Selesai memijit dan mengolesi perut Anya dengan minyak kayu putih, Bara kembali ke dapur untuk mencuci tangan. Matanya melihat ada botol kaca kosong di samping tempat cucian piring. Dicucinya botol itu, lalu ia isi dengan air panas dari dispenser. Dengan dilapisi sapu tangan yang berada di kantong celananya, pria itu membawa benda berisi air itu ke ruang keluarga, di mana Anya berada.
Anya terlihat kembali memejamkan mata dengan satu tangan berada di perut.
"Aw!" pekik gadis itu saat merasakan ada benda panas mengenai perutnya. "Apa lagi, sih, ini?! Lo ganggu gue terus, tahu, nggak?!"
"Maaf ... ini air hangat. Ehm, agak panas. Buat ngompres perut kamu. Siapa tahu, bisa mengurangi rasa sakit. Sekarang, kamu duduk. Pegangi botol ini. Biar aku suapin kamu."
Kali ini Anya tidak bersuara. Ia langsung bangun menuruti titah Bara.
Dengan telaten, pria berusia 26 tahun itu menyuapi sang istri. Saat ada nasi menempel di pinggir bibir, ia membersihkan dengan jarinya. Mata mereka saling tatap. Hingga Bara tak tahan lagi untuk mencium pipi gadis jutek di depannya.
"Lo, ya ... selalu ngambil kesempatan!" protes Anya sambil memalingkan muka.
"Halal ini ... lagian, kan, cuma pipi. Belum yang lain."
"Belum yang lain?! Enak aja, lo! Gue nggak akan biarin lo ngelakuin lebih dari itu. Emangnya gue cewek apaan?!"
Mendengar pernyataan Anya, membuat Bara tersenyum. Ia sangat bersyukur bisa memilikinya. Memang tidak salah dirinya memilih untuk konsisten pada keputusannya. Nyatanya, istrinya memang gadis baik-baik. Gadis yang sangat menjaga kehormatan dan harga dirinya.
"Ngapain lo senyum-senyum?! Pasti lagi mikirin jorok, ya?! Dasar cowok!"
"Jangan berprasangka buruk terus. Aku senyum-senyum karena bangga sama kamu. Aku salut sama kamu. Di saat banyak di luar sana gadis seumuran kamu yang berlomba melacurkan diri sama pacarnya, kamu malah marah saat suami kamu nyium kamu. Nggak suka disentuh laki-laki. Berarti kamu benar-benar wanita yang punya prinsip."
"Udah jam satu, tuh ... balik kantor, sana. Nanti dipecat kalo telat."
"Aku udah bilang Papa, kalau kamu sakit. Jadi, aku ijin buat nemenin kamu."
"Jangan lebay, deh ... orang gue nggak kenapa-kenapa. Ini udah biasa. Gue nggak mau ngerepotin orang." Bukan itu alasan sebenarnya. Anya hanya tidak suka dengan perhatian Bara yang menurutnya over. Ia takut akan m******t ludah sendiri jika terlalu sering berinteraksi dengan Bara.
"Aku nggak merasa direpotkan. Lagi pula, bisa buat belajar aku juga. Jadi, kelak kalau kita udah serumah, aku udah nggak bingung lagi ngadepin PMS kamu tiap bulannya."
"Ih ... siapa juga yang mau satu rumah sama lo! Gue nggak mau ninggalin Bunda."
"Ya, udah ... kita tinggal di sini sama Bunda. Aku akan nurutin apa pun keinginan kamu."
'Ish ... nih cowok. Bisa nggak, sih, nggak usah seperti ini?! Bun ... tolong Anya, Bun ... Anya nggak mau jatuh cinta sama nih orang.'
***
Pulang dari kantor, papa Bara menjemput bunda Anya. Hal itu memang sudah dilakukannya beberapa hari ini. Ia yang menyetir sendiri.
“”Mas ... harusnya Mas Ardi nggak usah keseringan jemput aku, Mas....” Ardi adalah nama panggilan papa Bara.
“”Aku udah ijin sama ayahnya Anya buat deketin kamu. Aku kemarin ke makamnya buat ngomongin perasaan aku ke kamu.
“”Bukan masalah itu, Mas ... hanya saja kita bukan lagi ABG, masa kita mau saingan sama anak-anak kita.””
“”Yen ... nggak ada saingan kalo soal cinta. Kita sama-sama sendiri. Apa salahnya? Aku butuh teman hidup, bukan sekadar teman tidur. Udah, buruan masuk! Katanya Anya sakit. Jangan sampai kita terlambat pulang hanya karena kamu yang terus-menerus nolak aku.”
“”Ck.””
Meskipun merasa risi, wanita bernama Yeni itu akhirnya tetap masuk ke mobil besannya. Ada benarnya, ia harus segera sampai rumah.
***
Sesampainya di depan rumah, bunda Anya segera turun. Sementara papa Bara memarkirkan mobil. Mobil Bara masih terparkir rapi.
“”Anya mana, Bar?” tanya bunda Anya begitu Bara membuka pintu.
“”Tidur, Bun ... tadi perutnya kram.””
“”Udah biasa begitu dia. Kata dokter, hal itu berhenti kalau nanti dia udah pernah melahirkan.””
