Edelweis sama sekali tak berminat dengan hadiah dari Edgar. hadiah itu hanya diletakkan di meja dan dia tinggal tidur. Dia juga mengaktifkan ponselnya mode pesawat. Jadi tidak ada satupun orang yang bisa menghubunginya. Dia bisa tidur dengan nyenyak.
Dalam mimpinya dia bertemu lagi dengan Indra, cinta pertama, yang sulit dia lupakan.
Indra, ketua osis SMA Merdeka. Remaja lelaki ganteng, tetapi lucu. Banyak yang naksir, tapi lebih memilih jomblo.
"Biar kalian bebas meledekin aku," jawab Indra dengan tampang konyolnya di depan kelas, ketika ada teman perempuan yang bertanya kenapa Indra belum memiliki pacar.
"Aku mau lho Ndra, jadi pacar kamu!" kata teman Edelweis yang bernama Siska.
"Jangan. Kamu terlalu cantik. Aku ini jelek," kata Indra. "Maniak game lagi."
Siska yang ditolak hanya tertawa karena disanjung. Indra, memang pintar untuk mengambil hati siapapun. Termasuk Edelweis, gadis yang pendiam di kelas.
Kemana pun Indra berada, selalu ada yang menyapa, mengajak bicara. Bahkan adik kelas ada yang meminta fotonya. Namun hal itu hanya berjalan sementara. Setelah adik kelas itu terbiasa, mereka hanya menganggap Indra sebagai teman biasa. Bahkan sudah mulai menghapus foto-foto yang mereka simpan.
Indra tak pernah mengistimewakan siapapun. Suatu hari Indra masuk ke kelas Edelweis. Edelweis yang baru memiliki ponsel dari kakaknya, ingin sekali mengambil foto Indra. Sebagai kenang-kenangan masa SMA, ada idola di sekolah. Meski idola tak pernah mengenalnya.
Dia mengambil foto sangat hati-hati dan smebunyi-sembunyi. Dia simpan di ponsel, sampai dia lupa sendiri.
"Del, aku pinjam ponselmu ya. Mau kirim lagu," kata Siska.
"Boleh, tapi jangan buka lain selain musik ya!" Edelweis mengingatkan.
Siska tentu saja sangat penasaran. Dia tak mengindahkan peringatan Edelweis. Semakin dilarang, semakin ingin dilakukan. Lagipula dia ingin tahu rahasia apa yang disembunyikan gadis pendiam seperti Edelweis.
Edelweis jarang bicara atau menanggapi percakapan orang lain. Dia hanya tersenyum tanpa mengatakan pendapatnya.
Siska pasti bisa membongkar rahasia kelam Edelweis.
Siska duduk di bangkunya sendiri dan mulai menguak atik ponsel Edelweis. Dia tentu saja membuka galeri berisi foto foto. Edelweis hanya mengambil.gambar bunga, pemandangan, buku. Semuanya terasa membosankan bagi Siska.
Siska terus saja mencari ke foto foto lama dan akhirnya dia menikam satu foto. Hanya satu foto, tetapi membuatnya tersenyum. Dia sangat senang dengan foto itu. Dia tidak menyangka bahwa Edelweis juga punya perasaan terhadap lelaki. Dia mengira Edelweis itu tidak normal.
Foto di ponsel Edelweis dia foto menggunakan ponselnya. Dia lakukan itu agar jelas terlihat bahwa foto itu memang berasal dari ponsel Edelweis.
Siska mengembalikan ponsel Edelweis dengan ceria.
"Terimakasih Edelweis, kamu memang anak yang baik," puji Siska.
Edelweis hanya menatap Siska. "Sama-sama."
Keesokan harinya ketika Edelweis berangkat sekolah, hatinya merasa gelisah. Diaerasa ada yang ketinggalan di rumah. Tetapi apa?
Dia meletakkan tas di meja, tidak ada yang aneh.
Baru ketika istirahat pertama, dia tahu. Ada yang aneh dengan teman perempuan sekelasnya.
"Ternyata gadis paling pendiam di kelas kita, juga naksir ketua OSIS!"
Semua teman perempuan menyimak perkataan Yuni, sahabat Siska. Mereka melirik Edelweis yang duduk di bangku kedua dari depan. Mereka menduga itu Edelweis. Tetapi belum ada yang bersuara sebab Yuni belum selesai.
"Dia sengaja mengambil foto pas ketua OSIS ganteng kita di kelas ini beberapa waktu lalu," kata Yuni lagi. Dia menyeringai sambil menatap Edelweis.
Edelweis duduk.di bangkunya, kakinya gemetar. Dia tahu mereka sedang membicarakan dirinya. Dia langsung teringat foto yang ada di ponselnya. Dia membuka ponsel dan masuk ke galeri. Mencari cari foto itu dan menghapusnya.
Tetapi terlambat, Siska dan Yuni jauh lebih pintar.
"Lihat, aku sengaja mencetak foto itu kemarin dan akan memperlihatkannya pada kalian semua," kata Yuni. Siska duduk di bangkunya dan terkikik.
Yuni mengeluarkan selembar foto dan menempelkan di papan tulis dengan selotip.
Beberapa anak maju melihat dan menatap Edelweis dengan aneh. Edelweis menunduk. Dia tidak berani mengangkat wajahnya. Dia bisa merasakan seluruh mata memandang dengan aneh.
Anak laki-laki tidak ada yang di kelas. Mereka lebih memilih main di luar kelas. Tidak peduli dengan apa yang terjadi di dalam kelas. Kelas dikuasai oleh Siska dan Yuni.
"Ini kan ponselnya Edelweis," celetuk satu teman yang sudah melihat foto itu.
"Bu..bukan punyaku," bantah Edelweis dengan suara parau. "Tidak ada di ponselku."
"Sudah dihapus pasti."
"Itu jelas -jelas ponselmu Del. Ponsel jadul begitu hanya kamu yang punya."
Edelweis terdiam.
Yuni dan Siska saling pandang. Dari sorot matanya mereka puas dengan pertunjukkan mereka.
"Gadis munafik!" Maki seorang anak.
"Munafik!"
"Munafik!"
Edelweis berderap keluar kelas. Hatinya terasa sakit dan tertekan. Dia tidak sanggup berada di ruang kelas lebih lama lagi. Suara suara itu berdengung di telinganya. Memaki dia dengan sebutan munafik.
Edelweis tidak memiliki keberanian untuk membantah. Dia mengurung diri di toilet sekolah sampai pelajaran selesai.
Penderita Edelweis tidak berakhir. Dia tidak memiliki teman bicara. Semua teman perempuan hanya membisu ketika ditanya olehnya. Hanya Yuni dan Siska yang mau menjawab pertanyaannya. Tentu dengan nada mengejek dan menghina.
Edelweis hanya bicara tenan dengan laki-laki. Mereka tidak terpengaruh oleh tindakan anak cewek.
Namun hal itu malah memicu kemarahan Siska dan Yuni. Mereka berencana membuat kejutan pada Edelweis di hari ulang tahunnya.
Sepulang sekolah, Edelweis digiring ke belakang gedung kelas. Dia berdiri mematung dan ketakutan. Edelweis tidak bisa berteriak minta tolong. Mulutnya terkunci rapat. Dia hanya bisa pasrah.
"Edelweis selamat ulang tahun," kata Siska.
Yuni menyiram Edelweis dengan seember air. Tubuh Edelweis basah kuyup. Dia hanya bisa memeluk tubuhnya yang kedinginan.
"Lho Edel kok diam saja, kenapa tidak mengucapkan terimakasih? Kami ingat sekali ulang tahunmu. Kami teman yang baik kan?" Tanya Yuni.
Siska mengibaskan rambutnya. Dia mengambil seplastik tepung terigu yang dia bawa dari rumah. Dia buka plastiknya dan mengucurkan di tas rambut Edelweis.
"Hadiah dari kami," kata Siska tertawa.
Edelweis tidak berani melawan. Dia hanya diam ketika beberapa anak ikut menyanyikan lagu ulang tahun. Padahal Edelweis kedinginan dan ketakutan .
"Del, kamu naksir ya sama Indra? Kita bisa kirim fotomu ini ke dia," kata Siska.
Yuni dengan sigap mengambil foto Edelweis yang meringkuk di sudut dengan keadaan kacau dan kotor. Edelweis tetap tidak bicara.
"Duh ini kok diam Mulu sih," kata Siska terdengar kesal.
Yuni memaksa Edelweis bangun. Tetapi Edelweis menolak. Dia tetap duduk memeluk kedua lututnya.
"Apa-apaan ini?" Tanya seorang lelaki yang sedang lewat. Dia tidak sendiri, ada beberapa anak bersamanya.