6

1218 Kata
Malam itu sepulang kerja Ben pergi ke sebuah taman bersama David. Bukan suatu alasan pergi ke tempat itu. Ben spertinya tahu banyak tentang Tiwi. Satu tahun berlalu dan saat itu hanya Ben yang di pamiti oleh Tiwi sewaktu akan pergi karena di pecat. "Cepat ceritakan tak perlu banyak basa -basi. Kita duduk saja di sini sudah cukup? Atau kau masih ingin cari tempat duduk yang nyaman untuk kau duduki?" tanya David ketus. Ben tertawa ngakak melihat David yang sudah penasaran dan tak sabar ingin mendengarkan cerita Ben. "Santai saja bro ... Kita duduk di sini sambil ngopi ya," ucap Ben pelan. Ben memesan dua kopi instant seduh pada penjaja keliling yang menggunakan sepeda untuk menawarkan dagangannya kepada konsumen. David duduk di kursi taman yang terbuat dari besi. Tatapannya beralih pada kebanyakan orang yang silih berganti datang dan pulang dari taman itu. Setelah menerima pesanan kopinya, Ben pun membawa kopi itu dan duduk di sebelah David. Malam ini sudah sangat larut dan hampir menunjukkan pergantian hari. "Ini kopi untukmu. Agar tubuhmu terasa hangat," ucap Ben pelan sambil meberika satu cup kopi untuk David. "Terima kasih." jawab David singkat sambil menyeruput kopi hitam panas itu tanpa di tiup terlebih dahulu. "Malam setelah kejadian itu, dia jarang keluar dari kamarnya. Dia keluar dari kamar kalau memang sedang perform karena sudah jadwalnya. Beberapa hari menjelang kontrak kerjanya selesai, ia keluar dan ingin minum. Saat itu, ia cuma memegang minuman itu tanpa meminumnya sampai pada akhirnya dia terburu pergi dari tempat duduknya menuju kamar mandi. Saat itu penasaran, Tiwi yang biasanya ceria mendadak muram, cemberut dan performnya pun menjadi kurang maksimal. Aku dengar dia muntah -muntah. Tak lama dia keluar dengan wajah pucat dan terlihat lemah. Dia menyapa aku, lalu tak sadarkan diri. Aku membawanya ke dokter, di situ aku baru tahu kalau dia ...." ucapan Ben terhenti. Ia tak sanggup melanjutkan cerita ini. Tiwi berpesan agar tidak menceritakan hal ini pada siapa pun. David menoleh ke arah Ben yang terdiam. Wajahnya iku sendu sedih mengingat kejadian satu tahun itu. "Kenapa? Kau tak lanjutkan ceritamu? Tiwi sakit?" tanya David polos. "Sudahlah. Tak perlu aku lanjutkan. Dia di keluarkan dari pekerjaannya malam itu juga, karena seharusnya perform dan dia tidak hadir tanpa ada pemeberitahuan," ucap Ben pelan menjelaskan. "Dia sakit apa? Katakan ...." titah David mulai penasaran. "Kalau kau tahu, lalu kau akan berebuat apa?" tanya Ben ketus. "Aku bisa cari dia, lalu bantu dia, atau menanyakan keadaannya saat ini bagaimana?" tanya David tenang. "Dia hamil." jawaban Ben seketika membuat David melotot ke arah Ben. Mendadak seluruh tubuhnya seperti tersiram air es yang baru saja mencair, mulutnya menganga tak bisa berkata -kata hingga David tersadar hanya berkata, " Hamil? Tiwi hamil?" Ben mengangguk pelan, "Aku tidak tahu, ia hamil dengan siapa? Karena dia tak pernah dekat dengan laki -laki. Saat itu, dia masih perawan atau tidak?" "Jelas, anak yang di kandung Tiwi adalah anakku, Ben. Dia sekarang di mana? Ini sudah tahun lebih, pasti ia sudah melahirkan," tanya David muali gusar. Hatinya mulai di rundung rasa tak tenang dan tak nyaman. Degub jantungnya juga mulai berdetak sangat kencang. Hidup David seolah berhenti sampai di sini. Kesalahan satu malam akibat nafsu bejatnya itu telah membuat seoarng gadis tak berdosa menderita dan harus menjalani beban hidupnya sendiri. "Anakmu? Kau yakin?" tanya Ben sinis. "Yakin. Tiwi saat itu masih virgin. Dan aku yakin dia bukan perempuan sembarangan. Rumah Tiwi di mana? Aku ingin mendatanginya dan menemuinya. Aku ingin minta maaf dan aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahinya," ucap David dengan cepat. "Terlambat. Semua sudah terlambat. Tida ada kesempatan untuk itu. Kalau kau merasa dia anakmu, kau tahu dia masih virgin? Kenapa ku tak menikahinya waktu itu? Kau egois!!" teriak Ben keras. "Aku di hukum!! Aku tak boleh keluar rumah, dan bila itu aku langgar aku harus pergi dari rumahku sendiri dan tak pernah di akui mnejadi bagian dari keluarga. Makanya aku tak pernah datang lagi ke klub," ucap David memberikan alasan dengan jujur. "Aku yakin, dia tidak akan mau menemuimu lagi. Apalagi harus melihatmu. Satu pesan dia untukmu. Jangan pernah cari dia lagi," ucap ben tegas. "Kau gila Ben. Dia melahirkan benihku. Mana mungkin aku diam saja. Walaupun semua itu terjadi karena suatu kesalahan. Aku tetap ingin mmebantu Tiwi membesarkannya. Aku ingin menjadi lelaki baik, lelaki yang bertanggung jawab. Sudah cukup dengan masa mudaku yang begitu kelam dan rusak karena semua nafsu bejatku. Aku telah merusak banyak gadis, berzinah dengan banyak perempuan malam dan bersenang -senang untuk mabuk. Hidup ku hancur, tak pernah tenang, tapi satu tahun ini aku merasa ada perubahan dalam hidup ku. Aku hanya bercerita pada nenek, yang terus mengingatkan aku karean usiaku hampir mendekati tiga puluh lima tahun, dan aku harus menikah. Aku pastikan, aku ingin menikahi Tiwi. Tolong beri tahu aku, di mana Tiwi berada," pinta David pelan. Wajah David begitu sedih. Ia teringat kejadian satu tahun lalu, yang tak memberikan ampun sedikit pun pada Tiwi. Ia telah merenggut kegadisannya, dan merusak hidupnya secara tidak langsung. "Kau yakin? Kau mau berubah? Tapi, aku belum bisa mempercayai kamu," ucap Ben ketus. "Apa alasanmu? Karena masa lalu aku?" tanya David setengah berteriak. Ia menyeruput kembali kopi hitam di dalam cup. "ya. Masa lalu kamu. Ka tahu, kau telah banyak merugi. Hidupmu habis untuk bermain perempuan. Jadi, saat ini kalau kau mentok dnegan satu perempuan dan perempuan itu tak mau denganmu anggap sajaitu sebuah karma untukmu, David," ucap Ben sambil tertawa. "b*****h. Jaga ucapanmu itu Ben. Aku tahu, karma pasti berlaku. Tapi, aku mau benar," jawab David kesal. "Tunjukkan saja dulu kalau kau itu bisa berubah. Suatu hari aku yakin, kau akan bertemu Tiwi kembali. Sudah malam, aku haru pulang. Kau tahu, istriku pemcemburu sekali, walaupun dia tidak cantik dan begitu besar seperti gajah, tapi aku mencintainya," ucap Ben mengingatkan arti ketulusan dan keikhlasan. "Aku butuh informasi kamu, Ben. Aku butuh tahu di mana Tiwi sekarang bearda," ucap David lirih dan mengusap wajahnya kasar dengan menggunakan kedua telapak tangannya. "Nanti aku bantu kau. Tapi ... aku tidak janji ya. Oh ya ... di tempat mu ada lowongan pekerjaan? Anak tetanggaku butuh kerjaan?" tanya Ben pelan. "Lulusan apa?" tanya David pelan. "Hanya lulusan SMA. Bisa?" tanya Ben pelan. "Paling jadi OB. Kalau mau silahkn. Ini kartu nam aku. Di sana aku juga karyawan, aku bagian HRD. Kalau posisi OB, sepertinya di kantor masih butuh beberapa personil lagi," ucap David pelan. "Dia perempuan. Yakin hanya ada OB? jadi customer service gitu? Apa tidak ada?" tanya Ben sedikit memaksa. David hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Maaf saat ini memang belum ada lowongan selain OB," ucap David pelan. "Oke. Nanti akan aku sampaikan pad agadis itu. aku pulang. Sampai jumpa lagi Vid," pamit Ben lalu pergi menghilang di ujung jalan menuju parkiran motornya. David pun angkit berdiri membuang dua cup kopi yang telah habis dan hanya meninggalkan ampas. Begitu juga dengan kehidupan. Semua kan hilang begitu saja tergerus oleh waktu, tapi hanya meninggalkan kenangan. Kenangan pahit yang berujung luka, dan kenangan manis yang berujung pada senyum bahagia. Langkah kaki David begitu lemas. Berita yang tak pernah membuatnya gundah seperti sekarang ini. Ia telah memiliki anak di luar nikah. "Aku harus tanggung jawab. Walaupun keluargaku dan Nenek tidak merestui. Aku akan tetap mencari cara mencari Tiwi dan emnikahinya. Aku tak peduli dengan harta warisan, aku peduli pada anakku. Dia lelaki atau permepuan ya? Namanya siapa?" tanya David pada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN