BAB 2 - Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku

1690 Kata
Bel berbunyi, lampu merah di atas pintu berkelap-kelip agar para siswa-siswi berkebutuhan khusus tahu bahwa jam pelajaran akan segera dimulai. Mereka berbaris sesuai kelas masing-masing lalu masuk dan mengikuti pembelajaran yang disampaikan secara khusus. Larasati melangkah masuk ke dalam kelas yang berisi sekitar tujuh anak tunarungu dan wicara. Dia mengangkat kedua tangan di samping kepala lalu menggerakannya sebagai sapaan pada mereka anak didiknya yang tidak bisa bicara atau mendengar. Selain sebagai istri yang disia-siakan, Larasati adalah seorang guru yang mengajar anak-anak menggunakan bahasa isyarat agar mereka bisa berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa tubuh yang indah. Wanita itu mulai mengajarkan anak-anaknya, satu demi satu gerakan, satu demi satu arti agar nantinya mereka bisa berbicara dengan dunia luar yang lebih luas lagi. Mereka mungkin tinggal di dunia yang ketika mereka menutup mata, mereka bagai berada di ruang tertutup tanpa celah seorang diri, tetapi begitu mereka membuka mata, dunia luas dan berwarna menyapa dan harus mereka hadapi. Dua jam kemudian, pembelajaran berakhir. Larasati meninggalkan kelas dengan suka cita dan berjanji bahwa mereka akan bersenang-senang esok hari. Namun, begitu keluar dari ruang kelas, dia bertemu dengan kepala sekolah yang memintanya untuk melakukan sesuatu. “Bisakah saya minta tolong padamu, Bu Laras?” tanya Mirna dengan bahasa isyaratnya yang luwes. Larasati membalasnya dengan gerakan tangan dan bertanya pada Mirna apa yang bisa dia bantu. “Tolong sajikan dua gelas teh hangat ke ruangan saya. Ada donatur baru yang hari ini datang!” Larasati tersentak senang mendengarnya. Sekolah tempatnya mengajar memang mempunyai keterbatasan dana dan mengetahui ada donatur baru, sungguh melegakan. Dia kemudian mengangguk semangat dan membiarkan Mirna pergi, sementara dirinya bergegas membuat teh untuk donatur baru tersebut. Selagi Larasati pergi membuat teh, Mirna kembali ke ruangannya dan bertemu dengan seseorang yang datang dari perusahaan ternama di bidang perkembangan multimedia tersebut. “Saya merasa sangat terhormat Anda datang ke sekolah kami, Pak Mahesa,” ucap wanita bertubuh gemuk dan membuat napasnya terdengar lebih keras daripada orang biasanya. Mahesa Dhanjaya, pimpinan perusahaan R&G Multimedia tersebut tersenyum ramah menanggapi ucapan Mirna. “Saya kagum pada Anda yang mendirikan sekolah khusus ini, Bu Mirna, jadi saya pikir adalah keharusan bagi saya untuk mendukung Anda dari belakang.” Mirna tertawa kecil mendengar pujian Mahesa. “Itu karena saya memiliki anak yang tidak sesempurna anak lainnya,” jawabnya pelan sambil menghela napas. “Saya pikir keputusan bagus untuk mengajak anak-anak lain yang senasib seperti anak saya untuk belajar berbicara dengan dunia luar menggunakan indra mereka yang lain.” Mahesa mengangguk setuju dan bersamaan dengan itu suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Dia menoleh dan mendapati Liam datang bersama seorang wanita yang entah kenapa tidak begitu asing baginya. “Liam? Apa kamu membuat masalah lagi kali ini?” tanya Mahesa cemas. “Tidak,” jawab Liam saat menghampiri sang ayah dan duduk di sampingnya. “Aku cuma jalan-jalan di luar, tapi kebetulan ketemu sama Tante Larasati.” Oh, ternyata wanita bisu itu. Mahesa menatap Larasati yang membungku, menyapa dengan bahasa isyarat, kemudian beralih pada Liam sementara Larasati meletakkan teh di atas meja. “Ayah sudah bilang kalau kamu tidak boleh bertingkah lagi, bukan?” Mahesa kembali memastikan dan sekarang ucapannya terdengar mengancam. “Iya, aku tahu.” Larasati menggerakkan tangannya dan mempersilakan agar Mahesa menikmati teh buatannya. “Tante Larasati bilang, silakan dinikmati, Ayah!” Liam menerjemahkan dan membuat Mirna terkejut. “Kamu bisa bahasa isyarat?!” Mirna membelalakkan mata lebar-lebar, kagum pada Liam yang usianya belum genap lima tahun itu. “Astaga! Anak pintar siapa namamu, Sayang?” “Halo, namaku Liam Abraham, kelas A Taman Kanak-kanak Pelangi Indah.” “Oh … astaga! Kamu benar-benar pintar, Liam!” Mirna dibuat terkagum-kagum sampai kedua matanya berbinar-binar. Larasati yang melihat Mirna terkagum pun ikut tersenyum meski dia tidak tahu betul mengapa kepala sekolah tersebut begitu antusias. Akan tetapi, dia yakin betul jika Liam baru saja memperkenalkan diri. Liam meringis lebar pada Larasati. Tatapannya tidak sama seperti ketika anak itu menatap wanita-wanita yang dikenalkan Mahesa padanya karena dia yakin betul jika Larasati adalah wanita yang seharusnya diperkenalkan oleh sang ayah padanya. Tidak. Itu harus Larasati. Setelah menyelesaikan urusan yang berkaitan dengan donasi, Mahesa bergegas pergi dari sekolah khusus tersebut. Dia menjadi orang penting nomor satu sekarang karena tak hanya berdonasi, jumlah uang yang dialirkan setiap bulanya untuk sekolah itu terbilang luar biasa sampai-sampai membuat Mirna merasa tenang bukan main. Menggandeng tangan Mahesa, Liam sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Larasati masih ada di sana untuk mengantarnya atau tidak. Namun, rupanya wanita itu sudah pergi bersama anak-anak lain yang menarik tangannya untuk kembali ke kelas. “Tante Larasati itu baik. Jauh lebih baik dari Tante Viona.” Langkah kaki Mahesa tiba-tiba berhenti. Dia menghela napas berat dan menatap Liam jenuh. “Kamu tahu betapa sedihnya Tante Viona? Dia menangis sepanjang malam karena kamu pergi begitu saja!” “Papa kalau mau menikah sama Tante Viona, silakan aja.” Liam mendengkus keras, menepis tangan Mahesa dan berlalu pergi begitu saja dengan kedua tangan melipat. “Aku mau tinggal sama Nenek saja!” Mahesa menggeram, berkacak pinggang menatap Liam dengan ekspresi kesal. Dia benar-benar tidak tahu dari mana anak itu mendapat sifat keras kepala dan percaya diri seperti itu. “Liam, berhenti di sana.” Mahesa menekankan ucapannya, tetapi Liam tak acuh dan tetap melangkah pergi. “Liam Abraham, berhenti di sana!” Liam sontak berhenti, tetapi bukan karena ancaman sang ayah, melainkan sosok pria mencurigakan yang berdiri tepat di samping gerbang sekolah. Dia memperhatikan pria itu, memastikan sekali lagi niat jahat apa yang dibawanya ke tempat seperti ini. Pokoknya Larasati harus ikut denganku nanti. Akan kubawa perempuan itu ke gedung kosong dan bersenang-senang dengannya! Kedua kaki kecil Liam mendadak berhenti. Matanya menatap tajam ke arah Malik yang sudah menunggu di sana beberapa menit lalu dan setelah mengetahui niat buruk pria tak dikenal itu, Liam berbalik arah kembali ke area sekolah. “Aku masih ada urusan sama Tante Larasati! Jadi, Papa pulang saja sendiri!” Mahesa benar-benar dibuat geram oleh anak laki-lakinya yang super itu. Dia berkacak pinggang, mengikuti Liam dengan tatapan matanya. “Liam, kamu mau Papa kurung di gudang selama satu minggu?!” Liam mengerem mendadak. Kedua bahunya tampak tidak semangat saat berbalik menatap sang Ayah yang terlihat emosi. “Setidaknya turutin kemauanku yang satu itu, Papa!” “Tidak.” Mahesa menekankan ucapannya, tak peduli jika Liam kecewa berat. “Papa akan menuruti kemauanmu yang lain, asal bukan meminta wanita itu jadi tutormu. Dia bisa apa?” Sontak saja Liam melotot tajam mendengar kata-kata buruk keluar dari mulut Mahesa. “Papa cocok sekali sama Tante Viona! Kalau bicara tidak pernah disaring dulu!” Helaan napas panjang Mahesa lepas. Dia kembali menyusul sang anak yang tak berhenti mendengkus dengan kedua mata terpejam. Namun, bersamaan dengan itu, Larasati muncul seorang diri membawa tas pundaknya dan akan segera pulang. “Ayo, kita pulang.” Mahesa menggendong Lian dengan paksa meski anak itu memberontak keras. “Liam! Jangan buat Papa marah kalau kamu tidak mau menyesal!” “Tante Larasati, Papa … ada orang jahat yang mau jahatin Tante ….” Liam mulai menangis dan membuat Mahesa mendesah panjang. Dia tetap membawa anaknya keluar area sekolah, menuju tempat parkir yang ada di dekat jalan karena memang lahan sekolah tidak begitu besar. “Kamu tahu kalau Papa tidak suka anak yang bandel, jadi jangan buat Papa marah seperti ini!” bentak pria itu sambil memasangkan sabung pengaman. Dia kemudian menutup pintu dan hendak masuk ke sisi sebelah, tetapi tak sengaja kedua matanya melihat seorang pria tengah memaksa Larasati pergi. Mahesa mungkin tidak percaya ucapan Liam bahwa ada seseorang yang berniat jahat pada Larasati, tetapi melihat wanita itu dipaksa pergi oleh seorang pria di sana, jiwa manusianya tidak bisa tinggal diam. Dengan langkah lebar Mahesa menghampiri Larasati, melepas cengkraman Malik yang membuat wanita itu meronta-ronta. “Kamu siapa berani ikut campur?!” Malik membentak dengan mata melotot. “Aku ini adik iparnya!” “Kalau memang adik iparnya, apa sopan memaksanya pergi seperti ini?” Mahesa masih berusaha santai, tetapi ketika Larasati bersembunyi di belakang sambil mencengkram kemejanya, dia sedikit curiga. “Kamu benar adik iparnya atau bagaimana?” “Ya benar! Tanya saja pada Mbak Laras!” Malik ngotot. Dia bahkan melotot pada Larasti dan membuat wanita itu tersentak. “Jawab, Mbak! Bilang kalau aku ini adik iparmu!” Larasati mengangguk saat melihat bahasa isyarat milik Malik, tetapi ekspresi takut serta tangannya yang tak berhenti mencengkram kemeja membuat Mahesa menghela napas panjang. “Begini, Bu Larasati ada urusan dengan saya, jadi saya harus membawanya pergi dulu.” “Tidak bisa begitu!” Malik mendesak. “Saya juga ada urusan sama dia!” “Kalau begitu mau saya panggilkan polisi?” Mahesa melihat raut wajah Malik yang mendadak tegang. “Kalau mau, saya akan membiarkan Larasati pergi denganmu.” Malik mencibir, matanya memelototi Mahesa sebelum beralih menatap Larasati dan melempar ancaman lalu pergi begitu saja. Larasati perlahan-lahan melepaskan cengkramannya dan Mahesa berbalik badan memandangnya. “Kamu ini walaupun bisu dan tuli, jangan hanya diam seperti itu kalau merasa terancam!” Mahesa melayangkan kata-kata menyakitkan yang dia pikir tidak akan dimengerti oleh Larasati. “Jangan jadi wanita lemah hanya karena kamu tidak sama seperti orang lain!” Bibir Larasati bergetar membaca setiap gerakan bibir Mahesa yang mengucapkan sesuatu. Dia mungkin tuli dan bisu, tetapi berbaur dengan orang-orang yang pintar bahasa isyarat meski mereka tidak bisu membuatnya bisa mengerti apa yang dikatakan orang-orang hanya dengan membaca gerakan bibir mereka. Larasati hendak melangkah pergi, tetapi kemudian Mahesa memegang tangannya dan membawanya pergi ke mobil. Pria itu membukakan pintu belakang, membiarkannya duduk di belakang Liam yang terlihat cemas. Sementara itu, Mahesa menyalakan mobil dan pergi dari sana. Wanita itu terisak-isak, mengusap air mata dan mencoba untuk tidak terlihat lemah di depan anak kecil yang kemudian duduk menghadap depan. “Lihat, Papa, Tante Larasati menangis gara-gara ucapan Papa yang jelek.” Liam bergumam sambil menunduk dalam. Wajahnya murung dan terlihat menyesal atas apa yang telah ayahnya katakan. “Memangnya kamu tahu apa? Dia menangis karena takut sama orang itu.” Mahesa menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari depan, tetap fokus mengemudi meski di dadanya masih tertinggal rasa kesal. “Aku mau Tante Larasati jadi pengasuhku dan Papa bisa menikah sama Tante Viona.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN