Arsenio berdiri bersandar di ambang pintu ruang keluarga, sorot matanya tajam dan penuh penolakan saat melihat Hilda menata meja makan dengan rapi. Wanita itu tersenyum, seolah tak sadar bahwa keberadaannya saja sudah cukup membuat darah Arsenio mendidih. Berlagak seperti nyonya rumah, pikirnya getir.
Mata Arsenio menyisir cara Hilda menyentuh perabotan mahal itu dengan sikap sok anggun, seolah ia memang pantas berada di rumah ini. “Aku tidak menyangka ayah bisa sebodoh itu,” gumam Arsenio pelan, tapi cukup keras hingga membuat Hilda melirik.
“Menikahi wanita yang entah dari mana datangnya,” tambah Arsenio, nada suaranya penuh sindiran tajam. Hilda menghentikan gerakannya, tatapannya mengarah ke Arsenio, tenang tapi juga berhati-hati.
“Aku tahu kau belum bisa menerima semua ini, Arsen,” ucap Hilda lembut, mencoba mencairkan suasana.
Arsenio tertawa sinis. “Kau kira ini soal penerimaan? Aku tidak bodoh, Nyonya. Kau menikahi pria dua kali usiamu, orang penting, kaya raya, sendirian setelah istrinya mati. Apa itu kebetulan? Atau strategi?”
Nada suaranya nyaris menampar, membuat wajah Hilda mengeras sejenak. Namun ia cepat menguasai diri. “Kau boleh berpikir apa saja. Aku tidak akan memaksa. Tapi aku sungguh mencintai ayahmu.”
“Mencintai?” Arsenio mendengus kasar. “Kau bahkan tak pantas mengucapkan kata itu. Jangan sok suci. Jenis wanita sepertimu selalu punya alasan manis. Cinta hanya ada kalau rekening pria itu penuh.”
Hilda menunduk, menahan napas. Ia memilih diam, meski dadanya terasa sesak. Namun Arsenio tak peduli. Baginya, wanita itu ancaman. Penggoda yang membalut ambisinya dengan kelembutan palsu.
Dan setiap kali melihat Mikayla, anak dari wanita itu, kemarahannya makin membara. Aku akan buka topengmu cepat atau lambat, batin Arsenio, sebelum akhirnya melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Hilda tersenyum tipis, mencoba menutupi goyahnya hati. “Tenanglah, dia hanya anak-anak.” Tapi senyum itu tidak pernah sampai ke matanya.
**
Kampus tampak ramai. Mikayla berjalan pelan ke kelas, mencoba membaur. Ia sudah cukup lelah dengan bisikan-bisikan yang menyebut namanya sejak pertama kali diperkenalkan sebagai putri Mahendra Pratama. Sebagian kagum, sebagian sinis, sebagian terang-terangan menyindirnya sebagai orang baru yang menumpang nama besar.
Seorang mahasiswa laki-laki menghampirinya dengan senyum canggung. “Hei, kau sendirian? Aku Raka. Mau duduk bareng kami?”
Mikayla sempat ragu, tapi akhirnya menerima uluran tangan Raka. Ia diajak bergabung bersama dua temannya, Dina dan Fajar. Suasana lebih ringan, mereka berbincang soal kelas dan dosen. Bahkan Mikayla bisa tertawa kecil saat Raka melucu. Untuk sesaat, ia merasa aman.
Namun tawa itu seketika lenyap. Riuh di luar jendela kelas membuat banyak mahasiswa bangkit penasaran. Beberapa bahkan berlari ke koridor.
“Siapa itu?” tanya Dina, melongok keluar.
Mikayla ikut menoleh, dan jantungnya nyaris copot. Sebuah mobil hitam mencolok berhenti tepat di depan gedung. Dari dalam, seorang pria tinggi tegap keluar dengan langkah santai, kacamata hitam bertengger di wajahnya. Semua mata sontak tertuju padanya.
“Arsenio Mahendra!” seru salah seorang mahasiswi.
Suasana mendadak gaduh. Gadis-gadis berbisik kagum, beberapa bahkan memotret diam-diam. Nama Arsenio jelas bukan asing di telinga mereka, pewaris tunggal keluarga Mahendra, tampan, kaya, berpengaruh. Kehadirannya di kampus jadi tontonan mendadak.
Tapi bagi Mikayla, itu bukan pemandangan yang memikat. Itu bencana.
Ia kaku di tempat duduknya, darahnya seperti berhenti mengalir. Kenapa dia di sini? Kenapa harus di hadapan semua orang?
Arsenio berdiri di dekat mobilnya, lalu menyandarkan diri sambil membuka pintu dengan elegan, seakan mengundang Mikayla masuk. Senyumnya tipis, tajam, penuh tantangan.
Raka yang duduk di samping Mikayla ikut melirik. “Kau kenal dia? Dia sepertinya menatap ke arahmu.”
“Bukan siapa-siapa,” jawab Mikayla cepat. Suaranya bergetar. Ia meraih tasnya, ingin pergi sebelum semua orang menghubungkannya dengan pria itu.
Namun sudah terlambat. Beberapa mahasiswi berbisik keras, cukup untuk didengar satu kelas. “Hei, bukankah itu adik tirinya? Gadis yang katanya tinggal serumah dengan keluarga Mahendra?”
Mikayla membeku. Panas merayap ke pipinya. Ia benci semua tatapan yang kini beralih padanya.
Ia melangkah keluar kelas, menunduk, tapi suara-suara makin keras. “Astaga, benar! Dia dijemput Arsenio!”
Mikayla menggertakkan giginya, ingin berteriak bahwa ia tidak menginginkan semua ini. Namun tatapan Arsenio di kejauhan semakin menusuk, seakan berkata, Cepatlah keluar. Aku tahu kau tidak punya pilihan.
Dengan langkah berat, Mikayla berjalan menuju mobil itu. Begitu dekat, ia berani menatap Arsenio dengan mata merah karena marah dan malu.
“Apa ini perlu?” bisiknya tajam.
Arsenio menurunkan kacamatanya sedikit, menampilkan tatapan yang membuat Mikayla semakin muak. “Perlu sekali. Kau tidak lihat? Semua orang menunggu kau masuk ke mobilku.”
Mikayla mengepalkan tangan, tubuhnya bergetar. Ia ingin menolak, tapi setiap mata kampus menempel pada mereka. Ia benci harus menuruti, tapi Arsenio benar: jika ia menolak, rasa malu itu akan lebih menghancurkan.
Dengan wajah kaku, Mikayla masuk ke dalam mobil.
Arsenio menyeringai puas, menutup pintu pelan lalu masuk ke kursi pengemudi. Mobil melaju meninggalkan halaman kampus, sementara bisik-bisik dan sorot mata penuh spekulasi masih mengikuti dari kejauhan.
Di dalam mobil, Mikayla menunduk, giginya terkatup rapat. “Aku membencimu.”
Arsenio melirik sekilas, senyumnya makin lebar. “Sempurna. Karena semakin kau membenciku, semakin aku ingin melihat bagaimana kau bertahan.”
**
Mobil hitam itu melaju tenang, tapi d**a Mikayla berdegup tak karuan. Ia menempelkan dahinya ke kaca jendela, berharap udara luar bisa menenangkan pikirannya. Semua tatapan heran, bisikan iri, dan sorot kagum di kampus tadi masih terbayang jelas. Ia merasa dijadikan tontonan murahan hanya karena pria itu.
“Aku bisa pergi,” batinnya, menggenggam tas erat. “Aku sudah dewasa. Aku tidak harus terus di sini.”
Arsenio meliriknya sekilas. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, seakan ia tahu isi kepala Mikayla. “Diam-diam berencana kabur ya? Wajahmu sudah menjawab semuanya.”
Mikayla menoleh, menatap dengan sorot merah. “Kalau iya? Itu hidupku. Aku bisa pergi kapan pun aku mau. Kau tak berhak ikut campur.”
Arsenio terkekeh rendah. “Pergilah. Tapi kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan tanpa nama besar keluarga ini. Dunia luar tidak ramah pada gadis keras kepala sepertimu, Mikayla.”
Mikayla menahan napasnya, tidak mau lagi menjawab. Ia tahu satu kata balasan saja akan dipelintir oleh pria itu menjadi senjata baru.
Mobil akhirnya berhenti di halaman rumah. Mikayla keluar dengan langkah cepat, tidak menunggu Arsenio. Pintu besar yang menjulang tinggi seolah menelannya bulat-bulat ketika ia melangkah masuk.
“Ibu?” serunya dari ruang tamu. Tak ada sahutan.
“Ibu!” ulangnya lebih keras, kali ini dengan nada panik.
Hanya sunyi yang menyambut. Jam antik berdetak lambat, suara resleting koper salah satu pelayan terdengar dari arah dapur. Mikayla menoleh ke segala arah, hatinya semakin kacau.
“Ibu, di mana?” suaranya parau, bergetar. Ia butuh Hilda. Butuh sekali. Tekadnya sudah bulat: ia ingin bicara baik-baik, mengatakan bahwa ia akan pergi. Toh Hilda sudah punya Mahendra, sudah punya dunia barunya. Tidak perlu lagi memikirkan anak tirinya.
Namun langkah berat terdengar dari arah belakang. Arsenio muncul, santai dengan satu tangan di saku celana, seolah sudah menunggu momen ini.
“Mencari ibumu?” tanyanya dengan nada ringan, tapi penuh racun.
Mikayla berbalik, wajahnya pucat. “Kau tahu di mana dia?”
Arsenio menatapnya dengan sorot dingin, lalu menyeringai. “Dia sibuk. Main dengan teman sosialitanya. Tahu sendiri, kan, sekarang dia jadi nyonya Mahendra. Ada banyak pesta, ada banyak meja makan mewah yang menunggunya. Jangan harap dia duduk di sini hanya untukmu.”
Mikayla tercekat. “Tidak mungkin… Ibu tidak seperti itu.”
“Oh, kau masih percaya ibumu suci?” Arsenio mendekat, langkahnya terdengar mantap di lantai marmer. “Dia sedang sibuk menghabiskan harta. Berfoya-foya, membeli baju mahal, bergaul dengan perempuan-perempuan sejenisnya. Jangan kaget kalau suatu hari nanti kau membaca namanya di majalah gosip.”
“Diam.” Suara Mikayla bergetar, tapi tangannya mengepal.
Arsenio mendengus. “Kau tahu apa yang lebih lucu? Kau berdiri di sini, menunggu dia seolah kau masih jadi pusat dunianya. Padahal bagi ibumu, sekarang hanya ada satu pusat, uang Mahendra. Kau tidak lebih dari sampah yang kebetulan ikut pindah ke rumah ini.”
Seketika, air mata Mikayla jatuh tanpa suara. Kata-kata itu seperti belati menusuk d**a. Ia berusaha menegakkan tubuhnya, tapi lututnya gemetar. “Kau kejam.”
Arsenio mencondongkan tubuh, berbisik di dekat telinganya. “Aku jujur. Itu yang paling menyakitkan, kan?”
Mikayla menggeleng, suaranya lirih. “Aku bisa pergi. Aku tidak butuh rumah ini, aku tidak butuh uang kalian, aku bisa hidup sendiri.”
Arsenio terkekeh, kali ini lebih keras, menatapnya dengan sorot meremehkan. “Pergi? Hidup sendiri? Kau pikir dunia di luar sana akan menyanjungmu? Kau tidak lebih dari gadis kecil yang belum tahu betapa kerasnya hidup. Tanpa nama Mahendra, kau hanya akan jadi bayangan yang dilupakan.”
“Aku tidak peduli,” jawab Mikayla, air matanya menetes deras. “Lebih baik aku dilupakan daripada terus diinjak-injak di sini.”
Arsenio terdiam sesaat, menatap wajah gadis itu yang basah oleh air mata. Ada sesuatu yang berputar di dalam dirinya—rasa puas karena berhasil menekannya, sekaligus rasa aneh yang membuatnya ingin melihat lebih banyak lagi tangisan itu.
Ia mengangkat dagu Mikayla dengan jarinya, paksa gadis itu menatapnya. “Tangismu indah sekali. Kau tahu, aku mulai menyukainya. Jangan buru-buru pergi, Mikayla. Aku belum puas melihatmu hancur.”
Mikayla menepis tangannya kasar. “Kau sakit jiwa!” teriaknya. Ia berlari ke arah tangga, naik ke kamarnya, membanting pintu keras-keras.
Arsenio berdiri di ruang tamu, senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia menyandarkan tubuh ke sofa, meneguk wine yang baru diambil dari meja. “Pergilah kalau kau berani. Aku ingin lihat sejauh mana kau bisa bertahan. Tapi sebelum itu, biarkan aku menikmati setiap air matamu.”