-LP01-

1064 Kata
Lapangan luas SMA Antariksa kini tengah menjemur para siswa di hari senin untuk melaksanakan upacara bendera merah putih. Peluh telah membasahi pelipis setiap para siswa-siswi yang kini tengah merasa bosan karena mendengar pidato dari sang guru. Beberapa bahkan ada yang berpura-pura pingsan hanya agar terhindar dari upacara. Sama halnya dengan lelaki yang kini berada di sebelahnya. Bibir nya yang sedari tadi terus mengoceh karena merasa bosan dan juga kesal karena ia merasa pidato dari kepala sekolah itu bahkan tak ada hentinya. Zara yang berada di sebelah Teo pun hanya menggelengkan kepala tak habis pikir akan tingkah sahabatnya. "Lo bisa diem gak sih?" "Astaga, Zar! Lo gak capek apa? Bahkan tulang kaki gue hampir patah karena dengar pidato pak Sasto!" "Lebay." "Ini bukan lebay, pokoknya gue mau pura-pura pingsan, lo harus tangkap gue ya, Zar." "Ogah!" "Please, Zar. Nih ya, satu... dua... tiga!" Suara jatuhan yang ternyata memang berasal dari Teo lah membuat beberapa orang di dekatnya menatap ke arah sumber suara. "Damn! Zara... awas aja lo ya, gak tangkap gue." Batin nya menggerutu kesal. Pak Sasto menatap ke arah barisan kelas mereka dan bertanya, "siapa itu yang pingsan?" "Teo, Pak!" Teriak salah satu teman sekelasnya membuat pak Sasto melengos tak peduli. "Biarin aja, nanti juga dia sadar sendiri." "Okey! Ini gak akan bener nih." Batin Teo yang kini malah merasa gelisah akibat perbuatannya sendiri. "Teo, kalau kamu tidak bangun sekarang juga, toilet siswa kelas tiga menunggu kamu sehabis upacara selesai." "SIAP PAK, TEO KEMBALI SADAR SEHAT, DENGAN SELAMAT SENTOSA! MENGANTARKAN RAKYAT INDONESIA KE DEPAN PINTU GERBANG KEMERDEKAAN INDONESIA YANG MERDEKA, BERSATU, BERDAULAT, ADIL DAN MAKMUR." Ucapnya begitu lantang. Hal itu langsung membuat beberapa dari mereka terkekeh geli akan apa yang Teo ucapkan. "Bagus! Petugas Undang-Undang upacara selanjutnya kamu ya, Teo." "Siap Pak! Eh?? Gimana maksudnya pak?" "Upacara bendera minggu depan, petugas Undang-Undang nya kamu, Teo." "Tapi Pak—" "Tidak dapat di ganggu gugat!" Keputusan mutlak dari kepala sekolah membuat Teo menundukkan kepalanya kemudian menatap Zara begitu tajam. "Lo sih... gue bilang suruh tangkap, kenapa gak tangkap gue..." "Derita lo, makan tuh! Minggu depan makin gak bisa leha-leha lo upacara nya." Ucapan yang begitu datar tanpa belas kasih dari sahabatnya membuat Teo semakin menundukkan kepalanya menahan kesal. "Astaga... ada apa dengan hari senin!!!" Batinnya berteriak tak Terima. Wajah Teo saat ini sungguh membuat Zara bergidik ngeri. Ia menggembungkan kedua pipinya serta mata yang berkaca-kaca membuat beberapa siswi yang mengidolakannya menjerit tertahan akan tingkah menggemaskan Teo. "Mereka buta." Batin Zara yang kini hanya menggeleng tak habis pikir akan tingkah absurd sahabatnya. ~~~~~ Suara kelas yang begitu ramai dengan teriakan yang saling bersahutan tak mau kalah membuat kelas seperti pasar yang penuh dengan pedagang. Hal itu di sebabkan karena guru yang mengajar saat ini belum datang. Namun hal itu tak membuat Zara terganggu. Telinganya kembali menggunakan Headphone putih dengan lagu Resistance yang menjadi pilihan musiknya saat ini. Jari indahnya mengetuk meja menandakan bahwa ia tengah menikmati lagunya. Hingga, beberapa saat kemudian, ia tersadar bahwa seseorang kini tengah duduk tepat di sebelahnya membuat Zara memalingkan wajah menatap siapa gerangan yang berani duduk di tempat favorite nya. Tatapan matanya yang dingin dengan alis terangkat satu membuat seseorang di sebelahnya semakin gugup. "Hai, emm... aku anak baru, namaku Agasta Triani panggil aja Ata." Ucapnya seraya mengulurkan tangannya tepat di depan Zara. Zara menatap uluran tangan yang Agasta ulurkan padanya. Gadis cantik itu pun menatap sekitar yang ternyata tengah menatap ke arahnya, juga jangan lupakan bu Indri yang kini tersenyum penuh harap padanya. "Hm... Zara." Balasnya dengan singkat dan padat. Semua bernafas lega kala Zara menerima uluran tangan dari Agasta. Tunggu, sejak kapan kelasnya hening? Dan sejak kapan bu Indri ada disini? Zara akhirnya melepas headphone miliknya dan mengeluarkan buku pelajaran Matematika. Bu Indri mulai menjelaskan materinya membuat Zara fokus tanpa melirik kemanapun selain whiteboard. Namun, tiba-tiba teman sebangku nya mengetuk meja dengan perlahan yang jelas tertuju pada Zara. "Hm?" "Kamu gak tau aku?" "Gak." Jawab Zara cepat tanpa mengalihkan pandangannya dari arah depan. "Aku anak dari donatur terbesar di sekolah ini loh." "Oh." Sungguh! Zara ingin sekali mengumpat wajah gadis di sebelahnya ini. Ck, sombong pula. "Kamu gak takut aku laporin?" "...." "Aku bisa aja laporin kamu ke kepala sekolah karena gak mau ngomong sama aku dan jauhin aku. Pasti kepala sekolah takut deh." Tawanya di akhir yang pasti membuat Zara semakin muak. Sebenarnya ada masalah apa sampai gadis di sebelahnya ini mengganggu ketenangan Zara. "Hm." "Bu!" Zara mengacungkan tangannya membuat perhatian seluruh kelas menatap ke arahnya. "Maaf Bu, saya minta pindah tempat duduk." "Loh? Kenapa Zara." "Saya gak nyaman." Bu Indri bergerak gelisah karena bingung harus menuruti yang mana. Dua-duanya adalah siswi berpengaruh. Zara dengan segudang prestasi dan kejeniusannya. Sedangkan Ata kekuasaannya. "Em... Maaf ya Zara, kamu ngala—" Duagghhhh , suara bantingan sebuah benda teramat keras kala Zara melempar kursinya ke arah belakang dan pasti tanpa ada siapapun di sana. Semua ketakutan kala mereka sadar bahwa sang guru dan anak baru itu tengah mengusik ketenangan Zara. "Zara, Ibu minta maaf," "Silahkan lanjutkan. Saya akan kembali di pelajaran selanjutnya." Bu Indri hanya bisa mendesah pasrah kala anak didik yang di banggakannya merajuk karena masalah bangku. Tapi memang sedari dulu Zara tak pernah menginginkan teman sebangku. "Maafkan Ibu, Zara." Batinnya merasa bersalah akan keputusannya. ~~~~~ Panas yang begitu terik tak mampu menyengat nya karena ia berada di tempat yang aman. Semilir angin yang begitu menyejukkan membuat Zara semakin betah dan mulai menggunakan headphone nya. Untuk ke sekian kalinya, bungkusan permen karet itu mulai berserakan mengotori lantai. Matanya menerawang menatap langit biru yang cerah tanpa setitik pun awan putih yang terlihat. Tangannya ia angkat ke atas berharap dapat menggenggam langit yang kini ia lihat . Bukankah ia akan bebas jika langit berada dalam genggamannya? Bukankah ia akan puas kala semua orang mencarinya untuk meminta sebuah cahaya surya dari langit yang ia genggam? Bukankah ia egois dengan apa yang selalu ia inginkan? "Ya, aku memang egois. Dan aku selalu mendapatkan apa yang aku mau. Bagaimana pun caranya." Batin Zara seraya tersenyum tipis. Pluuuppp, suara letusan gelembung dari bubble gum yang sedari tadi ia mainkan. Zara mulai menatap setiap jarinya dengan begitu tajam kala mendengar langkah kaki di belakangnya. "Satu," hitung nya dalam hati dengan jarinya yang mulai terlipat. "Dua," lagi, jarinya kembali terlipat dan.... Zara langsung mengeluarkan bubble gum itu dari mulutnya dan langsung melemparkan nya tepat ke arah seseorang itu. "Lima, kau kalah cepat denganku! Loser!" "ZARAAAAAA!!!!!!" ~~~~~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN