Briana menatap Joseph yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia memberanikan diri melangkah mendekat dan bertanya, “Joseph, kamu mau makan siang denganku di kantin perusahaan?”
Joseph yang mendengar pertanyaan itu langsung menoleh, tersenyum tipis, dan mengangguk. “Tentu, aku mau.”
Briana merasa lega mendengar jawaban itu, namun belum sempat melanjutkan pembicaraan, suara langkah sepatu mengisi ruangan. Jeremy, papa tirinya, keluar dari dalam ruangan dengan ekspresi datar.
“Briana, kamu mau ke mana?” tanyanya dengan alis terangkat, suaranya tegas namun tidak meninggikan nada.
Briana menoleh ke arah Jeremy dan menjawab dengan sedikit ragu, “Aku mau makan siang dengan Joseph di kantin perusahaan.”
Mendengar jawaban itu, Jeremy menggeleng pelan, lalu berkata, “Ikut aku. Kita makan di restoran.”
Briana ingin menolak. “Papa, aku—”
Namun, tatapan datar yang diberikan Jeremy menghentikan niatnya. Ia tahu tatapan itu berarti tidak ada ruang untuk negosiasi. Dengan berat hati, Briana mengangguk dan mengikuti langkah papa tirinya dari belakang.
Sebelum pergi, Briana menoleh pada Joseph. “Maaf, aku nggak bisa makan bareng.”
Joseph tersenyum tipis, seolah memahami situasinya. “Nggak apa-apa. Lain kali saja.”
Briana hanya bisa mengangguk kecil sebelum menghilang bersama Jeremy di balik pintu.
Briana melangkah di belakang Jeremy dengan kepala tertunduk. Sepanjang perjalanan menuju pintu keluar, ia bisa merasakan tatapan dari para karyawan yang seolah menembus kulitnya. Bisik-bisik mulai terdengar di sekitarnya, membuat langkahnya terasa berat.
"Dia itu kan anak tirinya Pak Jeremy," suara seorang karyawan perempuan terdengar cukup jelas.
"Pantas saja langsung dapat posisi sekretaris kedua. Kalau nggak ada Pak Jeremy, dia mungkin nggak akan diterima di sini," sahut yang lain sambil terkekeh pelan.
"Dasar beruntung," bisikan lainnya terdengar.
Briana berusaha mengabaikan semua ucapan itu, tapi ia tidak bisa menghilangkan rasa sesak yang muncul di dadanya. Ia tahu posisi yang ia dapatkan di perusahaan ini tidak murni dari kemampuannya. Banyak yang menganggap ia hanya menumpang nama besar Jeremy, papa tirinya.
Briana menghela napas panjang. Matanya menatap punggung Jeremy yang berjalan tenang di depannya. Pria itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mendengar bisikan-bisikan tersebut. Atau mungkin, Jeremy memang tidak peduli.
Dalam hati, Briana merasa kesal. Ia tidak pernah meminta untuk bekerja di sini. Awalnya, ia ingin bekerja di tempat lain, membuktikan dirinya sendiri. Tapi Jeremy memaksa. Dengan alasan keluarga, Jeremy menyuruh Briana masuk ke perusahaan ini. Juga mamanya yang memaksa untuk bekerja di sini.
"Briana, cepat," suara tegas Jeremy membuyarkan lamunan Briana.
"Iya, Pa," jawab Briana dengan suara kecil. Ia mempercepat langkahnya, mencoba mengabaikan semua tatapan dan bisikan di sekitarnya.
Briana masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang di samping Jeremy.
Jeremy, yang sedang memegang setir, melirik ke arah Briana untuk memastikan ia sudah memasang sabuk pengamannya. Pandangannya tanpa sengaja jatuh pada pahanya yang terlihat putih mulus di balik rok kerja yang sedikit terangkat.
Jeremy segera memalingkan wajahnya, mengalihkan fokus ke jalanan di depannya. Dalam hati, ia memaki dirinya sendiri. **Sial! Apa yang aku pikirkan? Dia anak tiriku. Ini salah!**
Ia mengencangkan genggaman pada setir, berusaha menekan gejolak yang muncul tiba-tiba. “Pasang sabuk pengamanmu dengan benar,” katanya singkat, suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya.
Briana menoleh, merasa ada yang aneh dari nada bicara Jeremy. Namun, ia hanya mengangguk dan membetulkan sabuk pengamannya. "Sudah, Pa," jawabnya singkat, tidak ingin memancing pembicaraan lebih jauh.
Jeremy mengangguk tanpa menoleh, terus memusatkan perhatian pada jalanan. Jeremy tidak mau menelanjangi anak tirinya di sini dan membuat Briana mendesah di bawahnya lalu kejantanannya keluar masuk ke dalam lubang sempit Briana. Oh s**t! Dia tidak boleh melakukan itu.
Briana menjilat bibirnya berulang kali, merasa kembali gugup satu mobil dengan ayah tirinya ini. Apalagi melihat wajah tampan Jeremy. Oh… sangat terpahat begitu sempurna. Dan perut Jeremy berbentuk kotak yang dilihat oleh Briana beberapa kali saat Jeremy tidak memakai sehelai benangpun bersama dengan ibunya melakukan itu.
Briana tidak boleh membayangkan persetubuhan ibunya dengan ayah tirinya itu lagi. Dia harus mengalihkan pemikirannya ke arah lain.
***
Briana menatap restoran bintang lima yang ada di depannya. Gedung megah itu tampak mencolok dengan lampu-lampu yang berkilau, menciptakan suasana mewah yang cukup kontras dengan perasaan Briana. Ia tidak merasa nyaman berada di tempat seperti ini, apalagi dengan Jeremy yang duduk di hadapannya.
Jeremy membuka pintu mobil dan menoleh ke arah Briana. “Turun,” katanya dengan suara datar, tidak memberi ruang untuk debat.
Briana mengangguk kaku, mencoba tidak menunjukkan ketidaknyamanannya. Ia keluar dari mobil dan mengikuti langkah Jeremy yang sudah berjalan menuju pintu restoran. Tanpa berkata sepatah kata pun, mereka melangkah bersama menuju meja yang telah disiapkan.
Setelah duduk di meja, Briana menatap ke arah lain, berusaha menghindari pandangan Jeremy yang duduk di depannya. Ia merasa canggung, terperangkap dalam situasi yang tidak diinginkannya. Selalu ada ketegangan antara mereka, meskipun mereka berdua berusaha untuk terlihat tenang.
Briana menatap ke arah jendela restoran yang menghadap ke luar, mencari sesuatu untuk mengalihkan perhatian. Namun, pandangannya kembali tertuju pada wajah tampan Jeremy. Tanpa ia sadari, matanya sesekali melirik ke arah pria yang duduk di depannya, mencoba untuk tidak terbawa oleh ketegangan yang terasa semakin jelas.
Ia menundukkan kepala, berusaha untuk fokus pada menu di depan mata. "Apa yang akan kita pesan, Pa?" tanyanya dengan suara pelan, berharap bisa mengubah arah pembicaraan.
Jeremy menatap Briana sejenak, lalu berkata dengan nada datar, “Pesan apa saja yang kamu mau. Di sini, kamu bisa pesan apa saja yang kamu inginkan.”
Briana mendengar kata-kata itu dan mengangguk pelan. Ia merasa sedikit canggung, tidak tahu apa yang harus dipesannya. Setelah beberapa detik merenung, ia mulai membuka menu dan mulai memilih beberapa hidangan.
“Bagaimana, Pa? Mau pesan apa?” tanya Briana, mencoba untuk mencairkan suasana yang terasa kaku di antara mereka.
Jeremy memandangnya sejenak, lalu menjawab singkat, “Samakan saja dengan pesananmu.”
Briana menatap Jeremy sejenak, mencoba memahami maksudnya. Ia mengangguk lagi, lalu melanjutkan untuk memesan beberapa hidangan. Tidak ingin membuat suasana semakin tegang, Briana memilih beberapa menu yang lebih ringan.
Pelayan datang dan mencatat pesanan mereka, lalu pergi meninggalkan mereka berdua di meja. Briana kembali terdiam, tangannya terlipat di atas meja, dan ia menundukkan pandangannya, tidak berani menatap langsung wajah Jeremy.
Suasana di sekitar mereka tampak ramai, namun di antara mereka berdua, hanya ada keheningan yang terus menyelimuti. Briana merasa semakin tidak nyaman, karena melihat bagaimana tangan Jeremy yang berurat dan bisa mengusap pahanya.
Akh! Briana bisa menghubungi Mr. J nanti saat dia pulang. Berbagi pesan dengan sugar daddynya untuk mengalihkan pikiran kotornya terhadap Jeremy yang menatapnya dengan tampang datar.
Dan …
Seperti mau menerkam?
YANG BENAR SAJA!