CHAPTER 34 - BERKUMPUL

3814 Kata
"Gitu aja nangis," Celutukkan Dhini yang baru saja tiba di ruang tengah _depan televisi_ itu pun sontak membuat Reya yang tengkurap lemas di sofa menjadi buru buru bangkit, seraya menatap tajam Dhini. "Nggak nangis anjing," balas Reya dengan tambahan mengucap hewan yang sama sekali tidak bersalah itu. Reya yang sudah memposisikan badannya untuk duduk itu berlanjut mengambil bantal sofa untuk di dekapnya erat-erat. "Iya iya cuma murung," Dhini pun mengalah, tidak melanjutkan godaannya pada temannya itu. Sebab seperti nya Dhini akan mendapat masalah besar jika terus membuat singa betina _ yang bad mood_ makin mengamuk. Ih, ngeri say. "Nasib gue ke depannya gimana ya Dhin," cicit Reya setelahnya. Raut wajahnya saat ini benar-benar tertekuk dalam. Sampai membuat kedua pipinya mengembung bulat bulat. Dan Dhini sendiri dengan santainya malah menggidikkan bahu, "Nggak tau," berlanjut melangkahkan kaki menuju sofa depan Reya. Pagi menjelang siang ini dia memang baru saja keluar dari kamar dan baru selesai mandi. Tidak perlu menduga-duga memang, Dhini tadi bangun sudah jam 9, biasa mumpung hari libur dia ingin sekali kali merasakan bangun lambat. Macam Reya yang seorang penulis sering kali bangun seenaknya. Huhu, mantap sekali bukan. Nasib seorang karyawan ya begini. Reya yang mendengar ucapan temannya tersebut, langsung menambah intensitas tekukkan wajahnya. Benar benar ya, Dhini sama sekali tidak membantu di sana. "Hiks," Tenang saja, Reya tak sedang sungguhan menangis, wanita itu hanya mengeluarkan suara dengan tambahan bibir yang dicebikkan tanpa mengeluarkan air mata. Tapi sungguh Reya tengah merasa gundah gulana. Dia berusaha keras melupakan kejadian barang sedikit saja, tapi ternyata dia tidak bisa. Dia terlalu overthinking memikirkan hal hal buruk yang mungkin akan terjadi kedepannya. "Udah-udah, mending jangan mikir yang enggak enggak dulu. Kita liat, ke depannya gimana," saran Dhini karena merasa jika terlalu difikirkan malah akan berdampak buruk pada kesehatan Reya, baik mental maupun fisik. Reya mengangkat pandangannya dan melihat ke arah Dhini yang berada di depannya, "Tapi ya gimana Dhin, susah," jawab Reya dengan nada suara lemah. "Huft," Dhini tak menanggapi, jujur dia sendiri juga bingung bukan. Makannya dia memutuskan untuk meraih snack sisa semalam di meja depannya, dan mulai memakannya, dari pada dia salah bicara. "Lo nggak laper?" tanya Dhini mengalihkan pembahasan, apalagi saat ini sudah cukup siang kan. Reya hanya menggeleng pelan, tanda dia tidak lapar? Makanya Dhini sampai di buat melongo mengetahui Reya yang tidak merasakan lapar. Hei ini Reya loh, si wanita rakus nan kemaruk jika sudah berhubungan dengan makanan. Hm, agak di ragukan sejujurnya, sebab kalau wanita ini bad mood biasanya nafsu makannya malah bertambah berkali kali lipat, tapi ini malah kenyang. "Hm, ya udah kalau begitu," balas Dhini acuh, karena ya memang dirinya tidak terlalu lapar lapar banget, cuma kalau ada makanan di depan mata dia siap memakan sih. Jika harus memasak dulu oh nanti dulu deh. Drtt ... Drtt ... Ponsel dengan case warna pink tersebut bergetar di atas meja, menandakan adanya panggilan masuk yang datang. Tapi meski sudah bergetar beberapa detik belum juga ada yang menggapai ponselnya, dan malah mendiamkan saja sampai getaran berhenti lagi. "Woy, ada telpon tuh," Dhini sedikit berteriak, karena sedikit tak habis fikir dengan temannya itu yang malah mengabaikan panggilan masuk, padahal kan tidak ada yang tau jika itu sesuatu yang penting atau bukan. Reya hanya melirik Dhini sekilas, lalu berlanjut termenung lagi. Tapi rupanya si penelepon tersebut kembali mengulang nya, terbukti dari ponsel Reya yang bergetar lagi di atas meja. Hm, si pemanggil belum menyerah ya rupanya. "Angkat elah!" perintah Dhini karena geregetan dengan Reya masih juga tak beranjak. Awas saja jika temannya itu menyesal atau malah malah menyalahkannya yang tidak mengingatkan untuk mengangkat. Kayak nggak tau Reya aja, wanita itu kan suka seenaknya seperti itu, meski faktanya Dhini sudah sampai berbusa dalam mengingatkan. Untung bestie, kalau enggak udah Dhini tinggal dari dulu. Reya sendiri yang mendengar perintah Dhini pun menghela nafas berat, lalu dengan amat sangat tak berminat dia mengulurkan tangannya untuk meraih ponselnya tersebut menggunakan tangan kiri. Lalu ketika membalik ponsel dan memperlihatkan layar, Reya langsung mengerutkan kening mengetahui siapa sosok yang menelefonnya. Yakni ternyata adalah Sia temannya yang saat ini tengah hamil itu. Reya pun langsung menggeser tombol hijau menggunakan jempol tangannya. Dan bergerak mengangkat ponsel di samping telinganya. "Halo," sapa Reya dengan masih beratnya, untuk memulai percakapan, padahal saat ini dia cukup malas membuka suara. Tapi ya bagaimana lagi. "Kenapa lo?" tanya Sia dengan nada sedikit sewot. Mungkin dia tengah merasa kesal sebelumnya, mengingat Reya yang sempat mengabaikan panggilan telfonnya, tapi ketika mendengar suara Reya yang macam tak semangat tingkat dewa itu membuat Sia sedikit melupakan kekesalannya. Reya mendecak kasar, lalu menjawabnya dengan cepat. "Bad mood, cepetan kenapa?" Mungkin saat ini Sia tengah mencibir Reya, sebab temannya tersebut malah bersikap tidak woles ketika di tanya i. "Buka pintu," "Eh," Tentu Reya bingung di sana, buka pintu apa? Kenapa tiba tiba malah menyuruh membuka pintu. "Gue di depan pintu," Suara Sia di seberang sambungan telefon saja sudah terdengar amat gemas dengan temannya itu. Reye mengangkat pandangan cepat, menatap ke arah pintu menuju ruang tamu depan. "Siapa? Ada apa?" Dhini pun yang menyadari tingkah Reya sontak saja bertanya, sebab penasaran. Tapi bukannya menjawab, Reya malah segera bangkit dari posisinya, dia berdiri. Dan ... Wuss ... Reya ngacir pergi begitu saya meninggalkan Dhini dengan rasa penasaran yang menggebu gebu. "Woilah Re," teriakan Dhini sudah sama sekali tidak di gubris oleh temannya itu. Jadi karena makin makin penasaran, Dhini pun ikut bangkit dan meletakkan makanan ringan _yang sedari tadi dia makan itu_ di atas meja. Lalu berlari tak kalah kencang seperti yang tadi Reya lakukan, untuk menyusul wanita itu yang sudah mencapai ruang depan. Di sisi lain, memang betul saat ini Reya sudah tiba di ruang tamu atau lebih tepatnya beberapa langkah lagi tiba di depan pintu keluar. Dan setelah benar benar sampai, Cklekk ... Reya membuka pintu cepat tanpa perlu melihat ke arah layar monitor yang terhubung dengan kamera bagian depan sebab sudah tahu kalau temannya yanh ada di sana. Dan benar bukan, bahwa teman Reya yakni Sia sudah berdiri di depan pintu dengan tangan menenteng buntelan kresek dan satu tangan lagi memegang ponsel yang masih setia di tempelkan di samping telinga kanan. Jangan lupakan raut wajah Sia yang sedikit memberenggut kesal di sana. "Kenapa lo __" "Ya," Belum juga Reya menyelesaikan ucapannya tersebut, seseorang dari belakang lebih tepatnya adalah Dhini itu lebih dulu menyela Reya. Alhasil Reya mengurungkan pembicaraan dan menjadi menoleh ke arah belakang di mana saat ini Dhini tengah berlari ke arahnya. Dhini sendiri nampak sedikit terkejut melihat adanya sosok temannya yang berada di depan pintu. "Lah, kok lo di sini Dhin?" Sia bertanya setelah Dhini tiba di samping Reya, Sia pun juga sama terkejutnya seperti apa yang terjadi pada wanita dengan setelah piyama pendek itu. Memang, walaupun saat ini siang hari dan tidak niat tidur, setelan piyama sudah menjadi trend zaman ini, bahkan keluar keluar pun piyama juga masih matching dengan style kekinian. "Lo sendiri ngapain ke sini?" tanya balik Dhini. Dia juga sudah tidak penasaran lagi, sebab sudah tau kalau alasan Reya berlari tadi karena temannya yang satu ini datang. "Ya terserah gue lah," Sia membalas dengan kekehan pelan, melupakan sepenuhnya kekesalan yang sempat menderanya karena Reya yang tak kunjung mengangkat telefon. Dhini mencibir, "Dih, kan ya lo lagi hamil," "Emang hamil nggak boleh kemana-mana," Memang apa alasannya hamil dengan tidak boleh datang, Sia juga sehat walafiat, bisa makan berjalan dengan normal. Apa mungkin karena beberapa waktu lalu Sia sempat lumayan drop karena kandungannya cukup lemah ya, jadi Dhini berfikir akan hal tersebut juga. Reya yang merasa jengah melihat perdebatan di sana, langsung saja bergerak melerai. Dan berniat mengajak mereka untuk masuk saja, tidak pantas jika mereka terus berbicara cukup keras di depan pintu macam itu. "Udah udah ayok masuk, gue liat liat ada yang nenteng sesuatu, gue laper soalnya." Haha bukan hanya berniat menjadi penengah, nyatanya Reya juga sudah memiliki maksud yang lain. Dia tadi sempat melirik isi buntelan kresek yang Sia bawa, mengingat kresek tersebut berwarna putih sehingga menampakkan isi bagian dalam yang seperti ada logo logo fast food terkenal gitu. Makanya oleh karena itu perutnya yang memang sedari pagi belum terisi apa apa itu mulai menunjukan bunyi pelan, bohong memang ketika di tanyai Dhini tadi malah menjawab tidak lapar, padahal mah sebenarnya juga lapar, tertutup malasnya saja. Beda dengan sekarang yang melihat makanan di depan mata, makanya keroncongannya makin menjadi. "Soal nyangkeman mah cepet," Celutukan Dhini sontak mendapat balasan cibiran dari Reya sendiri. Akan tetapi Reya juga tak ingin menanggapi lebih, dia lebih berminat untuk membawa mereka semua masuk ke dalam dan mulai menyantap makanan. "Udah ayuk," ajar Reya. Lalu tangan Reya menggandeng Sia untuk membawanya masuk ke dalam melewati Dhini. Tapi setelahnya Dhini juga ikut menyusul kedua temannya itu, yang sebelumnya tentu saja sempat menutup pintu dahulu. "Kenapa nggak pencet bel aja sih, repot amat nelfon-nelfon," tanya Reya di sela sela langkah mereka. Pasalnya juga kalau ada bel menurutnya sangat tidak efisien jika malah memilih menggunakan telefon, kan Reya juga tidak setiap saat bersandingan dengan benda pipih nan pintar tersebut. Reya sendiri juga sudah tidak se bad mood tadi, dia mungkin perlahan kembali seperti Reya yang biasa, apa mungkin efek dari makanan ya. Memang makanan bisa mengubah segalanya dalam hidup Reya, meski hanya pas makan saja, setidaknya berubah bukan. "Nggak bisa anjir, udah gue teken sampe mampus tadi." Sia agak sewot lagi karena pertanyaan itu, pasalnya dia tadi sudah menekan tanpa henti bel Reya tapi tidak ada yang keluar dari dalam. Hampir emosi sangat, tapi karena Sia sadar bahwa benda yang dia tekan tersebut tidak menunjukkan lampu yang harusnya menyala seperti biasanya, kali ini sama sekali tak berubah ketika tekan. Jadi Sia pikir mungkin memang bel nya yang bermasalah. "Eh masa iya," Reya juga kesulitan percaya, padahal menurutnya kemarin kemarin baik baik saja tuh, pas driver go food datang pun juga masih menyala. Sia berdecak akan tanggapan temannya teman sexy-nya yang dengan pd hanya memakai crop tank top dan celana pendek selutut. Huft, by the way untung Sia tak datang bersama suaminya, hm, meski suaminya tak pernah melirik wanita lain tapi dia juga tidak ingin tubuh sahabatnya di lihat pria terlebih suaminya sendiri. "Iya, coba sendiri aja," "Iya iya, nanti biar gue panggil kang service buat benerin." Mau tak mau Reya mengiyakan, karena sepertinya Sia memang tidak sedang berbohong, dari nada suara dan raut wajahnya Sia penuh akan keyakinan. Mereka bertiga pun tiba di ruang tengah, dan mulai memposisikan duduk melingkari meja di sana, jadi ketiganya memang duduk di bawah depan sofa agar memudahkan sesi menyantap makanan, tenang saja di bawah pun juga sudah di alasi karpet bulu tebal jadi tetaplah nyaman untuk duduk. Reya berbinar terang ketika Sia meletakkan buntelan kresek besar tersebut di letakkan di atas meja. Lebih tepatnya menyerahkan kepada Reya untuk membukanya. Makanya Dhini memutuskan untuk bertanya saja pada Sia, akan rasa penasaran yang menderanya sedari tadi. "Btw. Emang lo boleh main ke sini sama suami elo?" tanyanya karena faktanya dia tau kalau suami Sia itu agak strick jika sudah berhubungan dengan istri, makanya ketika hamil, Sia di jaga seketat mungkin oleh pria itu. Di awal kehamilan Sia sebelum ini, hanya Reya dan Dhini lah yang harus menengok ke rumah wanita itu jika ingin bertemu, karena kalau tidak begitu mereka akan makin jarang bertemu, bahkan sebulan terakhir baru kali ini mereka sepertinya berkumpul lagi dengan Sia yang ganti mengunjungi rumah Reya. Sia menoleh pada Dhini dan mengangguk, "Iya boleh, tadi di anter ke sini, pulangnya juga di jemput," Haha sepertinya hal itu terdengar sangat mudah ya kawan, padahal sebenarnya sih tidak, Sia mati matian meminta izin untuk bertemu dua temannya itu, dan juga kan Sia sangat ingin keluar sendiri. Jadi setelah perdebatan panjang akhirnya dia benar mendapat izin, meski dengan banyak syarat yang harus di sepakati. "Pak su posesif ya bund," balas Dhini sedikit terkekeh. Ganteng ganteng posesif, jomblo mak bisa apa. Sia juga membenarkan ucapan temannya itu, "Ember, kayak nggak tau aja kalian," "Hooh nih, jadi kangen gue waktu kita masih muda, bisa bebas kemana mana," "Gue masih muda keles," celutuk Reya yang saat ini tengah mengeluarkan isi makanan dari dalam kresek, tanpa mengangkat pandangannya pada si lawan bicara yakni Dhini. Sia tertawa sejenak sebelum akhirnya mencibir, "Iya iya, yang prawan muda," "Jangan status shamming ya lo," balas Reya sambil berdecak. Pasti itu cuma plesetan dari prawan tua. "Dih kan itu muji," Tak terima akan tuduhan Reya, Sia juga buru buru membalas. Memang ya ketiga wanita itu kalau berkumpul jarang sekali bersikap manis manisan, yang ada malah seperti itu saling berucap judes, meski setelahnya juga biasa saja sih tidak ada yang akan sakit hati. Reya memutar bola matanya malas, "Iya deh bumil iya," Dari pada melanjutkan debat lebih baik mereka melakukan kegiatan yang bermanfaat, mengisi perut salah satunya. "Ya udah ini makan dari pada ngoceh mulu," lanjutnya. "Yey makan," Dhini bersorak senang, melihat buanyak makan yang Sia bawa, paket ayam goreng yang terkenal itu, plus nasi dan saos saos an, beuh sudah tidak ada tanding. Reya juga sudah semangat empat lima, menarik satu kotak kertas yang pasti berisi nasi itu. Dhini yang menyadari tingkah temannya tersebut sontak saja menyipitkan mata curiga, "Udah nggak bad mood lo?" tanyanya yang lebih cenderung ke menuduh. Pasalnya dari visual luarnya saja sudah terlihat jelas kalau perubahan badmood ke mood Reya begitu signifikan, dan semua hanya karena makanan. "Dikit," balas Reya seraya mengangkat tangannya yang memperlihatkan jari jempol dan telunjuk hampir bertaut, yang berarti sedikit. "Cih, tau gitu beli makanan aja dari tadi," Dhini berucap dengan agak tidak habis fikir, lalu tangannya juga mencomot ayam krispi yang spicy beserta saus keju. Sia yang sedari tadi hanya sebagai pendengar saja lama lama juga penasaran akan pembahasan kedua temannya tersebut. "Lo bad mood kenapa sih, kenapa Dhin tu anak?" Dia bertanya pada Reya yang bersangkutan juga Dhini. Dhini menelan ayam yang sempat dia gigit tersebut dahulu, sebelum menjawab, "Dia nampar cowok ___" "Stt ... Diem!" Akan tetapi Reya lebih dulu memotong ucapan Dhini, tidak membiarkan wanita itu melanjutkan penjelasannya, Reya tak suka dan tidak mau Sia tau untuk saat ini, mengingat si bumil itu juga tidak baik kalau mendengarkan cerita masalahnya. Lebih baik ibu hamil fokus pada kandungan saja. "Lhah gue kan kepo Re, nampar cowok siapa? Lo kan jomblo, jangan jangan lo lagi pacaran ya sekarang dan nggak ngomong ke gue?" Sia menyerocos panjang juga kesal akan Reya seperti tak berminat memberitahunya, dan malah main rahasia-rahasian, makanya dia jadi berfikir macam macam seperti wanita itu memang tengah berkencan. "Enggak lah, gue always jomblo kok," jawab Reya santai, lalu berlanjut memakan ayam krispi sampai mulutnya penuh tersebut. "Terus nampar siapa?" Sia malah makin penasaran kalau begini caranya, bahkan dia belum sempat menyentuh makanan sama sekali. "Ada deh," Sia mendengus sebab temannya malah bersikap seperti itu, jadi sebenarnya di sini status dia apa sih, sahabat kan, sudah kenal juga tidak yang sehari dua hari, jadi tak seharusnya Reya main rahasia-rahasian kan. "Gue tanya siapa," Dhini menenggelamkan diri dengan sesi makan, karena kali ini urusannya Reya untuk memutuskan kelanjutan. Sebab jika Reya tetap diam, bisa bisa si bumil malah berfikir macam macam dan mengganggu yang lain. Dan rupanya Reya pun mengalah, dia menghela nafas panjang dan menurunkan paha ayamnya dahulu di atas kotak makan kertas, untuk fokus menanggapi Sia. "Pokoknya gue jawab sekali, lo nggak boleh tanya lagi," ucap Reya penuh keyakinan. "Yahh .." Sia mendesah, dia tau mungkin ini salah satu trick Reya, karena rasa kepo-nya itu banyak, pasti Reya hanya menjawabnya sekilas. "Ya udah nggak usah sekalian," putus Reya sendiri karena tak segera mendapat tanggapan dari temannya tersebut. "Iya iya cepet," Akhirnya Sia mengalah, dari pada tidak mendapat clue apa apa bukan. Reya pun mengangguk, dia menatap ke arah Sia penuh, lalu mengambil nafas lagi tak kalah panjang. Dan barulah setelah itu dia membuka suara. "Gue ... Nampar bosnya Dhini," jawab Reya dengan berat sejujurnya, tapi ya mau bagaimana lagi. Apalagi menyebutkan kata 'Bos', aish sial. Rasanya Reya jadi ingin badmood lagi. Mata Sia sontak saja membulat lebar mendengar ucapan Reya, dia pun membuka mulutnya hendak melanjutkan bertanya lebih. Akan tetapi Reya lebih dulu mengangkat tangan ke depan wajah Sia, dan menahan sebelum Sia sempat mengeluarkan suaranya sama sekali. "Sttt diem, katanya diem, gue lagi males bahas, mood gue mulai baikan nggak mau rusak lagi." Reya jujur kali ini, bukan hanya tidak ingin menceritakan pada Sia, tapi dia juga tengah malah membahasnya, takut takut dia bad mood lagi atau malah makin parah. "Hishhh, okay okay, tapi lain kali cerita ya," putus Sia, dengan penuh ancaman dia akhir kalimat. Reya mengangguk mantap, lagi pun kalau dia sudah siap bercerita dia pasti akan melakukannya. Atau mungkin nanti ketika keadaan Sia sudah stabil. "Hm iya," Mereka berdua pun selesai. Reya hanya tinggal membereskan Dhini yang sedari tadi seperti fokus makan yang padahal juga sesekali mengintip lirik dikit. "Dhini nggak boleh cerita pokoknya, gue yang bakal kasih tau Sia sendiri. Awas aja lo Dhini!" tekan Reya lalu melanjutkan memegang paha ayam yang tinggal sisa separo setelah tadi dia gigit itu. Dhini pun menatap Reya dengan memutar bola mata malah, "Iya mbak," cibirnya. Mereka bertiga melanjutkan sesi makan dengan khidmat, bahkan sampai khidmatnya Reya sudah habis tiga potong, yang padahal Dhini dan Sia masing masing baru memakan 1 potong saja. Dasar Reya, rakus nan lapar tidak ada bedanya. "Lo masih jomblo Dhin?" tanya Reya membuka percakapan di sela sela kegiatan makan mereka Dhini mengangguk, lalu menelan makanan dahulu sebelum berbicara takut makanan yang sudah dia kunyah menyembur ke depan. "Hooh, biasa sejoli, nemenin si kutu kupret ngejomblo." Dhini menaik turun kan alisnya sambil tersenyum bangga pada Sia. Tidak perlu di cerna dalam pun, mereka pasti juga sudah tau siapa yang dia maksud kutu kupret. Siapa lagi kalau bukan Reya. Dan wanita itu saat ini tengah melirik Dhini tajam. Benar benar ya mulut cabe Dhini, pikir Reya. "Dih dih, alasan aja lo mah, pake bawa bawa nama gue lagi." tutur Reya membalas Dhini. Kalaupun iya nemenin, harusnya dari dulu dulu dong ya jomblonya. Sia terkekeh pelan, seru kalau melihat kedua temannya saling sindir nan ngegas, tapi kalau dia sendiri yang ngegas, dia mah b aja. "Reya juga, coba lah sekali nyari cowok. Enak loh." Sia berbicara sebab mengigat kalau temannya yang satu itu sudah menjomblo lama, sejak lahir malah, makannya akan lebih baik jika dia mulai mencari pacar. Reya mendengus sebal, "Enak anu-anu nya doang kali, yang lainnya mah enggak." Memang benar kan kalau kenyataanya seperti itu. "Haha bener sih." Bukannya membantah, Sia malah ikut setuju dengan pernyataan Reya. Ya bagaimana ya, namanya hubungan ada enak dan tidak enaknya, jadi jika kedua saling memahami dan berusaha untuk tetap tak melangkah makin jauh, pasti semua juga akan tetap baik nan enak, dan lagi semua butuh proses kawan, jika waktunya tiba hubungan itu akan berakhir bahagia. Harusnya Reya tetap mencoba berhubungan sih, agar wanita itu merasakan bahagianya dan juga menikmati proses lika likunya. "Em ... Tapi serius, nanti gue kenalin ke temen temen laki gue, atau temen gue deh." lanjut Sia bukan hanya candaan semata. "Emang lo ada temen cowok?" Cih ... Di kira Reya tidak tau apa kalau teman dekat Reya ya hanya dirinya dan Dhini saja, selama ini kaum adam yang dekat dengan Sia hanya sekedar kenalan saja sudah di depak jauh jauh oleh pawangnya, siapa lagi kalau bukan Kazeo, yang saat ini sudah berstatus suami Sia. "Ya temennya laki gue udah gue anggep temen hehe." Sia menyengir lebar. Sama saja bukan, dia juga mengenal kok. Banyak lagi. "Tai." balas Reya. "Eh, tapi ya, temennya Kazeo ya temen SMA kita dulu juga kebanyakan." Celutukan Dhini tiba tiba membuat Reya baru teringat akan fakta itu. "Emang." Sia malah menjawab santai. "Dih, nggak mau ah yang modelan b*****t-b*****t tai." Sontak saja Reya bergidik ngeri. Big no pokoknya yang suka bikin naik darah seperti itu. Sampai sekarang saja dia masih agak kagok dengan suami Sia, yang padahal mereka juga sering bertemu kalau dirinya tengah bersama Sia. Sifat dingin Kazeo itu loh, sungguh sulit sekali tertembus, yang padahal Reya sudah bersikap se santai mungkin. "Belom nyoba sih lo," Menurut Sia berhubungan dengan cowok dingin nan bangsad kalau kata Reya itu juga ada sensasi gimana gitu, sangat menarik juga menantang. Reya menggeleng kuat beberapa kali. "Nggak mau Ya," "Gue sih mau kalau mantep haha." Dhini tiba tiba menyahut setelah beberapa saat hanya diam saja. Sia menoleh pada Dhini, lalu dia teringat akan sesuatu. "Eh ada tuh Sandy, dia kan kerja di tempat lo kerja Dhin." Tapi bukannya merasa tertarik akan pembahasan, Dhini hanya membalas dengan decakan tak berminat. "Oh, Sandy temen deketnya Kazeo?" tanya Reya menyelutuk. Siapa sih yang tidak mengenal Sandy. Meski dia jarang bertemu atau malah tidak pernah bertemu tapi dia mengingat pria yang ketika SMA selalu ngintilin Kazeo. Ah tidak deng, Reya masih sesekali bertemu seperti di acara tunangan dan nikahan Sia Kazeo misalnya. "Haah. Okay juga kan, jabatannya sekarang lumayan tinggi katanya di sana." ujar Sia excited. Berharap sesi promosinya membuat temannya itu sedikit tertarik. Dhini pun menanggapi, "Iya, dia sekretaris bos yang baru." Karena ya dia memang paham betul akan hal itu. Tapi Dhini tidak pernah bertegur sapa dengan Sandy di kantor, dia tetap menganggap Sandy sebagai atasannya jadi hanya sekedar itu. Di sisi lain mendengar kata bos di sebut, mood Reya jadi sedikit goyah lagi. Tadi saja dia sudah menenangkan diri saat menyebutkan sendiri, jadi sekarang untuk kedua kali rasanya di kesusahan. Dia pun memanyunkan bibir mengingatnya. Hiks, faktanya selama ini dia telah di cium bos besar Dhini. Reya pikir pembahasan akan sesi Sia yang tiba tiba menjadi mak comblang itu sudah selesai. Tapi rupanya tidak sama sekali, Sia masih semangat berbicara. "Rez nanti gue kenalin ke temen deket gue aja. Dia juga kerja di perusahaan Dhini." Ucapan penuh kepedean Sia itu, langsung saja mendapat penolakan mentah mentah dari Reya. "Enggak!" Balasan Reya tidak sinis namun bercanda seperti tadi. Melainkan benar benar menunjukkan ke-kesalan di sana. Atau mungkin efek mood nya yang tiba tiba kembali buruk. "Lah kenapa murung lagi," Sia terheran dengan Reya. Yang saat ini tengah menyumpal-nyumpalkan ayam dan nasi ke dalam mulut. Sangat tidak mencerminkan wanita anggun. Dhini pun sepertinya sudah dapat menebak, sebab dia tadi keceplosan menyebutkan kata keramat untuk kelangsungan mood Reya, yakni 'bosnya'. Apalagi Sia terus berniat mencomblangkan Reya pada pria. Jadi mungkin karena itu juga, "Lagi sensi dia kalo bahas perusahaan gue." jelas Dhini. Dan dari tingkah Reya setelah Dhini berkata seperti itu pun sudah dapat pastikan, kalau tebakan Dhini memang benar adanya. "Lah," Sia terbengong sendiri jadinya. "Udah ah yok bumil lanjut makan," ajak Dhini untuk tidak melanjutkan pembahasan sensitif yang mungkin malah akan menambah ke sensi an Reya di sana. Jadi akan lebih baik kalau mereka diam dan melanjutkan sesi makan. Sia pun tidak ada pilihan lain selain mengangguk setuju. Dan setelahnya, mereka benar-benar melanjutkan acara makan dengan sangat khidmat. Begitupun Reya sendiri yang seperti berangsur melupakan kesedihannya itu setelah melanjutkan sesi makan. Terbukti dari cara makannya yang meski masih sangat lahap, tapi tidak yang begitu bar bar macam saat kesal tadi. Tidak perlu di ragukan, jika makanan adalah penyembuh segala penyakit dari Reya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN