Janu sedang berjongkok di pekarangan depan rumah, mengelap sepeda onthel antiknya ketika Patri muncul sambil menggendong Putri.
“Mas,” panggil Patri. “Djatmiko sudah mau berangkat tuh. Dia lagi pamitan sama adik-adiknya di dalem.”
“Hm…trus?” tanya Janu pendek. Masih tidak mengalihkan perhatiannya dari sepeda onthel yang terus menerus di lap nya, mungkin dengan harapan lama-lama si onthel akan berubah menjadi motor balap Ducati atau minim kawasaki ninja.
“Ya lekas sana masuk, kasih wajangan kek buat anak mu. Itu sepeda ngapain sih di lap in terus?” omel Patri dengan wajah mengkerut macem jeruk kisut.
Janu mendengus.
“Ya biar glowing kaya wajah-wajah gadis korea itu gitu dong, Bu. Masa redup terus kaya wajahnya situ…,” gumam Janu sepelan mungkin tapi rupanya kurang pelan karena langsung di jawab oleh lemparan batu bata yang ditemukan Patri di depan rumahnya.
“Ngasih uang jajan cuman cukup buat beli amplas aja kok gegayaan pengen istri glowing kaya gadis Korea. Punya istri gak korengan aja udah mending! Makanya sekali-sekali, uang lebih itu dikasi istri buat perawatan kek, jangan dihabisin buat beli onderdil onthel aja. Lagian seneng amat sih ama barang tua begini? Beli tu mbok ya yang masih baru. Kemarin suaminya Bu Aya beli sepeda lipet yang lagi kekinian itu lho, Pak. Harganya juta-jutaan katanya. Dipamerin terus itu dari kemarin, mondar-mandir kaya setrikaan di depan gang,” cerocos Patri macem bus nonstop Jakarta-Surabaya.
“Lehh… justru yang bekas begini yang mahal harganya. Berkarakter. Sama kaya kamu, Bu,” goda Janu melirik ke arah istrinya.
Cemberut di wajah Patri langsung memudar terkena rayuan suaminya. Sejak dulu, memang Janu tidak pernah kehabisan modal satu-satunya itu. Wanita paruh baya itu pun langsung terlihat salah tingkah sambil mesam mesem.
“Halah… bisa aja ngerayunya.”
“Loh bener, Bu. Kalo aku lebih suka barang gres, aku mending waktu itu nikah sama si Safira, anak tukang penthol. Atau si Diana. Tapi aku tolak mereka semua, karena gak ada yang bisa ngalahin pesona barang bekas macam kamu, Tri.”
PLOK!
Tangan Patri langsung mengeplok pundak suaminya.
“Kok bekas sih… Pak…,” protesnya.
“Aduh…antik… maksudnya bukan bekas… antik….” Janu lekas-lekas berdiri dan menyampirkan lap kanebo yang di bawanya ke pundak, sambil mulai menggelitik istrinya yang cemberut agar kembali tertawa.
Usaha nya berhasil karena kini Patri dan Putri yang di gendong ibunya sama-sama terkekek dan terkikik karena godaan Janu.
“Ihh geli, Pak… berhenti ah. Nanti Putri jatuh…,” celetuk Patrik sambil berusaha mengelak kelitikan Janu yang kini mulai merambat kemana-mana. Bisa bahaya nanti kalau keterusan. Apalagi mereka sedang berada di depan rumah.
“Ehem.. Pak.. Bu….”
Untung lah sebuah seruan membuat Janu menghentikan candaannya.
Djatmiko rupanya sudah berdiri di depan pintu dengan memanggul tas dan kardus indomi yang isinya bukan mi melainkan keperluan merantaunya. Pemuda itu menurunkan barang-barangnya ke lantai, dan menjulurkan tangannya ke depan hendak memeluk Janu.
Tidak ingin terbawa suasana sedih, bukannya menerima pelukan Djatmiko, Janu malah mengusap rambut Djatmiko dan mengucek-uceknya hingga berantakan.
“Ah…Pak, ngapain sih. Ini rambut udah di susun susah-susah ehh diacak-acak lagi,” gerutu Djatmiko kembali merapikan rambutnya supaya bisa berdiri setengah tidur setengah selonjoran seperti sebelumnya.
“Ealah, pantes aja. Rambut apa serodotan yak… licin bener,” timpal Janu mengelapkan tangannya ke kanebo yang ada di pundaknya.
“Ya kan biar ganteng, Pak. Biar kayak Atta Halilintar gitu lho, Pak. Kan Djatmiko, mau ke kota besar, masa iya acak-acakan.”
“Heleh…. Atta Halilintar…. Ada juga lebih mirip Atta Helicak muka mu itu, Djat. Sudah lah, gak perlu niru-niru orang lain. Jadi diri sendiri itu paling enak. Paling mudah. Ngerti?” tanya Janu yang dijawab oleh anggukan anak tirinya.
Janu menatap lagi putra sulung tirinya dengan pandangan mulai berkaca-kaca. Diingatnya wajah penuh ingus yang dulu selalu mengikuti Patri kemana-mana. Tidak terasa pemuda itu kini sudah 26. Sama tingginya dengan dirinya dan seorang pemuda yang walaupun penuh dengan kekurangan tapi tidak pernah mengeluh.
Janu menepuk nepuk pundak Djatmiko.
“Jaga diri ya, Djat. Jangan lupakan bapak ibu sama adik-adikmu kalau sudah sukses,” nasehat Janu memaksakan dirinya tersenyum walaupun sulit.
Djatmiko ikut berkaca-kaca seperti Janu. Tidak ingin ikut tersedot kesedihan, pemuda itupun mengangkat barang-barangnya dan melangkah menuju pagar.
“MASSS! Tunggu!” jerit adik adik Djatmiko berhamburan keluar dengan wajah bercucuran air mata.
Mengelilingi Djatmiko, Parmi, Puput, Pipit, Pingky, Pungki, Padma, Pinda, dan Purwati bergantian memeluk kakaknya sambil menangis.
Djatmiko yang tidak kuasa menahan air mata, akhirnya melepaskan barang dari tangannya dan ikut memeluk ke delapan adiknya. Jika saja hujan mendadak muncul, bisa dipastikan suasana akan persis seperti acara-acara di sinetron ketika adegan sedih berlangsung.
“Sudah…sudah jangan pada nangis. Nanti Mas kirimin oleh-oleh dari Bandung. Tapi kalau Mas sudah gajian, ya,” janji Djatmiko.
“Bener ya Mas,” jawab Puput sambil mengelap matanya yang sembab. “Aku pengen cobain siomay.”
“Iya.. aku pengen batagor, Mas,” timpal Pipit.
“Hooh Mas, cilok ya,” sahut Pingky.
“Aku pengen cireng, Mas.” Kini Pungky menyahut.
“Weh weh weh… ini semua kok isinya makanan. Ya keburu basi nanti kalau di paket. Dah nanti Mas kirimin uang aja, buat jajan penthol ke Bu Safira,” balas Djatmiko mengucek kepala adiknya satu-satu.
“Iya bener..bener….Yang penting uang jajan lancar ya, Mas,” jawab Puput sambil mengelapkan ingusnya ke baju Djatmiko.
“Hehhh Put, lap ke baju sendiri. Masa ke bajunya Mas yang udah keren begini?” celetuk Djatmiko sambil menjitak pura-pura kepala adiknya.
“Ga papa, Mas. Kenang-kenangan… hehe…,” timpal Puput mulai tertawa kecil.
Melihat tawa Puput, hati Djatmiko sedikit menjadi lega. Ia pun meraih tas jinjing beserta kardus berisi pakaian yang tadi dilemparkannya ke semak-semak dan untuk terakhir kalinya melambai.
“Sampai jumpa lagi semuanya. Kalo pakai bahasa inggris, babai eperibadih si yu sunnn!!”
Dan diakhiri oleh ucapan itu, Djatmiko membalikkan badan dan berjalan slow motion ke rumah Nunung yang ada di sebelah rumahnya.
Diawasi oleh mata semua keluarganya, Djatmiko mengetuk pintu rumah Nunung.
“Heh? Ngapain, Mik?” tanya Nunung begitu membuka pintu rumahnya dan menemukan Djatmiko sudah berdiri di depan pintu dengan menenteng tas dan kardus.
Djatmiko memandang temannya yang masih memakai daster kumplit dengan rol rambutnya.
“Kok belum siap apa-apa, Nung? Bukannya kereta nya sebentar lagi berangkat? Udah jam sembilan loh sekarang, itu rol rambut kok masih nempel di kanan kiri begitu?”
“Apaan sih? Keretanya jam sembilan belasss malam, Komodo….! Jam tuju malem nanti. Makanya kalo baca itu, jangan sambil tiktokan!!!!” jerit Nunung sambil menjebret pintu rumahnya di depan wajah Djatmiko. Hampir saja menabrak gigi pria itu menjadi rata.
***
Akhirnya, setelah pulang lagi dan menunggu dengan canggung di rumah karena sudah pamit-pamitan, tiba waktunya untuk Djatmiko bener-bener pergi.
Ini pertama kalinya Djatmiko naik kereta.
Seorang kuli panggul datang menghampiri begitu keduanya turun dari taksi.
“Mas, mau dibantu angkat?” tanya sang kuli panggul.
Djatmiko yang tidak paham bahwa itu adalah kuli panggul mengangguk girang. Mengira ada yang berbaik hati membantunya.
“O…iya iya boleh, Mas. Kok baik banget ya,” jawab Djatmiko nyengir sambil menoleh ke arah Nunung. “Mau dibantu sama emas nya ini gak, Nung?”
Wanita itu menggeleng, “Gak. Ngapain bayar kuli panggul, barangku ngga banyak kok.”
“Eh? Bayar?” sela Djatmiko kebingungan. “Waduh. Kukira dia nawarin bantuan, Nung. Aduh gimana donk. Aku cuman bawa duit sedikit, cuman dua puluh lima ribu yang aku dapet dari kutangnya Mbah Murni,” bisiknya ke telinga Nunung agar tidak terdengar oleh sang kuli panggul yang berjalan di depan mereka dengan membawa tas Djatmiko.
“Lahh ya ngga tau. Situ yang iya iya aja,” sahut Nunung.
“Ya mana aku tau, Nung. Kukira dia mau nulungin.”
“Ah… gak tau ah. Aku udah bayar tiket keretamu, masa aku kudu bayar kuli panggul nya. Situ pikirin sendiri ah,” celetuk Nunung cemberut.
Djatmiko berpikir keras sampai kepalanya berasap. Begitu sudah diatas kereta dan pandang-pandangan dengan si tukang kuli panggul yang menunggu bayaran, untunglah, mendadak ide muncul di benak Djatmiko.
“Berapa lama lagi sih keretanya berangkat, Nung?” tanyanya ke arah temannya.
Nunung mengecek jam tangannya.
“Setengah jam lagi,” sahutnya.
“Oh.. ok….”
Djatmiko kemudian menoleh ke arah sang Kuli Panggul.
“Ehmm… Mas, maaf Mas. Saya ini pergi tapi uangnya pas-pasan. Jadi, mohon maaf banget kalau saya ga bisa bayar, Masnya ya.”
Sang Kuli Panggul langsung melotot mendengar ucapan Djatmiko.
“Eh..Eh…,” sela Djatmiko buru-buru. “Tapi gini aja Mas. Saya ada ide. Ini kan kereta masih 30 menit lagi berangkatnya. Gimana kalau saya bantu Mas nya manggulin barang penumpang. Nanti uang yang saya dapet buat Mas aja. Buat bayar jasa Mas yang saya pake. Hee he gimana?” cengir Djatmiko sambil kedip-kedip ala hello Kitty.
Si kuli panggul, mungkin kasihan, mungkin merasa daripada gak dibayar, akhirnya setuju.
Dua puluh lima menit kemudian, Djatmiko sudah kembali ke A’ku duduknya di sebelah Nunung dengan wajah penuh peluh dan tambahan Rp20 ribu hasil dari pekerjaan dadakannya. Lumayan. Jadilah Djatmiko berangkat ke Bandung dengan 45 ribu rupiah di kantong.