Bara tersenyum membayangkan ia dan Anya memiliki anak.
“Kenapa senyum-senyum?!””tegur papa Bara sambil menepuk pundak sang putra.
“Papa. Enggak, Pa! Bara cuma lagi bayangin Bara sama Anya punya anak, jawab Bara kemudian terkekeh.
“Bar ... Bar, bayangin punya anak sama Anya, apa bikin anak sama Anya? canda papa Bara.
Haha, dua-duanya, Pa.”
Kedua pria beda usia itu tertawa bersama. Berbeda dengan bunda Anya yang tersipu akibat candaan besan dan menantunya. Entah kenapa ia merasa demikian.
***
Hari perpisahan tiba. Bara ikut hadir di sekolah Anya bersama Bunda. Mata pria itu tak pernah luput memperhatikan sang istri yang duduk bersama teman-teman sekelasnya. Hatinya bergemuruh saat melihat Anya bersenda gurau dengan teman prianya. Namun, sebisa mungkin pria itu menahan gejolak emosi di dalam d**a.
Saat acara selesai, Anya meminta izin pada bundanya untuk ikut konvoi bersama teman-teman.
"Nggak ... nggak ada acara begitu!" Bara yang mendengarnya, langsung melarang sebelum mertuanya bersuara.
"Gue nggak ngomong sama lo! Gue ngomong sama Bunda. Lagian, lo siapa pakai ngelarang gue?!" ucap Anya dengan kesal.
"Anya ... kamu nggak boleh begitu sama suami kamu. Nggak sopan. Dia punya hak buat melarang kamu," Bunda mencoba menasehati sang putri.
"Bun ... ini cuma sekali seumur hidup. Kami nggak akan ngerusuh, kok, Bun. Kami cuma mau keliling aja pakai motor. Anya janji nggak akan lama." Gadis berumur 18 tahun itu mencoba membujuk bundanya.
"Aku ijinin kamu. Tapi aku ikutin kamu dari belakang. Bunda nggak apa, kan, Bun, pulang sendiri?"
Mendengar apa yang Bara ucapkan, membuat mata Anya melebar.
"Nggak apa-apa. Bunda bisa naik taksi. Titip putri Bunda ya, Bar."
"Iya, Bun ... Bunda tenang saja."
Meskipun kesal, Anya merasa senang, akhirnya ia jadi ikut konvoi bersama teman-temannya. Setelah bundanya naik taksi meninggalkan area sekolah untuk pulang, Anya sudah berniat menghampiri teman-temannya. Namun, Bara memegangi pergelangan tangan gadis itu.
"Mau ke mana?"
"Mau ganti baju. Terus gabung sama yang lain," jawab Anya datar.
"Oke ... aku tunggu di mobil."
"Buat apa?! Lebih baik lo pulang. Gue mau bonceng temen gue."
"Silakan ... yang penting kamu jangan macam-macam. Aku tunggu di mobil."
"Ck." Anya hanya berdecak. Setelah itu, ia berjalan menuju salah satu toilet untuk mengganti baju. Sedangkan Bara masuk ke mobilnya.
Lima belas menit kemudian, terlihat Anya keluar dari sekolah membonceng teman prianya yang tadi sempat bersenda gurau dengannya. Bara memang menunggu di depan sekolah. Yang Bara tidak tahu, Anya memang sengaja melakukan itu agar Bara kesal. Ia sebal karena pria itu sudah membuat bundanya lebih berpihak pada suaminya itu.
"Lo mau kuliah di mana, Nya?" tanya teman pria Anya yang mengendarai motor. Namanya Faiz.
"Gue mau coba yang negeri. Nyokap gue, kan, single parent, gue nggak mau kuliah yang mahal-mahal."
"Daftar bareng, yuk! Siapa tahu, kita bisa kuliah di tempat yang sama. Dengan begitu, gue bisa antar jemput lo tiap hari. Kan, jadi hemat ongkos."
"Boleh juga ... lo samperin gue, ya ... kalo mau daftar."
"Oke...."
Bara yang berada tidak jauh di belakang sepeda motor Faiz, merasa sangat kesal. Cemburu. Anya dan Faiz terlihat sangat mesra di mata Bara. Terlihat seperti orang yang sedang berpacaran. Untungnya, pria itu bukan tipe orang dengan emosi yang suka meledak-ledak sampai detik ini.
***
"Pa ... Bara mau pernikahan Bara dan Anya segera diresmikan. Daftarkan ke KUA," ujar Bara saat makan malam bersama sang ayah. Ia takut, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
"Boleh saja ... urus saja surat-suratnya. Mau resepsi juga?"
"Kalau resepsi, terserah Anya. Bara cuma ingin, pernikahan kami diakui negara. Bara nggak mau ada yang merebut Anya dari Bara."
Tawa orang tua dari Bara itu pecah. "Sebegitu cintanya kamu sama dia."
"Jelas, dong, Pa ... kalau nggak cinta, mana mungkin Bara tahan godaan sepuluh tahun lebih. Sejak Bara SMP juga banyak yang mau Bara jadikan pacar. Tapi Bara memilih sendiri."
"Baguslah. Papa harap, semoga kamu selalu seperti ini Papa bangga sama kamu."
oOo