja. Berliana menunduk, menggenggam perutnya erat. “Kenapa… kenapa semua orang tega sama aku…” bisiknya lirih. Mobil hitam itu meluncur mulus keluar dari area parkiran perusahaan. Aldi menggenggam setir dengan satu tangan, sementara tangan satunya lagi meraih perut Vera dengan penuh manja. “Baby,” ucapnya lembut, “jangan dipikirin soal tetangga gila tadi. Kita fokus aja sama kebahagiaan kita, ya?” Vera tersenyum, jemarinya membelai lengan Aldi. “Aku sih bahagia, Mas. Apalagi sebentar lagi kita menikah, terus baby kita lahir. Rasanya kayak mimpi indah.” “Iya dong, Sayang.” Aldi meliriknya sekilas dengan senyum penuh keyakinan. “Kamu percaya kan sama aku? Semua yang aku lakukan ini… demi masa depan kita.” “Aku percaya sama kamu, Mas,” jawab Vera mantap. “Cuma… jangan sampai ada drama aneh kayak tadi lagi. Aku gak suka lihat perempuan lain nyeret-nyeret nama kamu.” Aldi tertawa kecil. “Tenang aja, kamu satu-satunya di hati aku. Janji.” Vera menggelendot manja di bahunya. “Kalau gitu, ayo kita jalan-jalan. Ke mall, ya? Aku udah lama banget gak shopping.” “Siap, bumil cantik,” balas Aldi sambil mengedipkan mata. Baru saja suasana menjadi hangat, dering ponsel di dashboard memecah keintiman itu. Aldi menekan tombol sambungan di setir mobil. “Bentar ya, Mama telepon,” katanya. Vera mendengus kecil, memainkan ponselnya dengan cemberut. “Iya deh, Mas. Jangan lama-lama, ya.” “Hallo, Ma,” suara Aldi terdengar datar namun hati-hati. Suara Yati, ibunya, terdengar jelas dari speaker. “Aldi, gimana? Si Berlian berulah lagi? Mama gak mau rencana kita gagal gara-gara dia. Ingat, Vera itu kunci masa depanmu. Berlian harus segera disingkirkan.” Aldi melirik sekilas ke arah Vera lalu menurunkan nada suaranya. “Semua terkendali, Ma. Kalau soal Berlian… Mama aja yang atur. Aku ikut aja. Aku lagi di jalan sama Vera, gak enak kalau kebanyakan ngomong.” “Hm, baiklah. Hati-hati bawa mobil. Sampaikan salam Mama buat Vera,” ucap Yati cepat sebelum menutup telepon. Sambungan terputus. Aldi menghela napas lega, kembali fokus menyetir. Namun Vera sudah menatapnya dengan cemberut. “Aku gak suka, Mas,” gumamnya. “Setiap kali Mama kamu telepon, aku jadi ngerasa dianggurin.” Aldi terkekeh, meraih tangan Vera dan mengecup punggungnya singkat. “Sayang, jangan cemburu dong. Itu Mama aku. Kamu tetep nomor satu di hati aku.” Vera menatapnya dengan tatapan yang setengah manja setengah protes. “Hm… janji ya, aku gak bakal dikesampingin sama siapapun, termasuk Mama kamu.” “Janji,” balas Aldi dengan senyum penuh tipu daya yang hanya dia sendiri tahu maknanya. Di rumah mewah keluarga itu, Yati menempelkan ponselnya ke telinga. Suaranya dingin dan penuh tekanan. “Hallo, kamu masih ngikutin taksi yang ditumpangi si Berlian, kan?” Dari ujung seberang terdengar jawaban serak seorang pria. “Masih, Bos. Saya harus ngapain sekarang?” Mata Yati menyipit, senyumnya penuh kebencian. “Tabrak dia. Jangan kasih kesempatan hidup. Bikin dia mampus hari ini juga.” “Siap, Bos,” jawab pria itu tanpa ragu. --- Di dalam taksi, Berlian duduk sambil memeluk rantang makan siang yang belum sempat ia berikan pada Aldi. Wajahnya masih sembab karena tangis. Supir taksi tiba-tiba gelisah melihat kaca spion. “Bu… kayaknya ada mobil dari tadi ngikutin kita,” katanya pelan. Berlian menoleh cepat. “Ngikutin? Siapa orang itu, Pak?” “Entahlah, Bu. Dari tadi pas kita keluar gedung, mobil itu gak pernah jauh.” Degup jantung Berlian semakin cepat. Tangannya gemetar memegangi perut. “Tolong… jangan sampai ada apa-apa sama saya, Pak. Saya lagi hamil…” Supir mencoba menenangkan. “Tenang, Bu. Kita belok di pertigaan depan. Mudah-mudahan dia gak ikut.” Namun begitu mereka berbelok, mobil hitam itu justru melaju semakin dekat. Klakson meraung, lalu— BRUKK! Mobil itu menabrak bagian belakang taksi dengan keras. “Ya Allah!” teriak Berlian histeris. Supir panik membanting setir ke kiri. Dari arah berlawanan, sebuah truk besar melintas dengan kecepatan tinggi. “Pegangan, Bu!” Taksi oleng hebat. Dalam sekejap, DUARR! tabrakan keras terjadi. Mobil terseret, menghantam pembatas jalan, lalu… meluncur masuk ke jurang. Api menyambar, kaca pecah berhamburan, suara dentuman logam bertemu tanah bergema mengerikan. --- Rumah sakit. Berlian tak sadarkan diri, tubuhnya penuh luka. Selang oksigen menempel di wajahnya. Beberapa jam kemudian, matanya perlahan terbuka. Pandangannya buram. “Ughh… aku… di mana ini?” bisiknya. Seorang perawat berlari kecil. “Dokter! Ibu Talia sudah sadar!” Berlian terperangah. “Talia? Siapa itu? Saya… bukan Talia.” Dokter mendekat dengan nada lembut. “Ibu, tolong tenang. Anda baru saja mengalami kecelakaan cukup parah. Mungkin ingatan Anda sedikit terguncang.” Berlian bergumam bingung. “Apa maksudnya? Aku… namaku Berlian, bukan Talia…” Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang pria tinggi tegap masuk. Wajahnya begitu rupawan, rahangnya tegas, sorot matanya tajam bak elang. Setelan jas hitam melekat sempurna di tubuh tingginya. Dengan langkah mantap ia mendekat, lalu menggenggam tangan Berlian. “Sayang… are you okay?” suaranya berat namun penuh kelembutan. Berlian menatapnya bingung. “Kamu siapa?” Pria itu terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku… Bima. Suamimu, Baby.” “Suami?” mata Berlian membesar. Ia hampir tak percaya. “Aku punya… suami?” Bima mengangguk mantap. Ia menunduk, mencium kening Berlian. “Ya. Aku suamimu. Dan aku tidak akan biarkan siapapun menyakitimu lagi.” Dalam hati Berlian berteriak panik. Apa-apaan ini? Kenapa aku bisa ada di tubuh orang lain? Kenapa semua orang memanggilku… Talia?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN