Falisha kembali ke gedung apartemen dengan diantar Gilang. Meskipun ia berusaha menolak, tapi paman sekaligus kakak sepupunya itu memaksa dengan alasan takut Falisha tersesat dan kehilangan arah tujuan. Seolah Falisha itu anak kecil yang tak tahu arah jalan pulang.
"Makasih Abang Uncle udah mau anterin Fali pulang." Ucapnya dengan nada mengejek. Gilang yang mendengarnya malah terkekeh dan mengacak rambut Falisha dengan gemas.
"Jangan nakal. Jangan lari-lari, apalagi lari dari masalah." Ejek Gilang yang membuat Falisha mendelik.
"Kenapa gak sekalian bilang cuci kaki, cuci muka trus gosok gigi sebelum tidur?" Tanyanya dengan nada mengejek.
Gilang mengedikkan bahu. "Masa iya yang begitu mesti Abang Uncle ingetin." Jawabnya jahil.
Falisha mencebik. Namun kemudian ia mengulurkan tangannya. Gilang turut mengulurkan tangannya. Falisha mencium punggung tangan pria itu sebagai tanda hormat sebelum benar-benar pamit dan turun dari mobil.
Dalam perjalanannya menuju lantai unit tempat tinggalnya. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang apa yang harus ia lakukan kedepannya. Faktanya, sekarang ini hatinya terusik. Pertanyaan yang ada di kepalanya dan pernyataan yang didengarnya membuat keyakinannya pada perasaan Gibran goyah. Ia mulai meragukan niatan pria itu menikahinya, dan meragukan rasa cinta pria itu terhadapnya.
Cintakah Gibran padanya?
Syukur jika memang Gibran mencintainya. Tapi jika tidak? Jika benar semua itu hanya kasihan saja, Falisha harus bagaimana?
Lebih baik berpisah saja. Mumpung belum terjadi apa-apa. Setan di kepalanya berbisik.
Berpisah? Tapi mereka baru saja menikah. Bahkan belum sampai 24 jam mereka menjadi suami istri.
Lantas kamu mau menunggu sampai kapan? Sampai Gibran menyatakan sendiri bahwa dia menikahimu karena dia merasa kasihan? Atau menunggu Gibran bertemu wanita yang benar-benar dicintainya dan meninggalkan mu tanpa alasan?
Falisha menggelengkan kepalanya keras. Tidak dia tidak mau menunggu hal itu. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin? Tanyanya dalam hati. Falisha berjalan keluar dari lift. Kembali dibuat bimbang diantara dua pintu yang harus dia masuki.
Haruskah dia masuk ke apartemen Gilang? Atau haruskah ia masuk ke apartemen Gibran. Sementara pintu manapun yang ia masuki hanya akan membuatnya menunggu dalam kesendirian.
Falisha menutup mata. Mencoba menarik napas dan membuat keputusan. Pada akhirnya dia memilih untuk masuk ke ruangan yang sudah teramat dia kenali.
Ya. Falisha masuk ke apartemen Gilang. Meletakkan kotak bekal di atas meja pantry dan berjalan menuju balkon. Tempat ternyaman baginya di apartemen itu. Tempat yang menyimpan sedikit kenangan tentangnya dan perkenalannya dengan Gibran.
Falisha memegangi pagar dengan kedua tangannya, sementara tatapannya terarah pada balkon yang ada dua meter di samping kanannya. Ia mengingat kembali momen pertemuannya bersama Gibran yang tak pernah ia duga merupakan tetangganya.
Ia tidak pernah menyangka bahwa hubungannya dengan Gibran akan sejauh ini. Meskipun Gibran adalah cinta pertamanya. Meskipun rasa cintanya pada pria itu semakin membesar setiap harinya. Namun ia tak pernah menduga bahwa hubungan mereka akan berakhir dengan pernikahan. Karena dulu, Falisha hanya mencintai Gibran tanpa sedikitpun bermimpi pria itu akan melamarnya.
Meskipun ia seringkali menggoda Gibran dengan rayuan-rayuannya. Namun itu semua hanya untuk kesenangannya saja. Ia tak pernah bermimpi untuk memiliki pria itu. Tak pernah berangan untuk berakhir ke pelaminan. Karena dia tahu, ia tidak akan pantas untuk pria itu. Terlebih dengan penyakit yang dimilikinya yang kala itu ia pikir takkan bisa sembuh.
Sampai kemudian pria itu mengutarakan perasaannya. Mengatakan bahwa dia mencintai Falisha dan ingin menikahinya.
Sebagai seorang wanita yang sedang dimabuk cinta, tentu saja dia bahagia. Sampai akhirnya kenyataan menamparnya. Akal sehatnya menegurnya. Cintakah atau rasa iba?
Falisha kembali menarik napas panjang dan memilih untuk duduk di ayunan kayu yang ada disana. Apa yang harus dilakukannya kini? Tanyanya pada diri sendiri. Falisha terlarut dalam pikirannya sampai tak ia sadari ia jatuh tertidur.
Gibran memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit setelah mendengar perkataan Alif tentang Falisha. Meskipun enggan mengakui, namun sebenarnya Gibran merasa khawatir pada istrinya itu. jika memang Falisha datang ke rumah sakit, maka kemana ia pergi? Kenapa ia tidak menemui Gibran dan kenapa istrinya itu juga tidak menjawab panggilannya saat ia mencoba menghubungi?
Lantas sebuah pikiran tiba-tiba masuk ke kepalanya. Mungkinkah pada awalnya Falisha ingin memberikannya kejutan, namun kemudian di tengah perjalanan istrinya itu sadar bahwa seharusnya dia marah pada Gibran karena Gibran malah memilih pergi ke rumah sakit daripada pergi berbulan madu dengannya dan hal itu membuat istrinya memilih berputar arah? Ya, itu bisa saja terjadi. Gibran juga mengerti jika istrinya itu kecewa karena mereka tidak jadi berbulan madu seperti pasangan seharusnya. Tapi mau bagaimana lagi, masa iya dirinya harus mengabaikan nyawa orang lain hanya demi memenuhi keinginan istrinya. Dimana tanggung jawabnya sebagai seorang dokter?
Dan Falisha sendiri sudah mengijinkannya semalam, bukan? Bahkan istrinya itu sama sekali tidak menunjukkan wajah tak suka tadi malam. Atau itu karena dirinya yang tidak peka? Tanyanya pada diri sendiri. Ya, dia memang sudah biasa dikatakan sebagai pria yang tak peka. Tapi bukan berarti dirinya benar-benar tidak peka.
Gibran menekan password apartemennya. Dan anehnya, ia merasa apartemen itu kosong. Ya, dia benar-benar merasa kosong. Seolah ruangan itu tidak pernah didatangi sebelumnya. Apa semalam Falisha tidak tidur disini? Tanyanya lagi pada dirinya sendiri.
Gibran masuk ke dalam kamarnya. Falisha juga tidak ada disana. Tempat tidurnya masih serapi saat ia meninggalkannya. Ia melirik ke keranjang cucian dan juga tak menemukan pakaian Falisha. Gibran kemudian berjalan masuk ke dalam kamar mandinya. Tidak ada yang berbeda disana. Semua letak shampoo dan sabun yang ia beli khusus untuk Falisha tampaknya tidak tersentuh sama sekali. Bahkan sikat gigi berwarna merah muda masih dalam bungkusannya. Dimana istrinya? Kemana dia?
Gibran kembali meraih ponselnya dan menghubungi nomor Falisha. Lirih, ia mendengar nada dering ponsel istrinya yang belakangan ini seringkali dia dengar. Tapi suara itu bukan dari apartemennya. Perlahan Gibran berjalan menuju balkon. Membuka pintu kaca itu dan nada dering ponsel Falisha terdengar semakin nyaring di telinganya. Ia melirik balkon samping balkon apartemennya dan melihat gerakan disana. Tangan Falisha tampak sedang meraba-raba, jelas sekali istrinya itu sedang mencari ponselnya yang ternyata masih ada dalam tas selempang yang belum ia lepas dari bahunya.
“Hallo…” jawab suara serak di ponselnya yang juga berasal dari balkon di sampingnya.
“Kamu ngapain disana?” Tanya Gibran ingin tahu.
Falisha yang mengangkat teleponnya dalam mode mengantuk malah mengerutkan dahi dan memandang layar yang dipegangnya. Seketika istrinya itu terduduk kaku dan memandang kea rah dimana Gibran sedang berdiri. Selama beberapa detik, mereka hanya saling menatap dalam diam, sampai akhirnya Gibran mengulangi pertanyaannya.
“Apa yang kamu lakukan disana?” tanya Gibran dengan lembut. Pria itu berjalan lebih dekat ke ujung balkon dan berdiri menghadap Falisha dengan sebelah tangan memegang pagar.
Falisha membalas pertanyaannya dengan senyuman. “Tidur?” ucapnya balik bertanya. Falisha tampak sedikitpun tidak beranjak dari duduknya.
“Iya, tapi memang harus tidur disana?” tanya Gibran ingin tahu. Falisha menganggukkan kepala. “Kenapa?” Tanya Gibran penasaran.
“Karena setelah Fali pikir-pikir, Fali berubah pikiran.” Jawab Falisha datar.
Gibran mengerutkan dahi. “Maksudnya?” tanyanya bingung.
“Ternyata, setelah Fali pikir-pikir, Fali belum siap buat nikah sama Mas DokterKu.” Jawabnya lirih. Jelas nada ragu tersirat dalam suaranya.
“Fali, tapi kita ini udah nikah?” jawab Gibran tak kalah bingungnya.
Falisha menganggukkan kepala. “Iya, Fali tahu. Fali masih inget kok siapa yang ngucap ijab kabul di depan Papa nya Fali. Tapi sekarang, setelah Fali pikir-pikir lagi. Ternyata Fali gak bener-bener siap buat jadi istrinya Mas DokterKu. Jadi, Mas DokterKu mau kan ngasih Fali waktu buat pikir-pikir lagi?” ucapnya dengan nada memohon.
Gibran mengerutkan dahinya semakin dalam. “Aku gak ngerti…” ucapnya dengan kalimat menggantung.
Falisha memandang Gibran dalam diam. Begitu juga dengan Gibran. Lantas kemudian Falisha menarik napas panjang dan berkata. “Fali mau kita mulai semua ini dari awal.” Ucapnya, yang kembali membuat Gibran bingung. “Fali mau menjalani fase seperti yang orang-orang normal lainnya lakukan. Berkenalan, berpacaran dan kemudian menikah.”
“Tapi Fali…”
“Iya, Fali tahu. Kita sudah menikah. Dan Fali juga gak bisa memutarbalikkan waktu dan membatalkan apa yang terjadi kemarin. Tapi, Fali sekarang takut.”
“Takut apa?”
“Takut kalau sebenarnya Mas DokterKu nikahin Fali karena Mas Dokterku iba.”
“Fali…” Gibran hendak menyela namun Falisha menggelengkan kepala dan mengangkat sebelah tangannya untuk mencegah pria itu bersuara.
“Fali takut kalau suatu saat nanti, setelah Mas DokterKu tahu karakter Fali yang sebenarnya, Mas DokterKu nyesel dan minta buat pisah sama Fali. Jadi, sebelum itu terjadi. Sebelum Mas DokterKu tersadar. Fali mau buat Mas DokterKu sadar dulu. Ayo kita mulai semuanya dari awal. Ayo kita berpacaran, ayo kita berkencan.” Ucapnya lagi.
Gibran masih memandangi Falisha dengan tatapan bingungnya.
“Ayo kita mulai semuanya seperti orang-orang pada umumnya.” Pinta Falisha dengan nada memelas yang membuat Gibran tak bisa berkata-kata.