BAB 4 - Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku

1202 Kata
Sudah beberapa hari berlalu, orang-orang di rumah curiga mengapa Larasati tidak pernah berangkat ke sekolah dan terus saja beralasan bahwa sekolah tengah libur. Namun, Nurmala datang dan berkata bahwa sekolah masih berjalan normal. “Jadi, kenapa kamu nggak berangkat ke sekolah, Laras? Apa ada sesuatu yang terjadi?!” Nurmala menghardik tanpa lupa menggunakan bahasa isyarat dan dia melihat kakak iparnya lagi-lagi mengelak. “Aku baru saja lewat sekolahmu dan anak-anak semuanya masuk!” Larasati masih berusaha menyangkal. Dia tetap akan menyembunyikan tuduhan yang membuatnya harus mengundurkan diri dan membuktikan bahwa semua itu tidaklah benar, tetapi tiba-tiba Nurmala menepis tangannya yang sedang berbicara. “Halah! Kamu ini cuma beralasan aja! Besok aku tanya langsung pada Kepala Sekolah biar lebih jelas!” Larasati terperanjat. Dia memohon-mohon agar Nurmala tidak melakukannya, tetapi wanita berusia 25 tahun itu tetap tak acuh dan bersikap angkuh. Dia terus memohon tanpa sadar jika ibu mertuanya menuntut penjelasan. Nurmala lagi-lagi menepis tangan Larasati dan membentak, “Ibu lagi ngomong sama kamu!” Wanita yang disia-siakan suaminya itu menoleh ke mana sang ibu mertua berada. Tatapan Larasati tiba-tiba terlihat kebingungan saat melihat gerakan tangan Harti, ibu mertuanya, menuntut penjelasan yang nyata. Lantas demi menghindari hal-hal yang tidak-tidak, Larasati mengatakan kondisi yang sejujurnya, bahwa dia tidak lagi bekerja menjadi guru setelah menerima tuduhan pelecehan oleh salah satu wali murid. “Apa?!” Harti mendadak berang. Suaranya meninggi dan kedua matanya melotot lebar. Dia segera menatap tajam menantunya yang tidak berguna itu. “Kalau kamu berhenti jadi guru, mau jadi apa kamu di sini? Cuma jadi benalu keluarga suamimu, hah?!” Larasati menunduk setelah membaca gerakan bibir Harti yang hanya dimengerti sebagian saja. Namun, dia jelas tahu jika wanita itu sedang marah dan menyalahkan kondisinya yang hanya menjadi benalu keluarga. “Aku sudah menerimamu jadi menantu karena kamu lulusan tinggi! Harusnya kamu memanfaatkan gelarmu itu dan cari uang yang banyak! Bukan malah nyusahin begini!” Nurmala hanya mendengkus dan menatap Larasati dengan sinis. Dia menikmati bagaimana ibu mertuanya menyudutkan sang kakak ipar yang tuli dan bisu. “Pokoknya kamu harus dapat kerjaan lagi! Hidup ini butuh biaya mahal! Masa kamu cuma bisanya numpang!” Semua ini salah Larasati yang tidak mendengarkan kakak-kakaknya dulu. Andai saja dia tidak menikah dengan laki-laki dari kota itu, atau setidaknya menjaga warisan peninggalan orang tuanya yang tidak seberapa itu, pasti dia tidak akan terjebak seperti ini. Warisan berupa sawah empat petak telah dijual dengan harga 150 juta dan semua uang itu digunakan untuk membeli rumah di kota yang sayangnya atas nama Harti Widyastuti, mertuanya, karena saat itu surat pindah dan lainnya masih belum beres. Larasati menaruh kepercayaan besar mengingat Anton, pria yang menerimanya apa adanya –juga pria yang meninggalkannya berbulan-bulan lalu, hingga membeli rumah atas nama Ibu Mertua pun tidak masalah. Kenyataannya, sekarang Larasati hidup dengan mereka yang tidak tahu diri dan bertingkah layaknya menjadi satu-satunya yang pantas bersikap seperti itu. Sementara itu, sudah tiga hari Mahesa menunggu Larasati di depan sekolah untuk menagih janji, tetapi selama itu pula penantiannya berbuah sia-sia. Wanita bisu dan tuli yang diinginkan anaknya tidak muncul dan dia pikir wanita itu sedang cuti. Akan tetapi, ada guru baru yang membuatnya curiga dan pada akhirnya datang menemui Mirna untuk memastikan sesuatu. “Bu Larasati mengundurkan diri?” Mahesa berbicara tidak percaya. “Alasannya apa, Bu? Bukankah anak-anak menyukainya?” Mirna mendesah panjang dan meremas-remas tangannya. “Sebenarnya beberapa hari yang lalu sesuatu terjadi, Pak. Ada wali murid datang dan menuduh bahwa Bu Larasati melecehkan anaknya ….” “Apa?!” “Tentu saya tidak percaya karena tidak mungkin Bu Larasati melakukan sesuatu yang memalukan seperti itu, tapi saya juga tidak bisa memihak, Pak, apalagi menyangkut nama baik sekolah.” Mahesa mengangguk setuju, tetapi apa yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa Larasati dituduh melecehkan seorang anak. Sekarang dia merasa ragu untuk menjadikannya tutor pribadi Liam sementara dirinya masih belum tahu seluk beluk wanita itu. Di zaman sekarang ini mempercayai seseorang adalah hal sulit karena bisa saja daging tak seindah kulitnya. Mahesa melangkah pergi dari taman kanak-kanak tersebut dan berpikir apa yang seharusnya dilakukan. Dia tidak bisa melepaskan Liam pada seseorang yang menerima tuduhan buruk seperti pelecehan seksual, tetapi jika tidak, anak itu pasti menarik ucapannya. “Aku mungkin tidak bisa menikah dengan Viona.” Mahesa membenturkan belakang kepala pada kursi setelah duduk di dalam mobil. “Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku biarkan saja Liam tinggal dengan neneknya agar aku bisa menikah?” Mahesa menggeram sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil dan beranjak pergi dari area parkir untuk segera kembali ke kantor. Dia akan mengabaikan masalah ini dan memikirkannya lagi begitu urusan di kantor selesai. Lalu seperti biasa, setelah Mahesa pulang dari kantor, Liam akan menghadangnya di depan pintu dan menagih janji sambil melipat kedua tangan di depan, juga tatapan mengerikan bagai singa berang. “Kenapa Tante Larasati belum datang ke sini?” tanya anak itu dengan nada ketus. “Papa bilang hari ini Papa bakal bawa Tante Laras.” Mahesa menghela napas. “Masalahnya begini, sayang … Bu Larasati sudah tidak lagi mengajar di sekolah karena dia sudah melakukan sesuatu yang buruk.” “Papa pasti bohong.” Liam menatap curiga. “Ini cuma alasan Papa biar Tante Laras nggak ke sini, ‘kan?” “Liam …,” panggil Mahesa, “kamu harus percaya sama Papa kalau tidak ingin menyesal. Wanita itu bukan wanita baik-baik seperti yang kamu kira!” Liam mendengkus keras dan membuang muka sambil berlalu pergi. “Tante Viona juga bukan orang baik seperti yang Papa kira!” “Aduh, anak itu benar-benar!” Mahesa memijat kepalanya melihat Liam yang berlalu pergi. Mahesa sendiri sadar jika dirinya pun keras kepala dan keinginannya tidak bisa diganggu gugat. Selama ini dia merasa baik-baik saja dengan sikap itu dan menganggap semua orang pasti mengerti sudut pandangnya. Namun, melihat Liam yang super keras kepala membuatnya benci pada diri sendiri. “Aku yakin seperti inilah perasaan orang-orang saat mereka berhadapan denganku.” Beberapa hari setelah Larasati mengundurkan diri, Mirna datang ke sebuah tempat kursus bahasa isyarat. Dia tidak bisa tinggal diam dan membiarkan perempuan itu bingung tanpa pekerjaan. Lalu setelah mendapat beberapa rekomendasi dari kenalannya, dia datang menemui pemilik tempat les tersebut dan berbicara tentang Larasati, beserta tuduhan yang diterima wanita itu, juga kepercayaannya yang besar pada Larasati agar kasus yang terjadi tidak menjadi batu penghalang. Di sinilah Larasati sekarang. Dia dengan pakaiannya yang rapi berdiri di depan sebuah tempat kursus bahasa isyarat setelah Mirna merekomendasikan dirinya untuk bisa bergabung. Aku bersyukur sekali Bu Mirna masih percaya padaku sampai-sampai dia membawaku ke tempat seperti ini. Terima kasih, Bu Mirna. Menghela napas panjang untuk mengurangi rasa cemas, Larasati melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung berlantai lima. Tujuannya ada di lantai tiga, tempat kursus bahasa isyarat yang dibentuk sejak sepuluh tahun lalu. Tangannya mengetuk pintu dan ketika Larasati mendorong pintu tersebut, seseorang di dalamnya mendongak. Dia bertemu pandang dengan seorang pria yang merupakan pemilik tempat les bahasa isyarat, Danu Atmawijaya. Larasati tersenyum ramah dan menyapa, pria itu pun membalas sapaannya dengan ramah dan memintanya untuk segera masuk. Namun, baru satu langkah maju, atensi Larasati teralihkan oleh siluet seseorang yang berdiri di dekat rak buku. Pria itu menoleh dan matanya bertemu pandang dengan Larasati yang lantas membuat kernyitan di dahinya muncul dengan jelas. “Kamu …?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN