10. Felysia's Secret

1949 Kata
Mungkin kelelahan, Djatmiko langsung ketiduran begitu kepalanya mencium bantal. Sore harinya, ia baru terbangun oleh suara ketukan di pintu kamar. Setengah masih menutup mata, pria itu berdiri dan sambil meraba-raba, membuka pintu. Wajah ceria Dong sudah ada di depan pintu, mengagetkan Djatmiko yang baru bangun. Diterangi sinar lampu neon dari depan kamar, kulit putih Dong dan matanya yang sipit membuat wajah tampan pria itu sekilas mirip dengan burung hantu. “Astaga,” seru Djatmiko sambil mengelus da-danya. “Kaget saya.” “Ohh Sorry, Miko Aja. Saya mau ajak kamu makan malam di warung sebelah. Mau ikut?” celetuk Dong dengan wajah ceria mirip pembawa acara di tv. Mendengar ajakan makan, cacing di dalam perut Djatmiko menjerit kegirangan. “Boleh- boleh. Kebetulan saya belum makan dari datang tadi. Sebentar ya aku ambil uang dulu.” Djatmiko langsung mengorek tas nya mencari sisa uang yang didapatnya dari menjadi kuli panggul dadakan di stasiun. Masih utuh empat puluh lima ribu. Lumayan, pikirnya. Masih bisa beli pecel 7 bungkus kalau di Madiun. Djatmiko mengantungi uang itu dan mengikuti Dong turun ke bawah. Di lantai satu, Nunung dan seorang pria lain sudah menunggu. Sama tampan dan sama kekarnya dengan Dong, bahkan keduanya memiliki wajah yang mirip. “Oh… ini pasti K—” Pria yang berdiri disebelah Nunung langsung membentangkan tangan dan memeluk Djatmiko. Memutuskan ucapan Djatmiko. Kuntol adalah pria berotot dan lebih tinggi dari Djatmiko yang hanya setinggi ketek nya, jadi tidak  heran jika dekapan Kuntol membuat djatmiko merasa sedang digabruk beruang. Djatmiko sampai harus megap-megap berusaha menarik nafas di sela aroma kecut ketek si Kuntol, yang walaupun kece, tapi keteknya berbulu lebat plus berbau asem. “Heeghhh…. Sesak nafas….,” erang Djatmiko membuat Kuntol buru-buru melepaskan pelukannya. “Oh Sorry. Dong sudah meceritakan tentang mu. Apa kabar? Saya kakak Dong, Kuntol.” Pria Thailand itu memperkenalkan dirinya lagi dengan bahasa Indonesia yang sedikit terdengar kaku. “Kamu Miko Aja ya?” lanjutnya menunjuk ke arah Djatmiko. “Eh…i… iya… benar,” sahut Djatmiko yang kemudian menggumam pada dirinya sendiri, “Sepertinya nama ku berubah jadi Miko Aja di Bandung.” “Kemon ah! Aku sudah lapar. Nanti kalau aku pingsan siapa yang gendong?” sela Nunung mulai berjalan keluar. “Yang gendong firklift,” celetuk Djatmiko sekenanya. Diikuti oleh gelak tawa dari Kuntol dan Dong. Ketiganya meneruskan obrolan sambil berjalan. “Kuntol ini kakak atau adik Dong?” tanya Djatmiko penasaran. “Ohh… Aku lebih tua,”celetuk Kuntol. “Dong adik ku.” “Oh… Jadi urutannya Kuntol, Dong… maksudnya Kuntol baru Dong. Aduh nama kalian ini agak…hem… apa ya… kalo bahasa jawanya itu saru,” balas Djatmiko. “Apa itu saru? Oh I know, itu ya kain yang di pakai sama pak ronda malam?” tanya Kuntol. “Bukan. Itu sarung.” “Ohh apa itu… yang dipakai untuk bersihin lantai?” Kali ini Dong ikut menebak. “Itu sapu!” sela Djatmiko cepat. “Saru itu ambigu gitu. Bisa bikin salah sebut.” Baik Kuntol maupun Dong hanya melongo tidak paham. Wajah keduanya yang sudah dari sananya kece terlihat makin menggemaskan ketika bengong. Berbeda jauh dengan wajah Djatmiko yang kece…bur got. Percakapan akhirnya terhenti begitu mereka sampai di warung. Berada di gang yang sama dengan pabrik Nunung, warung dengan tulisan ‘Warung Asih’ itu terlihat maish sepi. Meja dengan kursi panjang disusun di dalamnya. Sebuah etalase yang berisi berbagai lauk dan makanan terpajang di bagian dalam warung. Oseng terong, paria, soun masak kecap, tempe kering, jengkol balado, suwir ayam, semua tampak menggoda selera membuat iler Djatmiko bercucuran. Apalagi ketika sang pemilik warung berjalan menghampiri. “Eh Teh Felysia, Aa’ Dong, sama Aa’ Kun, apa kabar,” sapa gadis itu sopan. Wajahnya yang lonjong, putih dan bermata bulat kini sedang menatap ke arah Djatmiko yang melongo. “Sama siapa ini, Teh?” tanya gadis itu ke arah Nunung. “Oh ini sales baru, Sih, kenalin Djat—” “Miko,” potong Djatmiko menjulurkan tangannya ke arah penjaga warung. “Miko Aja.” Gadis itu menyambar tangan Djatmiko. “Saya Asih, A’ Miko,” balas gadis itu dengan logat sundanya yang mendayu-dayu, menghipnotis Djatmiko hingga lupa melepaskan jabatan tangannya. “Eh silahkan duduk, A’,” lanjut Asih sedikit salah tingkah sambil menunjuk ke arah kursi di warungnya seraya menarik tangannya dari genggaman tangan Djatmiko. Setelah tiga kali tarik, terima kasih kepada tangan Djatmiko yang keringetan jadi licin, genggaman tangan Asih pun terlepas. Begitu terbebas, Asih bergegas melarikan diri dari Djatmiko dengan berjalan ke balik etalase dan menyendokkan nasi ke piring, sambil menanyakan menu yang ingin dipesan oleh lang-ganannya. Mulai dari Nunug, Dong, Kuntol, dan terakhir Djatmiko. Tidak ingin kejadian dengan kuli panggul di kereta terulang, Djatmiko menanyakan harga masing-masing makanan. “Nasi berapa, Sih?” tanya Djatmiko. “Lima ribu, A’.” Astaga! Seru Djatmiko dalam hati. Bisa beli pecel seporsi itu di Madiun. “Kalau itu, ayam goreng?” tunjuk Djatmiko ke etalase kaca. “Dua belas ribu, A’.” “Eh kalo telor?” “Enam ribu.” “Tumis tempe?” “Enam ribuan, A’.” “Soun goreng?” “Sama A’, sayur enam ribuan semua.” “Oh… ya udah nasi, ayam, telor, soun sama tempe ya.” Akhirnya Djatmiko memutuskan. Semua masakan Asih terlihat menggiurkan dan kebetulan dirinya sedang kelaparan karena belum makan dari pagi. Masih ada sisa empat belas ribu buat besok, pikir Djatmiko. Lumayan buat sarapan. “Pesta ulang tahun, Pak?” sindir Nunung melihat porsi yang di pesan Djatmiko. “Biarin ah.  Perbaikan gizi ini namanya, Nung,” jawab Djatmiko sekenanya.  Mendengar itu Kuntol yang duduk di sebelah Nunung bertanya. “Bu Felysia,” panggilnya mesra. “Kenapa dia panggil kamu, Nunung?” Pria itu terlihat memperhatikan Nunung dengan seksama. Matanya yang tajam menatap ke wajah Nunung yang bulat seperti bola pingpong, kalau lewat jadi bikin perut ompong. Eh jadi nyanyi kan. Ngomongin apa ya ini tadi… oiya Nunung dan Kon… ehm Kuntol. Bahaya typo memang ini nama. Apalagi buat author yang demen typo macam penulis. Nunung yang tentu saja senang di perhatikan laki tampan langsung sumringah salah tingkah. “Ah cuman panggilan antar teman itu, Kun. Aku panggil dia Gobl0g, dia panggil aku Nunung.” “Bukan!” sela Djatmiko cepat. “Gara-gara badannya bongsor mirip sama Nun—” “Diem Bajul!” seru Nunung. “Masih butuh kerjaan gak sih?” “Ya, masih…,” gerutu Djatmiko pelan. Cekikikan Asih mengalihkan perhatian Djatmiko. Wajah gadis Sunda itu rupanya sedang tertuju ke arahnya. “Eh Asih…,” celetuk Djatmiko menggeser duduknya agar dekat ke etalase warung. Pria itu mengedipkan matanya beberapa kali dengan niatan merayu, yang sayangnya, malah mirip seperti orang yang kena epilepsi. “Sendirian aja nih jaga warungnya?” lanjut Djatmiko penuh percaya diri. Asih tertawa sambil menunduk malu-malu. “Iya, A’. Sejak Bapak meninggal, Asih yang jaga sendiri.” “Ooo… lah suami… kemana?” pancing Djatmiko sambil tertawa miring ala ala pengusaha misterius. Wajah Asih langsung memerah. Membuat Djatmiko yang sudah deg-degan, sekarang jadi kesemutan dari ujung kepala bagian atas sampai ujung kepala bagian bawah… eh typo… maksudnya, ujung kaki. “Belum ada, A’. Masi single,” jawab Asih. Djatmiko langsung membusungkan da-danya yang kurus kaya papan gilesan. “Wah sama donk,” celetuk Djatmiko. “Beda kali,” timpal Nunung tiba-tiba. “Kalau Asih jomblo karena pilih-pilih. Walaupun banyak yang naksir, dia nggak sembarangan nerima. Lah kalo kamu. Jomblo karena kepaksa. Wong sapu aja juga nolak pas kamu ajak kenalan kok.” “Ck ah, diem, Nung,” decak Djatmiko kesal karena niat rayuannya terganggu. Tapi Nunung masih belum puas. Apa gunanya teman jika bukan untuk di hujat, ye kan? “Jujur aja, aku agak ragu buat angkat kamu jadi sales. Gimana bisa jual barang daganganku? Masarin diri sendiri aja dari dulu gak laku-laku.” Djatmiko hanya bisa ngedumel dalam hati mendengar celetukan temannya yang penuh dengan kenyataan. Yang namanya percintaan memang tidak pernah akur dengan Djatmiko. Bahkan bisa di bilang dalam hal ini, ia sama hal nya dengan ngintip isi behanya bencong sebelum operasi. Kosong gak ada isinya. Tanpa banyak omong, Djatmiko langsung melahap makanannya hingga habis, mengubur kesedihannya dengan sepiring nasi ayam. *** Senin tiba. Hari pertama Djatmiko mulai bekerja. Memakai pakaian terbagus yang dimilikinya, kaos berkerah dan celana panjang ketat, Djatmiko duduk di ruang meeting merangkap dapur di lantai satu. Beberapa penjahit sudah tampak berdatangan dan penasaran dengan adanya sales baru di tim. Tiga orang tampak berkerumun di dekat dispenser sambil pura-pura membuat kopi. Ketiganya adalah penjahit senior di pabrik Nunung. Ade, Asep, dan Dadah. “Itu sales yang barunya Bu Felys?” bisik Ade yang paling muda dari ketiganya. Pria berumur 20 tahun itu memiliki perawakan kurus, dan kepala plontos dengan gigi kelinci yang menyaingi gigi bajul milik Djatmiko. “Kok burig?” timpal Dadah. Janda berumur 30 tahun. Bibirnya yang berlipstik tebal berwarna merah mencibir sambil menatap Djatmiko. “Padahal dua sales lain yang di terima Bu Felys ganteng-ganteng. Yang dulu di pecat, si Patrick juga ganteng.” “Katanya sih ini teman SD nya Bu Felys di kampung. Mereka tetanggaan,” tambah Asep. “Ooo….,” balas kedua penjahit berbarengan sambil kembali pura-pura mengaduk cangkir kosong di tangannya dan berusaha nguping percakapan tim sales. Nunung atau pas lagi jam kantor minta di panggil Bu Felysia, membagi wilayah Bandung menjadi tiga. Tujuannya agar tim salesnya tidak saling berebut teritori yang bisa berakhir dengan perseteruan. Jika ada satu hal yang di pelajari dari titel Sarjananya adalah bahwa dalam sebuah tim, kekompakan adalah utama.   Seperti beha yang punya dua cup, walaupun yang pake isi nya gede sebelah, tetaplah cup kanan dan kiri nya ukurannya sama. Mana ada beha yang satu cup nya ukuran A satu lagi ukuran B. Kan gak ada. “Mik, ini kartu nama baru mu. Dong yang bikin tadi malem. Kalau ada salah nulis nama ya sudah, terima saja dengan ikhlas.” Nunung menyodorkan sekotak kartu nama ke depan Djatmiko yang langsung membuka kotak berwarna merah muda itu dan membacanya. Tertulis di kartu: Miko Aja Sales Executive Diikuti nomor ponsel Djatmiko dan nomor telepon kantor. Djatmiko menggaruk kening mulai pasrah dengan nama yang kini tercetak di kartu nama. Paling tidak sekarang namanya jadi kebule-bule an. Apalagi ketika membaca pangkatnya yang sales executive. Walau tidak paham artinya, yang penting, terlihat sangat profesional. Berikutnya Nunung menjelaskan berbagai macam beha yang di produksi di pabriknya dan di berinya label, Felysia’s Secret. “Mirip sama Victoria’s Secret ya,” celetuk Djatmiko. Nunung mengabaikan selaan Djatmiko melanjutkan. Ia menjelaskan bedanya berbagai macam beha kepada Djatmiko. Hingga membuat kepala pria itu sedikit kliyengan karena banyaknya yang harus di pelajarinya dalam satu hari. Beha sport di pakai waktu olahraga. Beha kawat dipakai agar  p******a lebih tersangga. Beha tanpa kawat, lebih nyaman. Dan beha favorit Djatmiko, yaitu beha menyusui, yang sesuai namanya di pake untuk menyusui. “Lucu ini ada jendelanya,” celetuk pria itu mengamati benda ajaib di tangannya sambil cekikikan sendiri. “Bisa di buka tutup. Macem lagi main ciluk ba.” “Heh!” seru Nunung mengalihkan perhatian Djatmiko kembali ke dirinya. “Brenti mainin behanya! Nih daftar harga yang baru, kalian pelajari, lalu sana berangkat ngorder. Miko, kamu untuk sementara ikut order sama Dong dulu. Biar bisa tahu caranya cari orderan. Jelas? Ada pertanyaan?” Djatmiko mengangkat tangan. “Apaan?” timpal Nunung ketus. “Anu, Bu. Boleh minta kasbon nggak? Uang ku sudah habis. Tadi pagi kupake buat sarapan.” NOTE: Silahkan yang mau share filosofi beha nya, biar bisa aku kutip di author note. Komen ya. Awali dengan Dari Beha aku belajar,...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN